NovelToon NovelToon
The Antagonist Wife : Maxime Bride

The Antagonist Wife : Maxime Bride

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Reinkarnasi / Time Travel / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Obsesi / Transmigrasi ke Dalam Novel
Popularitas:7k
Nilai: 5
Nama Author: Adinda Kharisma

Mati dalam kecelakaan. Hidup kembali sebagai istri Kaisar… yang dibenci. Vanessa Caelum, seorang dokter spesialis di dunia modern, terbangun dalam tubuh wanita yang paling dibenci dalam novel yang dulu pernah ia baca—Vivienne Seraphielle d’Aurenhart, istri sah Kaisar Maxime. Masalahnya? Dalam cerita aslinya, Vivienne adalah wanita ambisius yang berakhir dieksekusi karena meracuni pelayan cantik bernama Selene—yang kemudian menggantikan posisinya di sisi Kaisar. Tapi Vanessa bukan Vivienne. Dan dia tidak berniat mati dengan cara tragis yang sama. Sayangnya… tidak ada yang percaya bahwa sang “Permaisuri Jahat” telah berubah. Bahkan Kaisar Maxime sendiri—pria yang telah menikahinya selama lima tahun namun belum pernah benar-benar melihatnya. Yang lebih mengejutkan? Selene tidak sebaik yang dikira. Di dunia yang dipenuhi permainan kekuasaan, cinta palsu, dan senyum penuh racun, Vanessa harus memilih: Bertahan sebagai tokoh antagonis… atau menghancurkan alur cerita dan menulis ulang takdirnya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adinda Kharisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Reaksi yang Berbeda

Vanessa menutup bukunya perlahan. Ia meregangkan tangan, lalu menguap kecil. Di tempat ini memang tak ada jam dinding, namun sinar matahari yang kini berada tepat di atas kepala menandakan hari sudah menjelang tengah siang. Udara terasa hangat, dan cahaya terang dari jendela membuat ruangan terlihat lebih hidup.

Dengan satu langkah ringan, Vanessa turun dari tempat tidur. Gaun panjangnya yang elegan menggeser karpet halus istana ketika ia berjalan menuju pintu.

Begitu daun pintu dibuka, Sera telah berdiri di sana—seperti biasa, penuh perhatian—membawa nampan berisi segelas teh dan beberapa kudapan kecil.

Vanessa tersenyum kecil. “Sera memang peka… tahu saja kalau aku butuh cemilan sekarang.”

Sera menunduk sopan. “Anda mau ke mana, Yang Mulia?”

“Aku bosan di kamar,” sahut Vanessa sambil merapikan sedikit kerut di lengan bajunya. “Aku ingin berjalan-jalan sedikit, berkeliling di sekitar istana.”

“Baik, Yang Mulia. Saya akan menemani. Anda ingin ke mana terlebih dahulu?”

Vanessa terdiam sejenak. Ia memang belum menguasai seluk-beluk istana ini. Istana yang megah ini pasti menyimpan banyak ruangan dan fungsi yang berbeda. Dan salah satu tempat yang menarik baginya tentu saja—ruangan tabib.

“Bisakah kau mengantarku ke tempat para tabib?” tanyanya.

Sera langsung menatapnya penuh perhatian. “Apakah Anda merasa tidak enak badan, Yang Mulia? Kalau begitu saya akan segera memanggil tabib utama—”

“Tidak,” potong Vanessa cepat-cepat. “Aku tidak sakit, Sera. Aku hanya… tiba-tiba ingin ke sana. Aku ingin bertemu dengan…”

Ia sempat terdiam, menyusun alasan yang masuk akal. Tak boleh sembarangan menyebutkan sesuatu yang akan menimbulkan kecurigaan. Lalu sebuah nama terlintas.

“Tabib Alana,” lanjutnya cepat. “Ya, aku ingin bertemu Tabib Alana. Ada hal penting yang ingin aku tanyakan padanya.”

Sera mengangguk, meski masih tampak sedikit bingung. “Baik, Yang Mulia. Kalau begitu, izinkan saya mengantar Anda.”

Dengan langkah tenang, Vanessa mengikuti Sera menyusuri lorong-lorong panjang yang penuh dengan pilar marmer dan lukisan kuno. Di balik gaun indah dan senyumnya yang anggun, Vanessa sedang menyusun rencana—karena kunjungannya ke ruangan tabib bukan sekadar karena rasa penasaran.

