Amara Olivia Santoso, seorang mahasiswa Teknik Industri yang sedang berusaha mencari pijakan di tengah tekanan keluarga dan standar hidup di masyarakat. Kehidupannya yang stabil mulai bergejolak ketika ia terjebak dalam permainan seniornya Baskara Octoga.
Situasi semakin rumit ketika berbagai konflik terjadi disekitar mereka. Novel ini menceritakan tentang kisah cinta remaja, persahabatan dan kehidupan kampus.
Stalker
Waktu menunjukan pukul dua malam ketika Baskara masih mencoba untuk memejamkan matanya yang berat namun tak kunjung tertutup. Tubuhnya meringkuk seperti landak yang mencoba untuk melindungi diri dari serangan predator.
Entah sudah berapa puluh kali ia mengubah posisi tidurnya, kali ini ia menggeliat kasar, hingga membuat selimut yang sedari tadi membungkusnya kini sudah separuh berada di lantai.
“Aishh sial” Ucapnya kasar.
Pandangannya kini menerawang jauh, hampir setiap sudut kamarnya di penuhi bayangan Amara dengan berbagai aktivitasnya. Mulai dari Amara yang sedang membaca buku duduk di tepi ranjangnya, Amara yang berdiri dan melihat kearah luar jendela, sampai Amara yang memakan kwetiaw goreng di meja belajarnya.
Pikirannya terus berisik : senyuman Amara, suaranya, wangi parfumya.
Baskara frustasi, ia berguling kasar di atas ranjangnya. Kali ini dia kalah, wajahnya merah padam. Sadar ada yang tidak beres dengan dirinya, segera ia mengecheck aplikasi heartrate di smartwatch yang melekat di tangan kirinya.
“Seratus sepuluh bpm” Baskara menggeleng gusar.
Dengan siap ia berdiri dan berjalan ke arah dispenser di kamarnya. Mungkin dengan minum segelas air mineral, ia bisa kembali bersikap waras.
“Kenapa yaaa, dia terlihat sangat aneh” Ucap baskara setelah menenggak beberapa teguk air dari gelasnya.
Baskara meraih ponselnya, “Kepribadian orang yang menggunakan jam tangan di tangan kiri menghadap ke bawah” Ucapnya sembari mengetik di kolom pencarian di ponselnya.
Tak lama, terlihat beberapa artikel yang memenuhi layar polselnya. Beberapa web yang dia baca berisikan informasi yang hampir sama.
“Perfeksionis, cukup tertutup dan cenderung sulit di dekati” Baskara bergumam pelan sembari mengangguk, baginya artikel itu persis seperti apa yang tergambar dari diri Amara.
Baskara terperosok lebih dalam, setelah kembali rebahan di atas ranjangnya, kini ia mulai membuka aplikasi instagram untuk memenuhi rasa keingintahuannya.
Dengan seksama, ia mulai mencoba mencari akun Amara di kolom pencariannya.
“Yess ngga di privat” teriak Baskara kegirangan, seperti seorang supporter yang mendapati tim sepak bola kesayangannya mencetak gol di tengah malam menuju subuh.
Dalam satu geser, ia menyusuri feed instragram Amara. Tak banyak foto yang ia posting di sosial medianya, sebagian besar di dominasi foto pemandangan gunung dan pantai. Hanya dua foto tentang Amara, itu pun di ambil dari samping dan belakang. Tak ada satu pun foto yang memperlihatkan rona ayunya dengan jelas.
Berpindah ke tagged posts, kali ini ada lebih banyak foto tentang Amara. Namun ada satu foto yang menarik perhatian Baskara. Sebuah foto yang memperlihatkan potret Amara tengah berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat dengan beberapa anak kecil di dalamnya, dari sebuah akun dengan tag lokasi alamat sebuah panti asuhan di Semarang.
Baskara tersenyum, hatinya berdecak hangat. Tanpa banyak berfikir, ia memutuskan untuk memfollow akun Amara sebelum akhirnya kembali tertelap.
***
“Tok tok tok” Suara pintu kamar Amara terketuk dari luar.
“Iya sebentar” Teriak Amara sembari berlari membuka pintu.
Mbak mei memberikan sebuah bungkusan kepada Amara, “Amara, ini orderan sarapanmu, tadi ada ojol kesini nganterin, terus nunggu kamu keluar lama jadi tak bawa aja sekalian”.
“Tapi aku ngga ada order Mba” Tanya Amara bingung.
“Ngga tau, tadi udah di bayar kata bapaknya” Sahut mba Mei sembari berjalan ke arah kamarnya.
Di lihatnya sekilas,sekotak nasi goreng seafood yang terbungkus rapi di dalam.
“Mba Mei, ini buat mba ajaaa” Amara berlari mengejar.
“Lah kenapa ra?” Tanya Mba Mei tak kalah bingungnya.
“Akukan alergi seafood mbaa, aku lihat isinya nasi goreng seafood soalnya” Jawab Amara sembari memberikan ke tangan Mba Mei.
“Wah rezeki anak kos tanggal tua nih, makasih ya raa” Kata Mba Mei.
