Armand bukanlah tipe pria pemilih. Namun di umurnya yang sudah menginjak 40 tahun, Armand yang berstatus duda tak ingin lagi gegabah dalam memilih pasangan hidup. Tidak ingin kembali gagal dalam mengarungi bahtera rumah tangga untuk yang kedua kalinya, Armand hingga kini masih betah menjomblo.
Kriteria Armand dalam memilih pasangan tidaklah muluk-muluk. Perempuan berpenampilan seksi dan sangat cantik sekali pun tak lagi menarik di matanya. Bahkan tidak seperti salah seorang temannya yang kerap kali memamerkan bisa menaklukkan berbagai jenis wanita, Armand tetap tak bergeming dengan kesendiriannya.
Lalu, apakah Armand tetap menyandang status duda usai perceraiannya 6 tahun silam? Ataukah Armand akhirnya bisa menemukan pelabuhan terakhir, yang bisa mencintai Armand sepenuh hati serta mengobati trauma masa lalu akibat perceraiannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenulisGaje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Pulang
Armand baru saja menyelesaikan satu pekerjaan terakhir yang harus diselesaikannya melalui panggilan telepon. Memberi beberapa instruksi kepada salah seorang yang ia percaya untuk membantu menangani pekerjaannya yang lain.
Ya, selain terkenal sebagai juragan tanah di kampungnya, Armand juga memiliki beberapa usaha lain yang pastinya menghasilkan keuntungan yang tidak sedikit.
Tidak seperti para sahabatnya yang terbiasa mengenakan pakaian rapi saat bekerja, kecuali Faris, yang merupakan pemilik restoran yang cukup besar di beberapa kota, Armand lebih suka bekerja dalam suasana yang santai, tanpa ada aturan yang mengikat, dan pastinya tak ada tenggak waktu.
Mengenakan kemeja, dasi yang mengikat di leher, serta jas yang melingkupi tubuh, sudah pasti Armand tak mau direpotkan dengan semua itu. Satu-satunya cara agar bisa melihat Armand berpenampilan layaknya pengusaha sukses seperti yang ada di novel-novel yang dibaca oleh Lala adalah saat situasi benar-benar sudah memaksa. Atau juga saat acara kawinan atau acara-acara tertentu.
Penampilan Armand memang selalu santai. Biasanya ia hanya mengenakan kemeja lengan panjang yang digulung hingga siku serta celana jeans. Dan kalau di rumah, sesekali Armand biasanya mengenakan celana pendek jika udara sedang panas.
Satu helaan napas lega Armand hembuskan setelah merasa tak ada lagi masalah lain yang perlu di pikirkan.
Yang perlu dilakukan hanyalah berbenah. Memasukkan beberapa helai pakaian ke dalam tas dan Armand pun siap untuk memberikan kejutan kepada ibunya.
"Jadi pulang sore ini, Man?"
Satu pertanyaan yang diucapkan dengan nada biasa saja tersebut justru membuat Armand hampir saja terperanjat karena terkejut. Jika bukan karena pengendalian yang sudah terlatih selama puluhan tahun, sudah pasti Armand akan memekik layaknya seperti salah satu pekerjanya di kampung.
Setelah menghembuskan napas panjang beberapa kali, Armand yang tadinya duduk di pinggiran tempat tidur langsung menoleh, memandang lurus ke arah ruang tamu rumahnya yang sederhana, dimana di atas sofa tunggal yang mengarah lurus ke kamarnya, terdapat Faris, yang duduk santai seraya mengedikkan bahunya santai.
Karena pintu kamar yang tak ditutup, Armand bisa melihat senyum jelas senyum di bibir sahabatnya itu.
Ah iya, karena sibuk membicarakan pekerjaan di telepon dengan salah seorang bawahannya yang bertanggung jawab mengurus pekerjaannya yang ada di sini, Armand benar-benar melupakan keberadaan Faris, yang berkunjung ke rumahnya bertepatan dengan Armand yang baru pulang dari kafe.
"Udah kayak salah satu bawahannya si mulut ember aja loh kau itu, Man. Badan boleh kekar, tampan cool, tapi hati dan gerakkannya selembut barbie." Faris terkekeh geli sendiri membayangkan salah seorang bawahan Fandy yang memiliki gerak gerik gemulai, dan bahkan pernah mengelus dadanya dengan jari jemari tangannya yang terawat. Bukan hanya Faris, bahkan mereka semua tak terlepas dari rayuan si pria gemulai tersebut.
