Calon suami Rania direbut oleh adik kandungnya sendiri. Apa Rania akan diam saja dan merelakan calon suaminya? Tentu saja tidak! Rania membalaskan dendamnya dengan cara yang lebih sakit, meski harus merelakan dirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sweetiemiliky, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 : Harus mengalah?
"Maksudnya?" Rania tertawa hambar diakhir kalimat. Ia memandangi anggota keluarganya satu persatu, namun semua ekspresi yang Rania lihat sama.
Entah Anton, Ambar, serta Bumi, mereka menunduk dan tidak berani balik menatapnya. Kecuali Mina. Ia adalah orang yang baru saja bersuara dan mengejutkan tiga orang disana karena keberaniannya.
"Maksudnya apa? Kalau ini hanya lelucon, sumpah! Tidak lucu."
"Tidak ada yang membuat lelucon saat ini, ibu baru saja berkata jujur," Kata Mina lagi. "Ambar hamil dan Bumi harus bertanggung jawab atas perbuatannya."
Walaupun pahit, Rania berusaha menelan ludahnya susah payah. "Kenapa bisa?" Menoleh ke arah Bumi. "Mas? Tolong jelaskan. Bilang kalau ini tidak benar, kamu tidak melakukan hal menjijikkan itu, 'kan? Iya 'kan, mas?"
Kepala Bumi semakin tertunduk dalam. Dapat ia rasakan tangan Rania bergetar saat mengenggam tangan kirinya meminta kepastian, namun Bumi masih saja bungkam sampai suara Rania kembali terdengar.
"Mas. Bilang, dong! Itu semua tidak benar, 'kan? Jangan hanya diam saja."
"Bumi tidak menjawab itu tandanya semua yang ibu katakan adalah benar. Sudahlah Rania, tidak perlu ribut dan memperpanjang masalah. Biarkan Bumi menikahi Ambar dan menggantikan kamu dihari pernikahan. Selesai."
Rania menatap Mina tak percaya. "Ibu mudah sekali kalau bicara. Kalau Ambar hamil, bisa jadi anak itu bukan anak mas Bumi, bisa saja anak orang lain."
"Apa maksudmu?" Intonasi Mina mulai meninggi. "Kamu pikir Ambar perempuan seperti apa?"
"Menurut ibu kalau Ambar berani melakukan hal tak senonoh dengan calon suami kakaknya sendiri sampai hamil itu bagaimana? Apakah masih bisa dikatakan perempuan baik-baik?"
"Kamu jangan hanya menyalahkan Ambar! Salahkan juga Bumi, disini yang menjadi korban Ambar, loh!"
Likuid bening mulai menetes dari sudut mata Rania, napasnya memburu, dadanya begitu sesak terasa. Mendengar kenyataan yang mengejutkan, melihat bagaimana ibu membela Ambar sampai menunjuk-nunjuk wajahnya, dan melihat Bumi hanya diam saja tak membela diri.
Rania mulai menangis dengan kepala tertunduk. "Tapi semua ... Bagaimana?"
"Pernikahan tetap akan berlangsung. Tapi bedanya Ambar yang akan menggantikan posisimu."
"Kenapa ayah dan ibu mengatakan hal seperti itu dengan mudah? Apa kalian tidak mengerti perasaanku? Kenapa harus aku yang mengalah lagi pada akhirnya? Dan Ambar, apakah tidak ada laki-laki lain yang bisa kamu jadikan calon ayah dari anakmu? Kenapa harus calon suami kakakmu sendiri?"
Bumi mengenggam lembut tangan Rania, berniat menenangkan, namun langsung ditepis oleh sang empu. Ia merasa bersalah karena tahu betul perjuangan Rania selama ini, tahu jika Rania banyak mengalah pada adiknya. Dan sekarang, Bumi malah menambah rasa sakit dihati Rania.
"Rania—,"
Sang empu beranjak dari duduknya, membuat empat pasang mata langsung mengikuti pergerakannya.
Tanpa sepatah kata, Rania bergerak pergi meninggalkan ruang tamu, ia berlari keluar dan tidak ada tujuan pasti mau kemana dia.
