Terpaksa Menikahi Keponakan Tiriku

...POV Deva...

...****************...

Hari terlihat cerah, namun hatiku terasa mendung. Aku tak pernah benar-benar percaya bahwa semua ini bisa terjadi. Batinku tersiksa dan ingin sekali menolak semuanya, namun dia menyuruhku melakukan semua ini. Aku menuruti semua permintaannya demi keluargaku. Aku selalu diam menerima, namun diamku justru membuat seseorang melewati batasannya.

Tiara. Nama wanita yang kini menjadi istriku, sah secara agama. Tiara datang ke rumah ini membawa air mata dan tangisnya. Ia menangis seakan tak ada hari esok. Seolah-olah dunia telah menindasnya. Ia seperti ingin menunjukkan bahwa akulah suami yang menyakitinya. Seakan-akan ia tak punya pilihan lain selain menikah denganku.

Kenyataannya, bukan akulah satu-satunya korban dari semua ini, tapi kami. Ya, kami. Amarahku hanya bisa kutahan sendiri. Aku tidak ingin melampiaskan semuanya padanya, meskipun dia pantas mendapatkannya.

Hari-hari awal setelah akad itu seperti neraka kecil yang dibungkus manis oleh senyuman palsu dan suara lirih yang dibuat-buat. Tiara menangis hampir setiap malam. Tapi aku tak yakin, apakah itu karena kesedihan... atau bagian dari pertunjukan yang ingin ia suguhkan padaku.

Bahkan malam sebelum pagi sialan itu, aku mendengarnya menangis di balik pintu. Aku hanya menatapnya tanpa bersuara, tidak masuk. Bukan karena aku tak punya hati, tapi karena hatiku sudah lama milik orang lain. Dan Tiara bukanlah orangnya.

Pagi itu, aku melihatnya dari kejauhan, saat dia memandangku yang memasuki mobil waktu berangkat kerja. Dia berdiri di balik jendela kamarnya, menatapku seperti istri yang ditinggal kerja oleh suaminya. Padahal kenyataannya...

Dia memang istriku, aku tahu itu. Tapi aku tidak mencintainya. Bagiku, dia hanyalah wanita asing yang masuk ke hidupku.

Saat kembali malam itu, tubuhku terasa sangat lelah. Kepalaku penuh dengan tekanan dari berbagai arah: bisnis, dan juga Tiara, istriku sekaligus keponakan tiriku. Kakiku melangkah masuk ke ruang tengah, kulihat dia bergegas menyambutku.

Tiba-tiba Tiara menarik tanganku dan mencium punggung tanganku. Tubuhku menegang. Refleks, kulepaskan pelan lengannya. Aku marah, namun aku tidak akan berani menyakiti wanita, apalagi dia adalah istriku.

"TIARA!! LANCANG KAMU!!?" teriakku.

Mataku memicing ke arahnya, nafasku mendadak berat. Aku sungguh sangat lelah malam ini. Bagaimana bisa dia jadi berubah lancang, menyentuhku?

Kulihat Tiara tetap berdiri di tempatnya. Seperti... korban. Bagaimana seorang wanita yang tidak tahu apa-apa? Padahal dia tahu semuanya, tentu akupun tahu dia tahu segalanya. Tapi tak pernah mau mengaku, dan menunjukkan segala tentang dirinya.

Tangannya kembali menarik tanganku. Menatapku dengan mata yang dibuat berkaca-kaca.

"Aku tetap istrimu, Mas. Aku tidak akan melepaskanmu. TIDAK AKAN."

Ucapan yang keluar dari bibirnya membuat darahku mendidih. Dia bicara seolah kami sepasang kekasih yang menikah karena cinta, seolah semua ini adalah takdir romantis yang harus kami jalani bersama.

Aku menoleh... ke arahnya. Kutatap dia dari atas ke bawah... Tawaku akhirnya meledak.

"Ha... ha... ha..."

"Apakah kamu sedang bermimpi?" Kulangkahkan kakiku mendekatinya. "Bagaimana bisa kamu masih punya keberanian, Tiara?"

