Aluna ditinggal mati suaminya dalam sebuah kecelakaan. Meninggalkan dia dengan bayi yang masih berada dalam kandungan. Dunianya hancur, di dunia ini dia hanya sebatang kara.
Demi menjaga warisan sang suami, ibu mertuanya memaksa adik iparnya, Adam, menikahi Aluna, padahal Adam memiliki kekasih yang bernama Laras.
Akankah Aluna dan Adam bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hare Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
“Bilang aku reuni!” bentak Adam.
“Sudah, Mas.”
“Dasar bodoh!”
Tut!
Adam langsung mematikan sambungan telepon tersebut. Dia marah dan kesal, tentu saja. Karena dia pergi untuk bertemu dengan Laras. Sudah cukup lama tidak bertemu, dan sekarang diminta pulang keesokan harinya.
Jarak antara rumahnya dengan kota XXX tidaklah dekat, butuh waktu tiga sampai empat jam. Jika harus bolak balik pulang secepatnya, tentunya itu akan menguras energy.
Di dalam mobilnya, Adam memukul kemudi saking kesalnya kepada Aluna yang bahkan tidak bisa diandalkan.
“Apa susahnya mencari alasan!” kesal Adam.
Dia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, tujuannya hanya satu yaitu bisa bertemu dengan Laras secepatnya.
Sementara itu, Aluna hanya bisa menatap layar ponselnya yang sudah gelap, suaminya sudah mematikan panggilan, tanpa salam, tapi dengan penuh kemarahan. Jujur saja, Aluna merasa takut mendengar amarah dari Adam yang menggebu-gebu, karena selama ini dia tidak pernah mendengar suara Adam meninggi.
Adam hampir sama dengan Arman, hanya saja bedanya Adam sangat dingin kepada Aluna. Dan itu wajar, karena Aluna bukanlah orang yang dicintainya.
“Mam-maa.” Kiya yang sedang bermain seorang diri di teras tampak berjalan pelan dengan langkahnya yang masih tertatih-tatih itu menuju kearah Aluna.
“Iya, Sayang.”
“Susu,” ucap Kiya dengan begitu lucu.
Aluna tersenyum, dia memberikan dot yang berisi susu di tangannya kepada Kiya. Anak perempuan itu tampak menerimanya sambil tersenyum sumringah.
Keesokan harinya…
Ciit!
Suara mobil berhenti dengan tergesa di halaman rumah. Saat itu, Aluna yang sedang masak makanan untuk Kiya berlari kecil ke halaman. Dia terkejut mendengar decitan itu.
Adam tampak keluar dari mobil dengan raut wajah datar, tapi Aluna bisa menebak kalau Adam pasti marah. karena dia yang seharusnya masih berada di kota terpaksa harus kembali.
Bahkan, Aluna pikir Adam tidak akan pulang. Tapi, ternyata lelaki itu memilih pulang meskipun dengan setengah hati. Sebenarnya, sejak beberapa bulan pernikahan mereka, Aluna sudah meminta mereka berpisah dan Adam harus jujur kepada orang tuanya mengenai Laras, tapi Adam menolak.
“Bagaimana denganmu kalau bercerai?” tanya Adam kala itu.
“Aku dan Kiya akan kembali ke rumah orang tuaku.”
“Rumah yang hampir roboh itu?”
“Iya. Hanya perlu perbaikan dapur dan kamar saja, itu cukup, bisa aku dan Kiya tinggali.”
“Bagaimana dengan hidup kalian, apa yang bisa kamu lakukan? Apa kamu akan menuntut harta Mas Arman?” tanya Adam.
Aluna menggelengkan kepalanya. “Aku tidak akan menuntut apapun dari harta Mas Arman. Aku bisa memasak, meskipun tidak terlalu jago. Aku bisa berjualan makanan. Dan aku juga bisa berusaha online, bukankah sekarang bisa menjadi affiliate?”
“Kamu kira semudah itu?”
“Ya kita gak bakal tahu kalau tidak dicoba,” jawab Aluna.
Dan hasilnya, tentu saja Adam menolak. Dia selalu beralasan menjaga wasiat Arman. Dia tidak ingin dihantui rasa bersalah kepada Arman, karena telah mengabaikan Aluna dan Kiya. Dan akhirnya sampai saat ini rumah tangga mereka masih bertahan.
Aluna tidak banyak menuntut, dia juga tidak bisa mencegah saat Adam ingin bertemu dengan laras, karena dia sadar diri kalau dialah orang ketiga dalam hubungan Adam dan Laras.
