SINTA dan adiknya, ALIM, tumbuh dalam lingkungan keluarga yang sangat taat. Sejak kecil, Sinta adalah sosok yang sangat alim, menjunjung tinggi akidah Islam, dan memegang teguh keyakinannya. Dunia yang ia pahami—dunia yang damai dan dipenuhi janji surgawi—hancur berkeping-keping pada satu sore kelam.
Orang tua mereka, Adam dan Lela, tewas dalam sebuah insiden yang dicap sebagai bom bunuh diri. Latar belakang kejadian ini sangat kelam: pelaku bom tersebut mengakhiri hidupnya dan Adam/Lela, sambil meneriakkan kalimat sakral "Allahu Akbar".
Trauma ganda ini—kehilangan orang tua dan kontaminasi kalimat suci dengan tindakan keji—membuat keyakinan Sinta runtuh total. Ia mempertanyakan segala yang pernah ia yakini.
Saat ini, Sinta bekerja sebagai Suster Panti Jompo, berhadapan dengan kematian secara rutin, tetapi tanpa sedikit pun rasa takut pada alam baka. Alim, di sisi lain, kini menjadi Penggali Kubur, dikelilingi oleh kuburan, tetapi tetap teguh memegang sisa-sisa keyakinannya yang diw
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pagi, Sains, dan Skeptisisme yang Menguat
🌄 Pagi yang Kontras
Pagi hari di Panti Jompo "Senja Indah" tiba dengan irama yang menenangkan, seolah menyangkal ketegangan yang terjadi di malam sebelumnya. Pukul tujuh pagi. Sinta sudah selesai dengan tugas-tugas awalnya. Ia telah membantu beberapa lansia yang paling membutuhkan (membersihkan diri, memberi obat pagi), dan Ruang Makan mulai ramai lagi dengan aroma sarapan.
Sinta duduk di meja kerjanya yang kecil di pos perawat. Ia baru saja mengganti seragamnya, wajahnya segar setelah mencuci muka, namun matanya memancarkan kelelahan dan pikiran yang bekerja keras.
Setelah memastikan Erna dan Maria sudah mengambil alih tugas sarapan, Sinta mengeluarkan laptop miliknya. Laptop itu adalah satu-satunya jendela Sinta ke dunia luar yang luas, di luar tembok panti yang damai.
Ia membuka peramban, dan jari-jarinya menari di atas keyboard dengan kecepatan seorang wanita yang terbiasa mencari kebenaran, bukan sekadar gosip.
🔎 Pencarian: Siksa Kubur (Agama vs. Sains)
Sinta mengetikkan kata kunci dengan ringkas: Siksa Kubur (Azab Kubur).
Ia ingin melihat lagi, secara objektif, apa yang dikatakan dunia tentang konsep yang semalam ia tantang dengan begitu keras.
I. Menurut Agama
Sinta membuka beberapa laman yang menjelaskan konsep ini dari sudut pandang agama.
Ia membaca dan merangkum dalam hati apa yang diajarkan sejak kecil, tetapi kini ia tinjau dengan mata seorang yang terluka.
Menurut penjelasan agama yang ia temukan, siksa kubur (atau Azab Kubur) adalah hukuman yang akan diterima oleh orang-orang yang tidak beriman atau beramal buruk segera setelah mereka dimakamkan, sebelum Hari Penghakiman (Kiamat).
Jelaskan Siksa Kubur: Kubur akan menyempit hingga tulang-tulang rusuk saling berhimpitan. Orang yang disiksa akan dipukul dengan palu godam besar. Akan ada ular-ular berbisa yang melilitnya. Kubur akan dipenuhi api. Dan siksaan ini berlangsung terus-menerus hingga Kiamat tiba.
Bukti Keberadaan: Konsep ini dijelaskan dalam berbagai teks suci (Hadis, Tafsir), dan dianggap sebagai bagian dari Ghaib (hal yang tak terlihat atau tak terjangkau indra manusia), yang menuntut keimanan absolut.
Tujuan: Untuk memberi peringatan dan memotivasi manusia agar senantiasa berbuat baik dan taat, karena pertanggungjawaban dimulai sejak nafas terakhir.
Sinta menghela napas. Ia mengingat wajah polos Alim yang semalam menunduk penuh keyakinan. Ia paham, bagi Alim, dan bagi jutaan orang lain, konsep ini adalah jangkar moral yang menjaga mereka tetap lurus.
Namun, bagi Sinta, konsep ini adalah perpanjangan dari ketidakadilan duniawi. Bagaimana mungkin Tuhan yang Maha Pengasih membiarkan seorang anak disiksa seumur hidupnya oleh orang jahat, dan kemudian mengancam akan menyiksa lagi setelah ia mati?
II. Menurut Sains
Sinta beralih mencari dari perspektif yang ia anggap lebih real: Sains dan Fisika Kematian.
Ia membaca artikel-artikel tentang dekomposisi tubuh, proses biologis yang terjadi setelah jantung berhenti, dan temuan arkeologi.