Aku melihat tubuhnya kaku. Tapi aku sudah terlalu lelah untuk bersandiwara.

"Diamku membuatmu besar kepala rupanya," gumamku. "Sebelum aku benar-benar hilang kendali, lepaskan lenganku sekarang." Aku mencoba mengontrol diri, agar tidak melukainya lebih dari ini.

Dia terdiam. Tapi tatapannya seperti masih ingin menang. Kulihat tubuhnya gemetar dan tangannya yang mengepal.

"Kupikir kau hanya wanita biasa. Tidak kusangka kau lebih rendah dari itu... Wanita murahan. Harusnya kamu sadar, Tiara Lestari, semua ini karena kamu, karena kebodohanmu, aku harus menanggung semuanya."

Habis sudah kesabaranku. Bagaimanapun, wanita ini harus sadar posisinya. Aku tahu perkataanku kejam. Sungguh, aku tidak pernah melakukannya pada wanita lain. Aku tidak pernah meninggikan suaraku pada siapa pun. Dan saat ini aku melanggar semua prinsip yang kubangun. Ini semua karena satu wanita yang bernama "TIARA".

"Aku hanya ingin mempertahankan rumah tangga kita, Mas. Apa aku salah?"

Dia kembali berbicara dan bertanya seolah dia tak melakukan kesalahan. Apa katanya... Salah?

Kudekati dia. Aku menatap langsung ke arah matanya.

"Salahmu adalah... kau mengira dirimu penting dalam hidupku. Bahkan bicara denganmu saja, rasanya seperti mengkhianati diriku sendiri." Aku sudah tidak bisa mengontrol diri.

Suara Tiara tercekat. Aku melihat matanya menatapku marah, giginya gemeletuk, mimik wajahnya sudah sangat berang. Sesaat wajahnya kembali berubah sendu. Dan itu membuatku takut, dia seperti dua kepribadian. Satu kata untuk dia: "Menyeramkan."

Namun emosiku mengalahkan logikaku.

"Suaramu membuatku muak. Dan matamu itu... mengingatkanku pada kegagalan terbesar dalam hidupku."

Dia tidak menjawab, hanya diam, namun dari wajah dan gerak tubuhnya aku tahu. Tiara saat ini sangat marah. Matanya kembali menatapku nyalang, bahkan saat ini wajahnya sudah sangat memerah. Namun aku tidak mengerti bagaimana bisa dia berubah-ubah begitu cepat.

Sebelum aku meninggalkannya sendiri, aku mengatakan sesuatu padanya, itu peringatan. Tanpa peduli Bi Surti yang saat ini kulihat sedang memperhatikan pertengkaran kami, kulihat lengannya sedang memegang ponsel.

"Berhentilah menyeretku dalam hidupmu, Tiara. Ini peringatan terakhirku. Jangan pernah berpikir kau bisa menyentuhku lagi."

Aku melangkah melewatinya. Menutup pintu kamar dengan suara keras. Bukan untuk dramatisasi. Tapi karena aku benar-benar marah. Kemarahan yang kutahan selama ini, karena tak bisa menolak keinginan seseorang yang penting dari apa pun untukku. Dan lebih dari itu... Sekarang aku jadi tahu bahwa dia, istri yang baru kunikahi, ternyata adalah wanita yang lebih berbahaya dari apa yang kubayangkan.

Tapi sampai sekarang aku bahkan belum tahu sebenarnya apa yang ia inginkan dariku... Dan itu adalah hal yang paling membuatku waspada.

Mataku kembali menatap ke arah pintu yang baru saja kuhempaskan. Hening... Terlalu sepi, sampai aku bisa mendengar debaran jantungku sendiri dan bisikan kecil yang tak pernah kuundang di kepalaku:

"Kau sedang diawasi, Deva..."

Namun aku menepis itu. Kupikir... cukup satu musuh di rumah ini. Tapi kadang, bahaya tidak hadir dari arah wanita yang terlalu banyak bicara. Melainkan dari seseorang yang terlalu banyak melihat, karena bisa jadi dialah yang terlalu banyak tahu, dan tidak pernah berkata apa-apa.