NovelToon NovelToon
The Path Of The Undead That I Chose

The Path Of The Undead That I Chose

Status: sedang berlangsung
Genre:Iblis / Epik Petualangan / Perperangan / Roh Supernatural / Kontras Takdir / Summon
Popularitas:279
Nilai: 5
Nama Author: Apin Zen

"Dalam dunia yang telah dikuasai oleh iblis, satu-satunya makhluk yang tersisa untuk melawan kegelapan… adalah seorang yang tidak bisa mati."



Bell Grezros adalah mantan pangeran kerajaan Evenard yang kini hanya tinggal mayat hidup berjalan—kutukan dari perang besar yang membinasakan bangsanya. Direnggut dari kematian yang layak dan diikat dalam tubuh undead abadi, Bell kini menjadi makhluk yang dibenci manusia dan diburu para pahlawan.

Namun Bell tidak ingin kekuasaan, tidak ingin balas dendam. Ia hanya menginginkan satu hal: mati dengan tenang.

Untuk itu, ia harus menemukan Tujuh Artefak Archelion, peninggalan kuno para dewa cahaya yang dikabarkan mampu memutuskan kutukan terkelam. Dalam perjalanannya ia menjelajah dunia yang telah berubah menjadi reruntuhan, menghadapi para Archfiend, bertemu makhluk-makhluk terkutuk, dan menghadapi kebenaran pahit tentang asal usul kekuatannya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Apin Zen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Menuju Kerajaan Bayangan

Hutan Arvendral bukanlah hutan biasa.

Pohon-pohonnya menjulang setinggi menara, daunnya berwarna perak kehijauan, dan setiap langkah di tanahnya memunculkan gema aneh seperti seseorang berjalan di atas air. Bell jarang merasa tersesat, tapi tempat ini seperti memakan arah.

Ia berhenti ketika mendengar suara tawa kecil.

Suara itu—entah bagaimana—terasa seperti milik seorang anak… tapi tua.

> “Kau bukan bagian dari hutan ini.”

Bell menoleh. Dari balik akar raksasa, keluarlah seorang gadis kecil berambut putih panjang, mengenakan gaun hitam lusuh. Matanya memantulkan cahaya biru pucat, seperti bulan yang terlalu dekat.

> “Siapa kau?” tanya Bell, tangannya tetap di gagang pedang.

“Eryndra,” jawabnya ringan. “Penyihir terakhir dari Menara Caelith. Aku hidup sebelum kerajaanmu lahir… dan mungkin, aku akan hidup setelah dunia ini mati.”

Bell mengerutkan alis. “Aku mencari fragmen Archelion.”

Eryndra tersenyum tipis, lalu mengeluarkan sebuah buku tebal dari udara kosong. Halaman-halamannya bergerak sendiri, lalu berhenti pada sebuah gambar: lambang mata emas yang dikelilingi sayap perak.

> “Fragmen ketiga berada di tempat yang tidak dapat kau temukan… kecuali jika peri-peri di Arvendral mengizinkanmu.”

Sebelum Bell bisa bertanya lebih jauh, cahaya hijau menyilaukan muncul di antara pepohonan. Dari cahaya itu, seorang wanita muncul—tingginya nyaris setara Bell, rambutnya seperti anyaman dedaunan, dan sayapnya berkilau dengan partikel cahaya.

> “Kau membawa tamu yang tidak diundang, Eryndra,” kata peri itu dengan nada tegas.

Eryndra tertawa kecil. “Kau terlalu kaku, Lythienne. Dia hanya ingin bicara.”

Lythienne, peri penjaga hutan, menatap Bell dari ujung kepala sampai kaki. Pandangannya menusuk seperti menilai dosa-dosa seseorang.

> “Aku bisa mencium bau kematian dari jarak bermil-mil. Mengapa aku harus mempercayai seorang undead?”

> “Karena aku ingin mengakhiri ini,” jawab Bell singkat. “Kutukan ini. Hidup yang tidak seharusnya dimiliki.”

