Pak jono seorang pedagang gorengan yang bangkrut akibat pandemi.
menerima tawaran kerja sebagai nelayan dengan gaji besar,Namun nasib buruk menimpanya ketika kapalnya meledak di kawasan ranjau laut.
Mereka Terombang-ambing di lautan, lalu ia dan beberapa awak kapal terdampar di pulau terpencil yang dihuni suku kanibal.
Tanpa skill dan kemampuan bertahan hidup,Pak Jono harus berusaha menghadapi kelaparan, penyakit,dan ancaman suku pemakan manusia....Akankah ia dan kawan-kawannya selamat? atau justru menjadi santapan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ilalangbuana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pertemuan tak terduga
Langit sore itu memantulkan warna kelabu, seakan laut dan awan bersekongkol menciptakan suasana yang mengancam.
Ombak menggulung perlahan, tetapi di sela riaknya, mata salah satu anggota tim SAR menangkap sesuatu yang berbeda ,sebuah bentuk gelap terapung di kejauhan, bergerak mengikuti arus, kadang tenggelam lalu muncul lagi.
“Kapten! ada sesuatu terlihat di arah jam sebelas!”
teriak Bima, salah satu dari empat anggota tim SAR yang baru saja menyusup kembali ke kapal utama setelah penelusuran di jalur barat pulau.
Kapten Arif, pemimpin tim, segera mengangkat teropong.
Saat bayangan itu terbawa lebih dekat oleh ombak, bentuknya menjadi jelas tubuh manusia, terkulai lemas, hanya bertopang pada sebatang kayu yang tampak seperti bagian dari rakit darurat atau serpihan pohon besar.
“segera turunkan sekoci! Cepat!”
perintah Kapten Arif, suaranya penuh ketegasan.
Sekoci bermesin kecil itu meluncur dari sisi kapal,membelah ombak yang semakin meninggi.
Arif, Bima, dan dua anggota lainnya, Toni dan Rendra, menunduk rendah, mencoba melihat apakah sosok itu masih bernapas.
Ketika mereka sudah cukup dekat, wajahnya mulai terlihat,kulit pucat kebiruan, rambut pirang kusut basah menempel di wajah,bibir membiru.
Tubuhnya tampak kurus dan berbalut pakaian lapangan yang sobek di beberapa bagian.
Ada bekas luka memanjang di lengannya, mungkin akibat benturan atau sayatan benda tajam.
“Dia masih hidup?!”
tanya Bima panik.
Arif langsung menjulurkan tangannya.
“Toni, topang bagian kepalanya. Bima, angkat dari bawah ketiak. Rendra, jaga keseimbangan perahu!”
Dengan usaha yang hati-hati namun cepat, mereka menarik tubuh pria itu ke atas sekoci. Begitu berada di dalam, Bima segera memeriksa denyut nadinya.
“Lemah.....tapi masih ada. Kita harus bergegas!”
Arif menoleh sebentar, lalu mengangguk.
“Gas segera putar haluan dan kembali ke kapal!”
Mesin sekoci meraung, membelah ombak menuju kapal induk.
Sementara itu, Toni membuka tas medis darurat.
Ia merobek sedikit bagian baju pria itu untuk menempelkan kain hangat di dada.
Rendra menutupi tubuhnya dengan selimut aluminium foil yang dirancang menahan panas tubuh.
Sesekali, pria itu bergumam lemah dalam bahasa yang bukan bahasa Indonesia. Suaranya terputus-putus, terdengar seperti seseorang yang mencoba mengingat kembali sebuah kejadian mengerikan.
“Dia ngomong apa?”
tanya Rendra.
Arif menggeleng.
“Bukan Inggris biasa.... tapi ada kata-kata yang familiar. Sepertinya dia sedang menyebut nama.”
Bima mencondongkan tubuh, berusaha mendengar. “Tadi kayak...‘Jono’...dia nyebut ‘Jono’ kan?”
Semua terdiam sejenak.
Nama itu bukan nama asing.
Tim SAR sudah menerima laporan awal dari beberapa nelayan yang selamat bahwa ada seorang bernama Pak Jono yang kemungkinan masih hidup di pulau itu.
Ketegangan di udara semakin pekat.
Ombak menghantam lambung sekoci, namun tidak ada yang memedulikannya.
Semua pikiran mereka kini berputar pada kemungkinan bahwa pria asing ini memiliki informasi penting tentang korban yang mereka cari.
Begitu mereka tiba di sisi kapal utama,kru yang berjaga di geladak segera menurunkan tandu.Pria itu diangkat perlahan ke atas, lalu dibawa ke ruang medis.
Kapten Arif mengikuti dari belakang, langkahnya cepat.
“Siapkan infus, pemanas tubuh, dan oksigen! Kita nggak tahu sudah berapa lama dia di terombang-ambing di air!”
Di ruang medis, lampu-lampu putih menyala terang.
Perawat darurat mulai memeriksa suhu tubuhnya, yang ternyata hanya sedikit di atas batas hipotermia berat.
Oksigen dipasang, cairan infus mengalir ke nadinya, dan suara detak jantung mulai terpantau di monitor portable.
Setelah beberapa menit, kelopak mata pria itu bergerak. Perlahan terbuka, menampakkan sepasang mata biru yang dalam namun penuh rasa takut. Bibirnya bergetar sebelum akhirnya mengucapkan kata yang membuat semua orang di ruangan itu tertegun.