Sesampainya di tempat tujuan, Vanessa disambut oleh aroma khas herbal dan minyak esensial yang lembut menyusupi udara. Ruangan itu adalah Balai Pengobatan Istana, tempat para penyembuh istana—sebutan bagi tabib dan asistennya di masa itu—menjalankan tugas mereka.

Beberapa penyembuh terlihat sibuk: ada yang tengah meracik ramuan dari berbagai akar dan bunga kering, ada pula yang menumbuk obat di dalam lumpang batu, serta beberapa lainnya yang mencatat dosis dan hasil observasi pasien pada gulungan perkamen. Suara lesung ditumbuk, gesekan kuas tinta, dan percakapan pelan terdengar membaur dengan tenang dalam suasana yang sangat teratur.

Ruangan itu sendiri cukup luas, dindingnya dilapisi rak-rak tinggi yang penuh dengan botol kaca, kantong linen berisi tumbuhan kering, dan bejana tanah liat. Beberapa rak menampung buku-buku pengobatan klasik yang dijilid rapi, sementara di sisi lain, terdapat meja kayu besar dengan permukaan marmer putih yang digunakan untuk pemeriksaan.

Di sudut ruangan, Vanessa melihat sebuah lemari obat terkunci, di mana ramuan-ramuan langka dan bahan-bahan berharga mungkin disimpan. Di tengah ruangan tergantung sebuah chandelier logam tua dengan lilin-lilin besar yang nyalanya berkelip lembut, memberikan cahaya hangat yang menerangi ruangan dengan kesan agung namun tenang.

Vanessa terpukau.

“Tempat ini… seperti versi awal dari ruang medis modern,” gumamnya dalam hati. Tak disangka, di balik kemunduran teknologi dan pengetahuan medis di era ini, ada sistem yang cukup terstruktur dan tertata dengan baik.

Sera menunduk dan memberi isyarat, “Itu Tabib Alana, Yang Mulia.”

Seorang wanita paruh baya dengan rambut disanggul rapi dan mengenakan jubah coklat tua khas penyembuh mendekat dengan senyum sopan. Wajahnya tenang, namun sorot matanya tajam—tanda kecerdasan dan pengalaman bertahun-tahun.

“Salam hormat, Yang Mulia Ratu Vivienne. Suatu kehormatan Anda datang kemari.”

Vanessa tersenyum kecil, “Aku ingin berbincang sedikit. Jika kau tidak keberatan…”

“Tentu, Yang Mulia. Mari duduk di sini.”

Mereka duduk di dekat jendela, di mana cahaya matahari menerangi meja penuh alat medis kuno.

“Aku mendengar dari Sera bahwa kaulah yang menyelamatkanku waktu itu,” ucap Vanessa pelan. “Aku ingin mengucapkan terima kasih. Aku tidak tahu apa yang terjadi… tapi berkatmu, aku masih hidup.”

Alana tersenyum sopan. “Saya hanya melakukan tugas saya, Yang Mulia. Tapi saya lega mengetahui Anda pulih dengan cepat.”

Vanessa menunduk, seolah merenung. “Aku menyadari… tubuhku terlalu lemah. Atau mungkin aku yang terlalu sering mengabaikan kesehatanku sendiri. Karena itu… aku tertarik untuk tahu lebih banyak tentang ilmu kesehatan. Kalau kau berkenan, maukah kau mengajariku dasar-dasarnya?”

Tabib Alana tampak terkejut, alisnya sedikit terangkat. “Ilmu pengobatan bukan hal yang biasa dipelajari seorang Ratu…”

“Anggap saja ini sebagai bentuk usahaku untuk hidup lebih bijaksana,” balas Vanessa ringan. “Lagipula, akan menyenangkan bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi pada tubuhku… dan mungkin, suatu hari aku bisa menolong orang lain.”

Alana memandangi Vanessa beberapa detik, seolah mencari tahu keseriusannya. “Baiklah, Yang Mulia. Jika itu yang Anda kehendaki, saya akan mulai perlahan. Tapi janji bahwa Anda tidak akan terlalu memaksakan diri.”

Vanessa tersenyum, kali ini lebih tulus. “Aku janji.”