“Kita ke rumah Papa dan Mama,” ujar Adam yang baru saja tiba di depan pintu membuyarkan lamunan Aluna.
Aluna tergagap. “Kami ikut?”
“Iya. Biar aku bisa cepat pulang,” jawab Adam.
Aluna hanya mengangguk, dia tahu maksud Adam adalah agar dia tidak berlama-lama di rumah orang tuanya. Karena Kiya tidak pernah betah lama di rumah kakek dan neneknya. Meskipun disana banyak makanan dan mainan, tetap saja Kiya selalu merengek meminta pulang kalau sudah lebih dari satu jam. Kiya seolah paham kalau ibunya tidak diterima dengan baik di rumah itu.
Tidak berapa lama, Aluna dan Kiya sudah siap.
“Kita naik motor saja.”
“Iya, Mas.”
“Papa,” panggil Kiya dengan riang ketika melihat Adam. Sejak semalam dia rewel selalu mencari Adam, dan akhirnya hari ini Adam pulang, dunianya terasa kembali utuh. Ada ibu da nada ayah.
“Iya, Sayang. Sini, Kiya gendong Papa, biar bisa kena angin,” jawab Adam mengambil alih Kiya dari gendongan Aluna.
Aluna tidak menolak, dia tahu Kiya cukup dekat dengan Adam. Dan pastinya keduanya sama-sama bahagia saat sudah bersama.
Perjalanan hanya sepuluh menit itu akhirnya tiba, rumah dua lantai bergaya modern itu menyambut kedatangan mereka dengan dingin.
“Untung kamu cepat kesini. Tuh Pak Tigor sudah mau pulang,” sambut Bu Ratna melihat kedatangan anak bungsunya itu.
Ternyata pertemuan dengan pemilik alat berat itu dimajukan. Pemilik ingin segera kembali ke kota, dan karena setelah ini mereka tidak lagi datang ke lokasi ini, mereka akan menjual alat beratnya. Dimas, ayahnya Adam, akan membeli semuanya, empat unit.
Adam langsung bergabung dengan sang ayah dan tamunya. Sedangkan Aluna masuk melewati pintu dapur membawa Kiya.
“Kamu gak telepon Adam dari kemarin?” tanya Ratna ketus.
“Telepon, Ma. Mama pulang itu, aku langsung menghubungi Mas Adam,” jawab Aluna.
“Mengapa gak pulang sejak pagi?”
Ratna tampak masih sangat kesal, karena sejak kedatangan Pak Tigor itu dia tidak bisa menghubungi Adam. Menelpon Aluna juga tidak mendapat jawaban.
“Apa ponsel kamu mati?”
“Gak kok, Ma.”
“Kenapa gak dijawab? Sengaja mengabaikan Mama?”
“Gak dengar, Ma. Coba aku periksa dulu,” jawab Aluna.
Dia menepuk keningnya saat melihat data seluler pada ponselnya dalam keadaan mati. Kebiasan Aluna saat mengecas daya ponselnya dimatikan.
“Maaf, Ma. Lupa nyalain sinyalnya,” ucap Aluna akhirnya.
Bu Ratna melengos, dia semakin emosi melihat menantunya ini. Bertahun-tahun tidak ada perubahan, penampilan sederhana, sama sekali tidak menunjukkan kalau dia menantu dari orang terkaya di desa ini.
“Sudah umur segini, Kiya bahkan belum lancar ngomong. Apa yang kau lakukan di rumah?” tanya Bu Ratna ketika dia tidak mengerti dengan apa yang Kiya katakan.
“Baru setahun, Ma,” jawab Aluna.
“Setahun itu sudah besar, seharusnya dia sudah lancar. Ini hanya bisa panggil nenek, Papa, Mama. kamu itu selalu saja banyak alasan!”
Aluna hanya diam dan menunduk, percuma saja dijawab, karena sebenarnya ibu mertuanya tahu kalau anak setahun belum bisa lancar bicara. Hanya saja, sang ibu mertua ingin mengeluarkan uneg-unegnya kepada Aluna.
Satu jam berlalu, Kiya mulai merengek minta gendong sama Aluna. Seperti biasanya, pastinya dia mulai meminta pulang.
“Harus sering-sering diajak ngobrol biar dia pintar. Arman sangat pintar, dia selalu juara kelas, jangan sampai karena didikanmu, Kiya malah jadi bodoh,” sambung Bu Ratna.
“Iya, Ma.”
“Kalau dilihat-lihat kamu mulai gemuk. Atau hamil? Hamil aja kerjamu, kenapa? Takut kalau ditinggalkan Adam?” tanya Bu Ratna.