"Jangan samakan aku dengan bawahan si otak mesuk itu lah." keluh Armand tak terima. Seraya berdiri dan menuju lemari pakaiannya, "Armand menambahkan, " Gini-gini aku masih normal. Masih suka sama 'apem' legit."
Perkataan Armand tersebut tak ayal membuat Faris terkekeh. Ia berdiri, melangkah perlahan menuju muka pintu kamar Armand yang terbuka, menyedekapkan kedua tangan di dada, serta bersandar di salah satu sisi pintu.
"Kalau memang masih suka 'apem', trus kenapa susah bagimu untuk melabuhkan hati lagi, Man?" tanya Faris santai sambil menatap Armand yang sedang mengeluarkan beberapa pakaiannya dari dalam lemari.
"Kau sendiri, kenapa belum menikah lagi?"
Pertanyaan balik yang dimaksudkan untuk menyatakan posisi mereka yang hampir sama justru menerbitkan senyum simpul di bibir Faris. "Aku menyandang status duda bukan karena istriku nggak setia, Man, tapi karena Lia sudah dipanggil olehNya akibat penyakit yang dideritanya." tutur Faris yang sudah mengikhlaskan kepercayaan wanita yang sampai saat ini masih sangat ia cintai itu.
"Jadi, kalau misalkan nanti kau bertemu dengan perempuan yang bisa membuatmu kembali merasakan jatuh cinta lagi, kau siap untuk mengikatnya?" tangan Armand sibuk memasukkan pakaiannya ke dalam tas ransel saat menanyakan hal tersebut.
"Ya!" jawab Faris tanpa ragu. "Itu bukan karena aku nggak mencintai istriku lagi, tapi terkadang urusan hati, nggak ada siapapun yang bisa mengelak jika hati kita sudah terpaut. Untukku, asal memang Tuhan masih menggoreskan takdir cinta di dalam hidupku, asalkan perempuan itu bisa dengan tulus menyayangi putriku, maka aku akan membuka hatiku sepenuhnya untuknya." jelas Faris yang tak sedikitpun terdengar adanya keraguan dalam nada suaranya.
Armand menghembuskan napas berat. Diantara tangannya yang sibuk merapikan beberapa pakaian ke dalam tas ransel berwarna hitam tersebut, pikirannya kembali melanglang jauh ke belakang.
Bohong jika Armand mengatakan bahwa tidak ada satupun wanita yang mendekatinya usai ia menyandang status duda. Bukannya menyombong, tetapi sudah tak terhitung lagi berapa banyak wanita yang berusaha mendekati untuk mendapatkan perhatian darinya. Bahkan ibunya juga beberapa kali mencoba menjodohkannya. Mulai dari anak lurah sampai anak dari pemilik salah satu pondok pesantren, namun tak ada satupun dari mereka yang nyantol di hatinya.
Armand bukannya sombong. Armand juga bukan pemilih. Akan tetapi, seperti kata Faris tadi, perkara hati, tidak ada yang bisa memaksakan.
"Kalau kau nggak tertarik dengan wanita-wanita yang ada di kota, kenapa nggak coba cari lingkup pergaulannya yang masih terjaga. Si Lala, mungkin? Kau sudah mengenal dia dari kecil. Kau juga pastinya tau seperti apa sifat dan wataknya."
"Jangan mulai lagi deh, Ris." Armand merotasikan kedua matanya malas. Setelah melihat pakaiannya telah tersusun rapi, Armand pun menutup kembali tas ranselnya rapat-rapat. Kemudian, tatapannya yang tajam memandang Faris penuh penilaian. "Kenapa tiba-tiba kau jadi bawa namanya si Lala?" tanyanya curiga.
"Aku cuma khawatir aja." Faris menghembuskan napas perlahan. Kekhawatiran tak dapat disembunyikan dari pancaran matanya.
"Khawatir?" tanya Armand tak mengerti.
"Si kunyuk itu tadi pagi tiba-tiba datang ke restoranku. Dari pagi sampai waktunya makan siang, yang dia bicarakan cuma si Lala. Lala beginilah, Lala begitulah. Yang membuat aku kesal, dia bahkan mulai membayangkan yang nggak-nggak soal Lala. Aku pikir, kalau kau punya sedikit saja rasa suka di hatimu buat Lala, baiknya kau segera nikahi gadis itu, sebelum si otak ayam itu ngelakuin niat nggak benernya itu terhadap Lala."