Sebelum Vanessa beranjak, Alana menambahkan, “Saya berharap Anda benar-benar pulih, Yang Mulia. Dan… jika boleh bicara lebih jauh, saya juga berharap hubungan Anda dengan Yang Mulia Kaisar akan membaik.”

Vanessa hanya membalas dengan senyum samar. Ia tak berkata apa-apa, tak memberi harapan atau membantah. Baginya, tak ada gunanya membicarakan sesuatu yang bahkan tak pernah ia inginkan sejak awal.

Ia tak berharap hubungan dengan Maxime membaik. Ia tak ingin menyentuh masa lalu Vivienne ataupun mencoba memperbaiki rumah tangga yang sejak awal dibangun di atas pemaksaan dan tipu daya. Yang ia inginkan hanyalah satu—pergi. Pergi sejauh mungkin dari kehidupan Maxime, dari istana ini, dari kota yang penuh intrik dan tatapan tajam.

Jika memungkinkan, ia akan menghilang tanpa jejak dan menjalani kehidupan baru yang tenang, seperti yang tak pernah dimiliki Vivienne.

____

Tak terasa, hari kepulangan Kaisar Maxime akhirnya tiba.

Rombongan kerajaan tampak mulai mendekat dari arah gerbang luar. Derap langkah kuda, sorak sorai dari rakyat yang mengintip dari kejauhan, dan kibaran bendera kerajaan membuat suasana istana menjadi lebih hidup dari biasanya.

Di depan kastil, para pelayan telah berkumpul rapi menyambut kedatangan sang kaisar. Di antara mereka, berdiri Selene dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. Gaun pelayannya tampak baru dan bersih, rambutnya dikepang rapi, dan di tangannya tergenggam sebuah buket bunga hasil rangkaiannya sendiri. Matanya tak berkedip menatap gerbang utama, seolah ingin menjadi sosok pertama yang menangkap siluet Maxime dari balik debu perjalanan.

Sementara itu, jauh di kamar istana yang mewah, Vanessa menatap pantulan dirinya di cermin tinggi berbingkai emas.

Gaun elegan berwarna biru keabu-abuan melekat sempurna di tubuh Vivienne—mahal, mewah, dan mempesona. Rambut panjangnya disisir rapi, disanggul setengah dan dihias dengan mutiara kecil yang tampak berkilau di bawah cahaya matahari pagi.

Namun tak ada semangat dalam sorot matanya. Hanya kelelahan dan kejengahan yang tersembunyi di balik senyum tipis.

Ia mendesah pelan.

“Suami, huh,” gumam Vanessa. “Lebih tepatnya… suaminya Vivienne.”

Andai saja bukan karena paksaan Sera, ia sudah kembali tenggelam di tempat tidur, menyelimuti dirinya dari semua kegaduhan yang akan segera tiba. Apa gunanya menyambut seseorang yang bahkan tak menginginkan kehadiranmu?

Sera muncul dengan langkah tergesa, membungkuk sedikit.

“Yang Mulia, kita harus segera menuju pelataran. Rombongan Kaisar akan tiba dalam hitungan menit.”

Vanessa menatapnya sejenak sebelum mengangguk dengan enggan.

Ia melangkah keluar dari kamarnya, membiarkan gaun panjangnya menyapu lantai marmer. Sera mengikuti di belakang dengan langkah cepat namun tenang, tak ingin tertinggal dari majikannya.

Dan di luar sana, dunia bersiap menyambut sang Kaisar—sementara sang Ratu melangkah menuju panggung sandiwara yang tak pernah ia pilih sejak awal.

Sementara itu, Maxime menghentikan kudanya tepat di depan pelataran istana. Matahari bersinar garang di langit siang itu, namun hawa dingin dari perjalanan panjang masih terasa menyelimuti jubah tebalnya yang dihiasi emblem kerajaan.

Dengan gerakan anggun dan penuh wibawa, pria itu turun dari kudanya. Rambut hitamnya yang tertata rapi sedikit berantakan terkena angin perjalanan, namun justru menambah kesan liar dan dingin di balik wajah tampannya yang tajam bak ukiran pahatan marmer.

Bastian, sang jenderal yang setia, segera mengikuti dari belakang. Tubuhnya menjulang tinggi dan berotot, namun langkahnya tetap berada setengah langkah di belakang sang Kaisar, menandakan siapa yang memiliki kekuasaan tertinggi di tempat ini.