Pijakan kaki Rania terhenti diujung teras saat merasakan tangannya ditahan dari belakang. Begitu menoleh, Rania melihat sosok Bumi.
"Jangan sentuh aku kalau kamu tidak membantah ucapan ibu," Ucapnya sambil menarik tangan. Manik berkaca-kaca menyorot penuh luka pada Bumi.
Menelan ludahnya sendiri. "Kenapa kamu tidak membantah? Apa semua ucapan ibu benar? Kamu menghamili Ambar, adikku sendiri?" Memelankan suara diakhir kalimat. Rania kembali mengusap air mata dipipi menggunakan punggung tangan.
"Kamu selingkuh—,"
"Aku tidak," Bantah Bumi cepat. "Aku tidak selingkuh darimu, aku berani bersumpah!"
"Kamu membantah soal selingkuh tapi kamu tidak membantah sudah menghamili Ambar. Jadi benar?"
Bumi menelan ludahnya gugup. "Ra—,"
"Jadi benar, mas?" Mengulang lagi pertanyaan, kali ini menekan disetiap kata.
"Benar. Tapi aku tidak sadar melakukan hal itu, aku dijebak."
Bumi mencoba meraih tangan Rania lagi dan berniat menggenggamnya, namun kembali, Rania menarik tangan dan berjalan mundur menjauhi Bumi. Isakan terdengar jelas karena Rania tidak bisa menahannya lagi. Semua terasa campur aduk, namun satu hal yang pasti, Rania merasa tidak percaya.
"Dengarkan aku, aku dijebak dan aku tidak sadar saat melakukan hal itu, Rania. Tolong percaya padaku."
"Tapi kamu dalam keadaan sadar, 'kan?"
"Aku minta maaf. Waktu itu aku tidak bisa menahan diri karena pengaruh obat."
"Apa kamu yakin anak yang dikandung oleh Ambar adalah anak kamu?"
Bulu alis Bumi menekuk. "Maksudmu?" Sebelum Rania membuka mulut, Bumi kembali melanjutkan. "Aku yakin karena waktu itu aku melihat darah diatas selimut. Jadi aku pikir— tidak, Rania. Tolong percaya padaku."
"Bagian mana yang harus aku percaya? Soal anak yang dikandung oleh Ambar adalah anak kamu?"
Kepala Bumi menggeleng lemah, bukan itu. Bumi ingin Rania percaya tentang dirinya yang dijebak, karena memang seperti itu kenyataannya. Bumi bingung harus menjelaskan dari mana, yang pasti ia tidak berbohong tentang satu hal tersebut.
"Aku ... Aku minta maaf," Kepalanya tertunduk dalam diakhir kalimat.
"Lalu bagaimana sekarang? Jangan hanya meminta maaf karena hal itu tidak akan merubah situasi yang ada. Apa yang akan kamu lakukan setelah ini? Membatalkan pernikahan yang sudah kita susun sejak lama? Kamu tidak ingat bagaimana kita berjuang untuk sampai dititik ini?"
"Aku tidak ingin kita berpisah—,"
"Gugurkan saja kandungan Ambar."
"Dan aku tidak akan membiarkan janin itu digugurkan," Lanjutnya. Bumi merasa bersalah setelah mengatakan hal ini, bagaimana manik kembar yang biasa berbinar saat bersamanya, kini tampak redup dan kosong.
Jangan tanya bagaimana hancurnya perasaan Rania sekarang. Sangking sakitnya Rania sampai bingung harus mengekspresikan perasaannya dengan cara apalagi selain menangis.
Mendengar pernyataan Bumi membuat Rania menyadari satu hal. "Kamu lebih memilih Ambar pada akhirnya?"
"Tidak ada pilihan lain," Lirih Bumi.
"Ada. Tapi kamu pasti tidak akan melakukannya."
"Apa? Coba katakan."
"Gugurkan janin itu. Untuk saat ini janin itu belum terbentuk sempurna, bukan masalah besar jika digugurkan, dan kita masih bisa melanjutkan pernikahan. Lagipula Ambar juga harus melanjutkan kuliah sampai selesai."