"Ris... Ris," Armand menggeleng geli. "Lala itu udah aku anggap keluarga sendiri. Nggak ada sedikitpun rasa suka di hatiku untuknya. Tapi, kau tenang aja, si om-om haus belaian itu nggak akan mungkin bisa ngapa-ngapain Lala. Aku yang akan memastikan hal itu." ucap Armand yakin.
Lalu, dengan senyuman geli, Armand berkata, "Asal kau tau aja, nggak tertarik menjalin hubungan dengan gadis yang jauh di bawahku. Yang ada saat aku jalan dengannya, aku malah akan dianggap bapaknya, bukannya kekasih ataupun suaminya."
Faris menghela napas pasrah. Ia tahu bahwa tak mungkin baginya memaksa untuk menikahi Lala, si gadis manis yang merupakan anak angkat dari ibu Nur, ibunya Armand.
"Jadi, kenapa harus pulang di waktu menjelang malam begini? Nggak takut apa sama begal atau rampok yang mungkin menghadang jalanmu?" tanya Faris yang akhirnya mengalihkan pokok pembicaraan.
"Aku mau sekalian mantau si Rizal di perkebunan. Itu anak kerjaannya main sosmed mulu. Chattingan ama pacarnya nggak kenal waktu. Pusing aku ngeliatnya." keluh Armand kesal membayangkan salah satu pekerjanya yang suka ngeyel. "Dan untuk begal atau rampok, kau tau sendiri kan, aku ini siapa?" tanya Armand seraya menaik turunkan kedua alisnya.
Faris berdecak jengah. Ia tahu jika Armand jago bela diri. Tapi apakah harus dengan tampang menyebalkan seperti itu saat menanyakan hal itu padanya?
****
Suasana pagi itu terasa sejuk. Matahari pun malu-malu mulai menampakan sinarnya. Tampak tetesan berjatuhan melalui dedaunan pohon yang rindang, bunga, dan bahkan rumput. Suasana yang asri, ditambah dengan penduduknya yang ramah, meski ada beberapa yang suka julid, menyebabkan orang akan betah berasa di sana.
Memang belum terlalu banyak aktifitas yang terlihat di sana. Namun sudah terlihat ibu-ibu yang keluar rumah untuk berbelanja.
Dan, diantara beberapa rumah penduduk yang bisa dibilang cukup berdekatan, terdapat rumah ibu Nur.
Rumah ibu Nur terlihat sedikit berbeda dari rumah penduduk lainnya yang ada di sana. Tidak hanya rumahnya terbilang luas dan terbuat dari bahan kayu berkualitas, halaman yang mengelilingi rumah itu pun terbilang luas. Bahkan terdapat kebun bunga mawar di bagian sudut halaman. Tidak lupa pula terdapat pagar berbahan kayu yang mengelilingi. Pagar tersebut sengaja dibangun oleh Armand demi memastikan keselamatan sang ibu tercinta.
Di pagi yang sejuk itu pula, tampak ibu Nur telah duduk berselonjor di lantai di teras rumahnya. Dengan ditemani oleh Lala, teh hangat serta camilan berupa ubi rebus, wanita paruh baya yang rambutnya mulai tampak memutih seluruhnya namun masih terlihat sangat bugar itu, ibu Nur menikmati paginya sambil berbicara santai dengan Lala, anak angkat yang sudah dikenalnya sedari kecil.
Sesekali ibu Nur membalas hangat sapaan beberapa tetangga yang lewat depan rumahnya. Posisinya rumahnya yang tepat berada di depan jalan membuatnya bisa menyaksikan aktifitas tetangga yang ada di depan rumah, dan di sebelah kanan kirinya.
'Ahh... segar sekali pagi ini'
Ibu Nur bersuara dalam hati. Senyum tulus nan keibuan selalu tersemat di bibir saat sapaan beberapa tetangga kembali terdengar.
Kemudian, saat teringat akan sesuatu, segera saja ibu Nur menoleh ke arah Lala. Tatapan memincing, terlihat menyimpan kecurigaan saat menanyakan, "Kamu nggak ngasih tau Armand kalau ibu jatuh di sawah 'kan, La?"
Gadis yang bernama Mila, atau bisa dipanggil dengan Lala itu mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya dan kemudian menjawab, "Suwer deh, Bu, saya 'kan udah bilang kalau saya nggak ada ngasih tau juragan Armand kalau ibu jatuh di sawah."