Deretan pelayan, pengurus istana, dan bahkan beberapa bangsawan muda yang sengaja datang ke pelataran, membungkuk dalam diam. Suasana tegang dan penuh hormat menyelimuti udara. Mereka semua tahu: Kaisar Maxime bukanlah pria yang ramah. Senyumnya adalah kemewahan langka, dan kemarahannya adalah badai yang tak ingin diundang siapa pun.

Namun Maxime tak memperhatikan mereka.

Pandangan matanya—dingin dan tajam—menyapu kerumunan hingga akhirnya berhenti.

Pada satu sosok.

Seorang gadis muda dengan rambut merah yang memanjang hingga ke pinggang, berdiri di barisan depan. Tubuhnya kecil, wajahnya manis dan lucu, namun tatapannya penuh harap. Di tangannya tergenggam erat sebuah buket bunga yang ia rangkai sendiri dengan sepenuh hati.

Selene.

Wajahnya berseri-seri saat tatapan sang Kaisar menemuinya. Ia membungkuk sedikit, lalu berjalan beberapa langkah mendekat. Bunga dalam genggamannya tampak sedikit bergetar oleh tangan mungilnya yang gugup.

“Selamat datang kembali, Yang Mulia Kaisar…” ucapnya dengan suara pelan namun penuh kelembutan, lalu menyodorkan buket bunga itu.

Bastian melirik singkat ke arah Selene, namun tetap diam. Ia tahu Maxime tidak menyukai interupsi, bahkan dari orang yang tampaknya disukai sekalipun.

Maxime menerima bunga itu tanpa ekspresi. Ia menatap buket itu sejenak, lalu menurunkan pandangannya pada Selene.

“Bunganya… hangat,” ucap Maxime akhirnya, suaranya berat namun tidak setajam biasanya.

Selene tersenyum lebar, dan bagi sesaat, dunia seolah menjadi sedikit lebih lembut.

Namun sebelum ada yang sempat berkata lebih, suara langkah dari arah istana terdengar.

Vanessa—dalam wujud Vivienne—muncul di ambang pintu utama. Gaunnya menjuntai elegan, wajahnya tenang namun mata memancarkan kehampaan yang cermat disembunyikan.

Tatapan Maxime beralih padanya.

Dan dalam sepersekian detik, atmosfer hangat yang baru saja muncul berubah menjadi dingin seketika. Sorot mata Maxime kembali menusuk—penuh penolakan dan kebencian yang bahkan tidak berusaha ia tutupi.

Vivienne sudah muncul. Dan bagi Maxime, kedatangannya bukanlah sambutan, melainkan gangguan.

1
ririn nurima
suka banget ceritanya
Melmel
thanks thor crazy upnya. pembaca hanya baca dengan menit, sedng yg ngetik siang malam mikir setiap katanya.. kerenn 🫶
Melmel
keren thor 👍
Eka Putri Handayani
pokoknya harus bertahan jd wanita yg kuat jngn percaya muka medusa yg sok polos itu
Eka Putri Handayani
geramnya aku sm pelayan gak tau diri ini, ayo vanessa km bisa jd lebih kuat dan berani
Eka Putri Handayani
jadikan viviane gadis yg kuat yg gak takut apapun klo bisa dia jg bisa bela diri
Murni Dewita
tetap semangat dan double up thor
Murni Dewita
lanjut
Murni Dewita
💪💪💪💪
double up thor
Murni Dewita
lanjut
shaqila.A
kak, lanjut yukk. semangat up nyaaa. aku siap marathon💃💃
Murni Dewita
mexsim terlalu egois
rohmatulrohim
critanya menarik di buat pnasan dg kelanjutannya.. yg semangat up nya thor.. moga sampai tamat ya karyanya dan bisa buat karya yg lain
Murni Dewita
tetep semangat thor
Murni Dewita
ratu di lawan ya k o lah
Murni Dewita
tetap semangat jangan lupa double up thor
Murni Dewita
dasar tak tau diri
Murni Dewita
pelayanan tak tau diri
ya udah cerai aja vanesa
Murni Dewita
double up thor
Murni Dewita
apakah vanesa tidak memiliki ruang dimensi thir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!