“mr....Jono...he is still alive "
Arif langsung mencondongkan tubuh. “Siapa kamu? Bagaimana kamu tahu tentang dia?”
Pria itu menelan ludah, lalu menghembuskan napas berat.
“My name is Alex, I am an ecology researcher from America and also a missionary. I was with him...he...he was on the island...but”
Suaranya melemah, matanya perlahan terpejam lagi. Mesin monitor menunjukkan jantungnya masih berdetak, tapi jelas tenaganya belum pulih untuk bicara lebih banyak.
Arif berdiri tegak, menatap Bima dan Toni.
“Jaga dia. Begitu sadar, kita butuh semua cerita dari dia. Ini mungkin kunci untuk menemukan korban lain”
Di luar, hujan tipis mulai turun, membasahi geladak. Laut bergolak pelan, seakan menyimpan rahasia yang belum terungkap. Namun satu hal kini pasti,keberadaan Alex membuka celah harapan baru di tengah keputusasaan yang melingkupi misi ini.
1234455
Ruang medis kapal utama SAR terasa lengang, hanya diisi suara detak jam dan desis halus dari tabung oksigen. Tubuh Alex, lelaki asing berambut pirang itu, sudah dibersihkan dari lumpur dan air laut. Selang infus menancap di punggung tangannya, dan monitor sederhana di samping ranjang menunjukkan denyut nadinya yang mulai stabil.
Beberapa anggota tim SAR duduk di kursi lipat, sebagian sibuk memeriksa peta, sebagian lagi menatap layar laptop yang menampilkan citra satelit area pencarian.
Rafi, komandan lapangan, berdiri di depan papan tulis kecil, menggambar garis lintasan kapal dan zona evakuasi. “Kita asumsikan korban selamat dari KM Laut Jaya 08 masih tersebar di tiga titik: pantai timur, pinggir hutan utara, dan satu titik terakhir di lembah ini,” ujarnya sambil menunjuk lingkaran merah. “Lembah ini… punya akses darat terbatas. Mungkin butuh helikopter.”
Bayu menghela napas. “Kalau pria ini—Alex—selamat dari sana, berarti jalur keluar masih ada. Kita harus tanya padanya setelah sadar.”
Namun, jam terus berputar. Hujan tak juga berhenti, dan laut masih mengguncang kapal dengan ombak setinggi dinding.
Beberapa jam kemudian, menjelang dini hari, terdengar gerakan pelan dari ranjang. Kelopak mata Alex bergetar, lalu terbuka perlahan.
Sorot birunya tampak kebingungan, menatap langit-langit sebelum mengedarkan pandangan.
Bayu langsung mendekat.
“no worry... you’re safe,”
ujarnya lembut.
Alex mengerjap, lalu bicara dengan suara serak dalam bahasa Inggris. “Where.am I?”
“You’re on the SAR main vessel. We found you drifting in the open sea,” jawab Bayu. “Do you remember what happened?”
Alex terdiam beberapa saat, menelan ludah, lalu menghela napas berat. “I was...on that island. I...wasn’t supposed to be there alone.”
Rafi ikut mendekat. “We need you to tell us everything. It might help us rescue others.”
Alex menatap Rafi, wajahnya mulai menunjukkan ketegangan. “I was there… with my wife.”
Bayu saling pandang dengan Rafi, mencoba memastikan mereka mendengar dengan benar.
“My wife....she died...six months ago.” Alex menutup mata, seolah ingin mengusir bayangan yang muncul di kepalanya. “But when I woke up on that shore...she was there. Smiling. Talking to me. Touching my hand.”
Ruangan mendadak terasa sunyi. Bahkan suara hujan di luar seperti mereda.
Rafi mencoba tetap fokus. “Are you saying...you saw her? Alive?”
Alex mengangguk pelan. “Yes. She led me into the forest. She told me to stay. She said the island would keep us together....forever.”
Bayu merinding. “That doesn’t make sense. Are you sure it was her?”
“I lived with her for eight years. I know her voice...her eyes...her scent. It was her.” Alex menunduk, lalu menatap mereka lagi, suaranya mulai bergetar. “But...at night...she changed. Her skin...turned pale. Her eyes...black. She whispered...things I can’t repeat.”
Rafi menahan napas, mencoba mencerna. “And the survivors of KM Laut Jaya 08? Did you see them?”
Alex mengangguk cepat. “Yes. Many. Some injured, some hiding. They told me the rescue boats never came. Some tried to escape...but they never made it past the valley.”
Bayu langsung bertanya, “Why? What happened in the valley?”
Alex terdiam lama, tatapannya kosong. “Shadows. Moving on their own. Voices calling your name. If you answer....you never come back.”
Ruangan kembali hening. Rafi menelan ludah, lalu menekan, “Where are they now?”
Alex menatap mereka, matanya melebar seperti baru menyadari sesuatu yang mengerikan. “They’re still there....but they don’t want to be rescued anymore.”
Semua orang saling pandang, kebingungan. “What do you mean?” tanya Bayu.
Alex memalingkan wajah ke jendela yang dipenuhi tetesan hujan. Bibirnya bergerak pelan, seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Because...they think they’re already home.”
Lampu di ruang medis berkelip sebentar. Ombak menghantam kapal lebih keras dari sebelumnya. Dan untuk sesaat, semua yang ada di ruangan itu merasa....seperti sedang diawasi.