"Yakin kamu?" pincingan mata ibu Nur makin menajam. "Kamu nggak bohongin ibu, kan?"
"Beneran, Bu. Sum... "
Belum lagi Lala berhasil menyelesaikan kalimatnya, suara mesin mobil yang perlahan mendekat, membuat baik Lala maupun ibu Nur langsung menoleh ke arah sumber suara.
Dalam hati Lala mengucap syukur. Suara mobil yang sudah dikenalnya milik siapa itu menyelematkan dirinya dari introgasi sang nyonya besar. Serta Lala juga tidak perlu lagi berbohong.
"Loh Armand... " ibu Nur berucap bingung. Pasalnya, tiap kali Armand akan pulang, putranya itu pasti akan memberitahunya. Biasanya juga sampai di desa hari sudah hampir malam, bukannya masih pagi begini.
Ibu Nur yang awalnya bingung dengan cepat langsung kembali mengarahkan pandangannya ke Lala. Tatapan wanita paruh baya yang masih tampak segar bugar itu memincing, seolah mengirimkan kata "Awas kamu ya, La!"
"Assalamualaikum... " Armand segera berucap salam begitu kakinya telah menapak di lantai teras. Mendapati ibunya terus mengerjapkan kedua matanya, mungkin bingung dengan kepulangannya yang tiba-tiba, Armand terkekeh kecil. Baru saja ibunya membuka mulut seolah hendak mengatakan sesuatu, Armand sudah lebih dulu membungkuk, menggenggam tangan kanan ibunya dengan lembut, lalu mencium punggung tangan yang telah mengeriput itu dengan takzim.
"Anak nakal." dengus ibu Nur. Meski begitu rasa haru serta bahagia tampak jelas dari pancaran mata juga ekspresi wajahnya.
Armand terkekeh kecil. Setelah meletakkan tas ranselnya begitu saja di lantai teras, Armand langsung duduk di dekat ibunya. Tak lupa kepalanya sedikit mengangguk saat sempat bersitatap dengan Lala.
"Kamu kok pulangnya nggak ngasih tau ibu sih, Man?" ibu Nur menepuk-nepuk pelan tangan putra semata wayangnya yang sedang menggenggam tangannya itu. "Kapan sampai sini? Kok kamu sampai sini pagi bukannya sore seperti biasa?" tanya ibu Nur tak sabar.
"Aku berangkatnya kemarin malam, Bu." Armand menjelaskan. "Sampai sini tengah malam, tapi aku mampir dulu ke perkebunan buat mantauin si Rizal. Tuh anak, walau kerjanya rajin, tapi begitu udah megang hp, jadi lupa segalanya."
Ibu Nur mengangguk-angguk pelan. Ia sangat mengenai seperti apa kelakuan salah satu pekerja yang dipercaya oleh putranya itu. "Udah sarapan belum?" ibu Nur bertanya saat melihat wajah putranya yang tampak lelah.
Armand menggeleng. "Belum. Sempat tidur sebentar di sana, setelahnya langsung ke sini."
Kembali ibu Nur mengangguk. Cepat ia menoleh ke Lala dan memerintahkan, "Bilang sama si mbok supaya cepat masaknya, La. Sekalian tolong kamu buatkan kopi untuk Armand."
Cepat Lala bergegas berdiri untuk melaksanakan apa yang dikatakan oleh sosok yang sangat dihormatinya itu. Bahkan suara teriakkannya memanggil si mbok masih bisa terdengar meski sosoknya tak lagi terlihat, membikin Armand dan ibunya terkekeh.
"Si Lala nggak pernah berubah ya, Bu." ucap Armand kini ikut berselonjor santai sambil menatap kebun bunga mawar ibunya. Keningnya berkerut dalam saat melihat kebun mawar ibunya terawat dengan baik.
"Iya, si Lala itu selalu begitu. Umurnya boleh aja makin tambah dewasa tapi kelakuannya... "
"Pagi Nek... "
Suara yang terdengar lembut, selembut angin yang menyapa permukaan kulit tersebut langsung perhatian sepasang ibu dan anak itu teralihkan. Jika ibu Nur langsung tersenyum cerah, maka Armand malah mengerutkan kening karena bingung.
"Siapa gadis itu?"
"Penduduk sini atau penduduk dari RT sebelah?"
Yang lebih penting lagi yang ingin Armand ketahui adalah...
"Kenapa wajah itu tampak tidak asing meski belum pernah sekali pun Armand bertemu dengannya."