Jelaskan Siksa Kubur dari Sudut Pandang Sains: Dari sudut pandang saintifik, begitu tubuh meninggal dan dimakamkan, yang terjadi adalah proses dekomposisi (penguraian) yang sepenuhnya bersifat biokimia dan fisik.
Fakta Dekomposisi: Tubuh akan mendingin (algor mortis), otot mengeras (rigor mortis), diikuti oleh autolisis (penghancuran sel oleh enzim tubuh sendiri), dan pembusukan yang disebabkan oleh bakteri. Proses ini dipengaruhi oleh suhu, kelembapan, dan keberadaan serangga atau hewan.
Tidak Ada Bukti Fisik Siksaan: Dalam penggalian kuburan purba maupun modern, ilmu forensik tidak pernah menemukan bukti fisik adanya siksaan yang disebabkan oleh faktor supernatural: tidak ada bekas pukulan palu pada tulang yang menyempit, tidak ada bekas luka bakar tak wajar yang konsisten dengan deskripsi siksa kubur (kecuali jika jenazah dimakamkan dalam kondisi tertentu).
Kesimpulan Ilmiah: Bagi sains, apa yang terjadi di kubur adalah hukum alam. Seluruh materi akan kembali menjadi unsur alam tanpa ada campur tangan kekuatan gaib yang menyiksa.
Sinta membandingkan dua hasil pencarian ini. Kontrasnya begitu tajam, begitu nyata.
Satu sisi menuntut keyakinan buta pada hal yang tak terlihat. Sisi lain menawarkan penjelasan logis dan teramati tentang materi yang kembali ke asalnya.
💪 Keyakinan yang Menguat
Melihat kedua argumen ini, di situ Sinta mulai makin kuat tidak mempercayai siksa kubur.
Pengalaman traumatisnya di masa lalu telah membentuk sebuah filter di benaknya. Filter itu menolak segala bentuk konsep yang menggunakan ketakutan dan siksaan sebagai alat kontrol. Ia percaya pada apa yang ia lihat: tubuh lansia yang damai, yang kembali ke bumi tanpa harus dihakimi lagi oleh ular berbisa atau palu godam.
Ia menutup laptopnya dengan suara klik yang tegas. Ia tidak mematikan keyakinannya; ia hanya mengalihkan imannya. Imannya kini beralih dari yang ghaib ke yang nyata. Imannya kini terletak pada kebaikan yang ia ciptakan di dunia ini, pada kenyamanan yang ia berikan pada setiap lansia.
Ia menepis sisa-sisa kegelisahan yang dibawa oleh perdebatan semalam.
☕ Rutinitas yang Menenangkan
Sinta langsung berdiri dari meja kerjanya. Transisi dari perdebatan filosofis yang intens ke tugas domestik yang sederhana adalah cara Sinta menyeimbangkan diri.
Dia langsung ke dapur dan memasak air untuk teh.
Dapur panti jompo adalah tempatnya yang paling damai—bersih, teratur, dan penuh aroma herbal yang menenangkan. Sinta menyalakan kompor, menunggu air mendidih. Ia mengambil kotak teh melati, aromanya langsung menenangkan sarafnya.
Setelah teh diseduh dan diletakkan di dalam teko porselen putih, dia langsung menghampiri lansia itu dan menuangkan tehnya.
Ia berjalan menuju Ruang Tamu utama. Kakek Slamet sudah menunggunya di kursi favoritnya, berpura-pura membaca koran, namun matanya terus mengawasi pintu.
“Sinta! Lama sekali! Tehku pasti sudah dingin lagi!” seru Kakek Slamet, nadanya dibuat-buat dramatis.
Sinta tersenyum tulus kali ini. Senyum itu tidak lagi ditutupi oleh ketegangan internal.
“Selamat pagi, Kakek Slamet yang paling ganteng. Tidak ada yang dingin, kok. Ini, Suster bawakan teh melati khusus pagi ini, biar Kakek semangat dan tidak mudah merajuk,” kata Sinta, dengan santai menuangkan teh ke cangkir Kakek Slamet.
Di meja sebelah, Ibu Rosa dan Nenek Lasmi sedang menikmati sarapan mereka.
“Sinta, kamu terlihat segar sekali hari ini,” puji Ibu Rosa.
“Iya, Bu. Semalam tidurnya nyenyak sekali. Tidak ada mimpi buruk,” jawab Sinta jujur.
Di panti jompo itu, sangat santai. Kontras antara badai internal yang baru saja ia lalui (konflik iman dan pencarian logis) dengan ketenangan abadi di panti jompo adalah yang membuat Sinta bertahan. Panti jompo ini bukan hanya tempat ia bekerja; ini adalah benteng logisnya dari ketakutan spiritual yang tidak rasional.
Ia kini yakin. Tidak ada siksaan setelah kematian. Yang ada hanyalah kedamaian. Dan tugasnya adalah memastikan kedamaian itu dinikmati di sisa hidup mereka di dunia ini.