Meira, gadis muda dari keluarga berantakan, hanya punya satu pelarian dalam hidupnya yaitu Kevin, vokalis tampan berdarah Italia yang digilai jutaan penggemar. Hidup Meira berantakan, kamarnya penuh foto Kevin, pikirannya hanya dipenuhi fantasi.
Ketika Kevin memutuskan me:ninggalkan panggung demi masa depan di Inggris, obsesi Meira berubah menjadi kegilaan. Rasa cinta yang fana menjelma menjadi rencana kelam. Kevin harus tetap miliknya, dengan cara apa pun.
Tapi obsesi selalu menuntut harga yang mahal.
Dan harga itu bisa jadi adalah... nyawa.
Ig: deemar38
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
OT 5
Kevin duduk di teras belakang mansion-nya, sebuah rumah megah dengan halaman luas dan kolam renang yang berkilau diterpa sinar matahari pagi. Angin berhembus pelan, tapi suasana terasa berat.
Di hadapannya, manajernya sibuk membuka berkas dan tablet, membicarakan jadwal tur, wawancara, hingga kontrak baru yang menanti. Kata-kata itu mengalir deras, penuh angka, tanggal, dan kesepakatan bisnis.
Namun Kevin nyaris tak mendengarnya. Tatapannya kosong, terarah pada permukaan kolam renang yang beriak pelan. Ia menopang dagu, pikirannya melayang jauh dari riuh dunia yang selalu menuntut.
Senyum yang biasa ia tampilkan di panggung, tawa yang sering ia pamerkan di depan kamera, kini lenyap. Yang tersisa hanyalah sorot mata jenuh, lelah oleh popularitas yang terus menjeratnya.
Dalam hatinya, Kevin rindu pada kebebasan pada momen sederhana ketika musik hanyalah musik, bukan sekadar tuntutan. Tapi di hadapannya, manajernya masih terus bicara, seolah tak menyadari bahwa Kevin perlahan terhanyut dalam dunia yang tak lagi ia nikmati.
Kevin bersandar malas di kursi, matanya tetap kosong menatap kolam renang yang berkilau diterpa cahaya matahari. Manajernya duduk di hadapannya, tablet terbuka penuh jadwal padat.
“Kev, minggu depan ada wawancara di salah satu stasiun TV dan radio. Setelah itu tur beberapa kota. Kontraknya sudah deal, jadi kamu harus siap,” ujar manajernya serius.
Kevin mendesah pelan. “Yeah, I know... tapi seriously, do I have to do all of that? It’s like... never-ending, man.”
Manajernya menatapnya dengan kening berkerut. “Of course, Kevin. Ini bagian dari pekerjaanmu. Fans nunggu kamu, sponsor juga.”
Kevin menoleh malas, bibirnya menyeringai tipis. “Always fans, always money, always schedule... bro, kapan aku bisa breathe? Kapan aku bisa hidup kayak orang normal, hah?”
Manajernya terdiam sejenak, lalu mencoba menenangkan. “Kamu tahu kan, Kev, hidup jadi bintang emang begini.”
Kevin terkekeh hambar. “Yeah, hidup jadi bintang... tapi kadang aku mikir, aku ini bintang atau... prisoner of my own fame?”
Suasana teras jadi hening. Angin berembus, membawa suara air kolam yang beriak. Kevin kembali menatap kosong ke permukaan air, wajahnya letih, seakan dunia yang ia jalani bukan lagi miliknya.
“Aku lanjutin ya, bulan depannya ada photoshoot di Tokyo, terus balik ke Jakarta buat dua acara TV. After that, we fly to LA lagi buat recording,” jelas manajernya, suaranya mantap, seperti biasa.
Kevin hanya mengangkat alis, matanya tak lepas dari permukaan air yang berkilau. Jari-jarinya mengetuk pelan sandaran kursi, seolah lebih tertarik pada irama ketukan itu daripada jadwal yang berderet panjang.
“Kevin, kamu dengerin nggak sih?” nada manajernya meninggi sedikit, frustasi dengan sikap acuh bosnya.
“Hm?” Kevin menoleh sekilas, lalu kembali memandang ke kolam. “Yeah, I hear you... but honestly, aku bosen banget, bro. Kayak... hidup aku cuma diatur sama schedule. No space, no freedom.”
Manajernya menghela napas. “Itu resiko, Kev. You superstar, semua orang ngefans, kamu dapet apa aja yang you mau. Harusnya you bersyukur.”
Kevin tertawa tipis, hambar. “Bersyukur? Aku bahkan nggak inget kapan terakhir kali aku ngelakuin sesuatu yang aku mau... bukan yang orang expect dari aku.” Ia meraih segelas soda di meja, meneguknya, lalu menggeleng pelan. “Kadang aku mikir, apa aku cuma... puppet yang jalan sesuai script?”