Lythienne tidak menjawab. Ia melangkah maju, sayapnya mengepak ringan, lalu mengangkat tangannya ke arah Bell. Cahaya hijau mengalir dan menyentuh dada Bell, menembus lapisan baju zirahnya, menyentuh fragmen-fragmen yang ia simpan.

Peri itu menutup matanya sejenak… lalu membukanya kembali, penuh kehati-hatian.

> “Fragmen ketiga… ada di Kerajaan Bayangan.”

“Tempat itu terkunci oleh sumpah kuno, dan hanya mereka yang membawa tanda cahaya dan kegelapan yang dapat memasukinya.”

Eryndra tersenyum puas. “Lihat? Dia akan membutuhkanku. Dan mungkin… kau juga.”

Bell menghela napas. Ia tak pernah suka bekerja dalam kelompok. Tapi untuk pertama kalinya sejak perburuannya dimulai, ia merasa langkahnya tidak lagi sendirian.

Di atas kanopi hutan, bulan penuh bersinar… tapi Bell tahu, perjalanannya akan menuntunnya ke tempat yang jauh lebih gelap dari malam ini.

Langkah-langkah mereka bergema di hutan Arvendral, meninggalkan kehangatan samar cahaya peri di belakang.

Eryndra berjalan di depan, meski tubuhnya kecil, ia bergerak dengan keyakinan seperti seseorang yang sudah tahu semua jalan keluar dan masuk. Lythienne terbang rendah di sampingnya, sayapnya bergetar pelan setiap kali angin malam berhembus.

Bell mengikuti dari belakang, matanya tak pernah berhenti mengawasi bayangan di antara pepohonan. Ia tahu, mulai saat ini mereka bertiga bukan lagi sekadar pencari fragmen—mereka adalah sasaran.

> “Kerajaan Bayangan tidak berada di dunia yang sama seperti ini,” kata Eryndra tanpa menoleh.

“Itu berada di sela-sela realita. Untuk mencapainya, kita harus melewati Gerbang Eclipsia.”

Bell mendengus kecil. “Dan aku yakin gerbang itu tidak dibiarkan terbuka begitu saja.”

Eryndra tersenyum miring. “Benar sekali. Dijaga oleh Daevar, iblis pemburu jiwa, salah satu pelayan langsung dari penguasa neraka.”

Lythienne terbang lebih tinggi, matanya menyipit. “Kita tidak sendirian.”

Bayangan melesat di antara pepohonan, terlalu cepat untuk menjadi manusia biasa. Dari kegelapan, muncullah makhluk bersenjata tombak, kulitnya hitam seperti arang, matanya merah menyala. Mereka berjumlah empat… lalu enam… lalu delapan.

> “Pengekor,” gumam Bell. Tangannya meraih pedangnya, mata birunya memantulkan cahaya redup bulan.

Para iblis itu melangkah maju serempak.

Suara mereka seperti bisikan seribu lidah yang berdesis.

> “Kembalikan fragmen… atau serahkan tubuhmu, Pangeran Mayat.”

Bell mengangkat pedangnya. “Kalau mau, datanglah dan ambil.”

Pertarungan meledak tanpa aba-aba.

Bell menebas satu iblis di tengah, pedangnya memotong daging yang melepaskan asap hitam. Lythienne menembakkan panah cahaya dari udara, membakar dua pengekor menjadi abu. Eryndra melambaikan tangan kecilnya, dan lingkaran sihir ungu meledak, memutuskan formasi musuh.

Namun di tengah kekacauan, Bell merasakan kehadiran lain—lebih kuat, lebih tua, lebih berbahaya.

Dari balik kabut, seorang sosok tinggi berzirah hitam muncul. Helmnya berbentuk seperti tengkorak naga, dan di tangannya, ia memegang pedang hitam sepanjang tubuh Bell.

> “Daevar…” bisik Eryndra. “Kita terlalu cepat menarik perhatiannya.”

Bell menatap sosok itu. Tak ada rasa takut, hanya dingin yang biasa ia rasakan sejak menjadi undead.

> “Kita tak bisa menghindarinya,” kata Bell pelan.

“Maka kita harus memaksanya mundur… atau mati di sini.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!