“Makasih kembali Mba Mei, aku mau siap-siap dulu yaa, ada kelas jam delapan soalnya” Kata Amara sembari berlalu meninggalkan Mba Mei.
Setelah setengah jam kemudian, Amara sudah berada di parkiran kos untuk berangkat. Namun betapa terkejutnya dia mendapati sebuah buket bunga mawar merah berada di atas kap mobilnya. Dengan bingung, dia pun menoleh kesekeliling. Sangat sepi, tidak ada tanda tanda keberadaan seseorang. Diliriknya keatas, cctv parkiran terlihat pecah. Serpihanya berserakan di sekitar area bawahnya.
Reflek, Amara mundur satu langkah. Ada yang tidak beres, dengan cepat ia membuang buket mawar itu ke dalam tong sampah di ujung. Kembali ia melirik ke sekitar, ada rasa ngeri yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia merasa seperti sedang di awasi. Dengan langkah super cepat, ia masuk kedalam mobilnya.
Setelah sampai kampus, Amara langsung menuju koperasi fakultasnya, disana ia membeli sepotong roti dan susu kotak. Matanya terfokus ke layar ponselnya, sementara jari-jarinya mengetik pesan begitu cepat.
“Sendirian ra?” Tanya Ethan sembari menarik kursi di dekat Amara.
“Iya, nunggu Gwen sama Angkasa mau kekelas bareng” Jawab Amara sedikit gelagapan karena terdiktraksi akibat kedatangan Ethan yang tiba-tiba.
“Fokus banget sama hape sampe ngga kemakan sarapannya” Ucap Ethan sembari mengunyah gorengan yang ada di tangannya.
“Lah ini kan sarapan juga Ethan” Jawab Amara.
“Roti sama susu doang? Emang kenyang?” Tanya Ethan basa basi.
“Kenyang biasa aja sih” Jawabnya datar.
Dering notifikasi dari ponselnya berbunyi, dengan sigap Amara mengangkatnya.
“Ra aku udah di parkiran belakang. Nanti langsung ketemu aja yaa di kelas” Ucap Gwen dari seberang.
“Ohh okay Gwen” Jawab Amara mematikan panggilan itu.
“Aku duluan ya than” Kata Amara sembari berlalu meninggalkan Ethan.
Amara masih kepikiran, siapa orang iseng yang mengirimkan makanan dan bunga di kosnya pagi ini. Setahunya tak banyak orang yang tau dimana alamat kos yang ia tinggali. Hanya Gwen dan Angkasa yang beberapa kali sempat mampir.
“Dorr” Gwen menepuk pundak Amara dari belakang.
“Jangaann” Teriak Amara sembari berjongkok dan menutup kedua kupingnya.
Reaksi berlebihan Amara menarik perhatian beberapa orang yang duduk di lobby lantai satu. Termasuk Baskara dan teman angkatannya.
“Ra, sorry.. kamu gapapa kan?” Tanya Gwen Panik.
Nafasnya tersenggal, kerigat dingin membasahi dahi putihnya yang mulus, “Ya Ampun hampir copot jantungku Gwen”.
“Kamu gapapa beneran ra? Serius mukamu pucet banget” Tanya Angkasa memaastikan.
“Ratu drama banget deh” Ucap Celline menimpali dari jauh.
“Apaan sih Ce, udahlah jangan suka ikut nimbrung masalah orang” Emily menarik tangan Celline menyuruhnya untuk kembali duduk.
Baskara mengamati dari jauh, ada yang berbeda dari Amara pagi ini. Ia seperti sangat tertekan dan takut. Ternyata ada banyak sisi lain dari Amara yang tidak ia ketahui.
“Udah yuk naik ajaa” Kata Amara sembari menggandeng tangan Gwen.
Mereka bertiga pun berlalu begitu saja. Meskipun ada banyak tanda tanya di hati Gwen, namun ia memilih tetap diam sampai Amara yang akan menceritakannya sendiri.
“Ngobat kali yaa tu anak” El mulai memprovokasi.
“Tobat deh lo el, sekali lagi lo buat onar habis lo” Kata David penuh penekanan.
“Kelarin dulu nih tugas kita, aku gamau yaa sampai ngulang lagi tahun depan gara-gara sekelompok sama kamu” Satria menimpali.
“Emang lu semua gaada yang berpihak sama gue, heran sama temen sendiri” El semakin kesal.
“Eh El, lu mau ngulang bareng adek angkatan? Kalo gue nih, udah cukup dua mata kuliah semester ini bareng sama mereka. Malu anjir, padahal kita ngga ngulang. Merekanya aja yang pada pinter, bisa ngambil dua empat sks terus” Satria terus mengrutu sebal.
“Eits jangan lupa, semester ini praktikum proses manufaktur kita bakalan gabung sama mereka” Dyah menimpali.
“Loh emang iya? Kok bisa?” Tanya Baskara antusias.
“Kurikulum terbaru dari dinas pendidikan, gataulah infonya ngga valid. Tapi kemaren mereka ada ngambil sks praktikum proses manufaktur di semester ini” Kata David.
Celline menatap Baskara cemberut, tangannya mengepal cukup keras. “Sepertinya aku harus segera bertindak” Ucapnya dalam hati.