Manajernya terdiam, menatap Kevin yang kini terlihat benar-benar letih. Popularitas yang bagi orang lain tampak gemerlap, baginya justru terasa menyesakkan.
Manager-nya masih setia membuka catatan di tangannya, bicara tentang beberapa tawaran baru yang datang yang sayang untuk dilewatkan. Tapi Kevin sama sekali tidak memandangnya. Matanya hanya menatap ke permukaan kolam renang.
“Kev, ini kesempatan besar, you know. Kalau kita ambil, nama Silver Dawn bisa makin naik,” suara sang manager berusaha meyakinkan.
Kevin mendengus pelan, jemarinya mengetuk meja kayu di depannya. “Nama naik, duit ngalir... but at what cost, bro?” ucapnya dengan logat kebarat-baratan yang khas, lalu menoleh sebentar, menatap manajernya dengan sorot mata kosong. “Aku capek, man. Seriously... aku nggak bisa terus begini.”
Manager terdiam. Ia sudah lama bekerja dengan Kevin, tahu betul tekanan yang dihadapi Kevin. Tapi mendengar nadanya kali ini... berbeda, seperti ada sesuatu yang benar-benar diputuskan.
Kevin menarik napas panjang, seolah mengumpulkan keberanian. “Listen, I’m done. Aku mau berhenti dari Silver Dawn. Aku mau sekolah lagi, man. Live a normal life, you know? Bangun pagi, masuk kuliah, ngerjain tugas... bukan cuma panggung, kamera, fans, and fake smiles.”
Kata-katanya menggantung di udara. Manager terbelalak, tidak percaya dengan yang baru saja ia dengar.
“Apa... kamu serius, Kev?” suaranya nyaris berbisik.
Kevin menunduk, menutup wajah dengan kedua tangannya. “Yeah. For once in my life, I just wanna be... Kevin. Not Kevin from Silver Dawn. Just... me.”
Pagi itu terdengar lebih sunyi dari biasanya. Manager hanya bisa menatap anak muda itu, sadar bahwa keputusan ini mungkin akan mengubah segalanya bukan hanya untuk Silver Dawn, tapi juga untuk Kevin sendiri.
Sang manajer menatapnya tajam, sulit percaya dengan keputusan yang baru saja ia dengar.
“Kev... kamu serius?” suaranya nyaris berbisik, sarat dengan nada kecewa. “Kamu nggak bisa begitu aja ninggalin Silver Dawn. Band ini... hidup karena kamu.”
Kevin menghela napas panjang, mengusap wajahnya seolah ingin menutupi kekosongan yang ia rasakan. “No, man... band itu udah jadi sangkar buat aku. I'm tired, capek banget. Aku cuma... pengin normal life, ngerti nggak?” ucapnya, campuran logat kebarat-baratan dengan bahasa Indonesia yang setengah malas.
Manajernya menggeleng cepat, hampir putus asa. “Kamu pikir gampang? Fans, kontrak, semua orang yang udah taruh harapan sama kamu. Kamu tega ngecewain mereka begitu aja?”
Kevin hanya menatap kosong ke arah kolam, senyum hambar terbit di wajahnya. “Better mereka kecewa sekarang... daripada aku hancur pelan-pelan, bro.” Ia menelan ludah, lalu menambahkan dengan suara lebih pelan, “Aku akan ngomong sama yang lain. We’ll find another vocalist. Silver Dawn can move on without me.”
Manajernya terdiam, rahangnya mengeras, menahan emosi. Namun tatapannya tetap penuh luka. Sedangkan Kevin hanya menggeleng pelan, seolah ingin menutup percakapan itu. Dalam hatinya, keputusan sudah bulat. Ia ingin berhenti. Ia ingin kembali jadi seorang pemuda biasa, yang bisa sekolah, yang bebas memilih jalannya sendiri.
“Kev, please... jangan kabarin ini ke publik dulu. Kalau berita ini bocor, semua orang bakal heboh. Fans, media, label... it’s gonna be chaos, masih ada kontrak yang sudah ditandatangani,” suara sang manajer terdengar memohon, meski dibalut nada tegas khas seorang profesional.
Kevin tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap kosong ke arah jendela besar. Bibirnya melengkung tipis, sebuah senyum yang entah ditujukan untuk manajernya atau untuk dirinya sendiri.
“Hei, aku ngerti kamu kecewa. But... my decision won’t change,” ucapnya pelan.
Manajernya menghela napas panjang, jelas frustrasi. “At least... kasih waktu. Jangan buru-buru. Biar gue atur dulu semuanya. Lo ngerti kan, Kev? Gue cuma mau semuanya smooth.”
Kevin menoleh, senyum tipisnya masih bertahan. Bukan senyum bahagia, melainkan senyum yang penuh lelah, seakan ia sudah tidak peduli lagi pada hiruk-pikuk dunia yang dulu membesarkan namanya. Tanpa sepatah kata pun, ia hanya mengangguk kecil lalu kembali memandang keluar jendela.