Tak disangka, Bumi malah merubah ekspresi wajahnya menjadi datar. "Jangan gila. Aku masih waras untuk tidak membunuh darah dagingku sendiri, bunda dan ayah tidak akan setuju dengan usulanmu itu."
"Ayah dan bunda tahu?"
Sepertinya Rania adalah satu-satunya orang paling bodoh disini. Semua orang tahu? Apa mungkin sebenarnya hubungan Bumi dan Ambar sudah terjalin lama dibelakangnya? Lalu semua orang tahu dan menutupinya dari Rania. Puncaknya adalah kehamilan Ambar.
Kepalanya mengangguk-angguk. "Kalian semua jahat," Likuid bening menumpuk dipelupuk mata. Tak lama mengalir melewati pipi yang sudah basah.
"Aku hanya akan menikahi Ambar sampai anak itu lahir, aku akan menikahi mu setelahnya. Kita masih bisa bersama."
"Kamu benar-benar memilih Ambar, mas?" Nada suaranya terdengar tak percaya. Bagaimana tidak? Semua hal tentang hubungannya dengan Ambar, Rania ceritakan semua pada Bumi, tidak ada yang terlewatkan. Harusnya Bumi tidak melakukan hal ini, Rania semakin merasa sakit dan jatuh.
"Maaf—,"
"Kamu memilih bersamaku atau menggugurkan kandungan Ambar."
"Sudah aku bilang, aku tidak akan menggugurkan janin itu Rania! Aku menginginkan janin itu! Dia darah dagingku!"
Bumi mengusap wajahnya kasar setelah kelepasan membentak Rania. Ini adalah kali pertama Bumi meninggikan suara pada Rania, dan alasannya adalah Ambar, orang yang sudah memberikan rasa sakit pada Rania. Lagi-lagi Bumi hanya merasa bersalah.
Lihat. Mata indah favoritnya kini semakin redup dan kosong, tubuh yang biasa dia dekap, kini bergetar hebat dibarengi tangisan menyesakkan.
"Kamu benar-benar memilih Ambar?" Rania bertanya sekali lagi untuk memastikan.
Rasanya sangat frustasi ditanya seperti itu. Bumi merasa jantungnya berdetak kencang. "Aku memilih Ambar sampai anak itu lahir saja—,"
"Satu kali kamu memilih Ambar, selamanya aku akan membencimu, dan aku tidak akan sudi menerimamu kembali. Lebih baik tidak sama sekali daripada aku menerima bekas adikku sendiri. Aku tidak akan sudi."
Bumi sedikit gemetar mendengarnya, takut jika Rania benar-benar serius saat mengatakan hal itu. Jika benar, tentu saja Bumi akan merasa hidup tanpa nyawa setelahnya, karena sebagian hidupnya ada pada Rania.
Baru belah bibirnya terbuka hendak mengeluarkan suara, teriakan Mina dan Anton terdengar memanggil namanya.
"Bumi! Ambar kesakitan dibagian perut!"
Bumi merespon cepat dalam bentuk tindakan, ia segera memutar tubuh dan berniat melangkah masuk. Namun baru satu langkah ia ambil, suara teriakan Rania kembali terdengar dan menahan langkahnya secara otomatis.
"Bumi! Aku serius saat mengatakan kalau aku tidak akan menerimamu lagi dimasa depan jika saat ini pilihanmu adalah Ambar! Meskipun kamu berlutut dan bersujud, aku tidak akan menerimamu kembali! Aku bersumpah!" Rania menjerit seperti orang kesetanan. Begitu kalimat berakhir, Rania berlari tanpa tujuan dan tanpa alas kaki. Tak peduli jika nanti kakinya akan terluka apabila ia menginjak sesuatu. Yang pasti, Rania ingin pergi dari rumah, bangunan yang selalu menjadi saksi bisu atas rasa sakitnya.
hobi merampas yg bukan milikmu....
tunggulah azab atas smua kbusukanmu ambar...
tak kn prnah bahagia hidupmu yg sll dlm kcurangan...
👍👍
tpi.... ank yg tak di anggp justru kelak yg sll ada untuk org tuanya di bandingkn ank ksayangan....