Alya adalah gadis mandiri yang bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit swasta. Hidupnya sederhana namun bahagia, hingga suatu hari ia harus menghadapi kenyataan pahit, ayahnya terlilit utang besar kepada seorang pengusaha kaya, Dimas Ardiansyah. Untuk melunasi utang itu, Dimas menawarkan satu-satunya jalan keluar—Alya harus menikah dengannya. Masalahnya, Dimas sudah memiliki istri.
Dengan hati yang terpaksa dan demi menyelamatkan keluarganya, Alya menyetujui pernikahan itu dan menjadi madu. Ia masuk ke dalam kehidupan rumah tangga yang dingin, penuh rahasia, dan ketegangan. Istri pertama Dimas, Karin, wanita anggun namun penuh siasat, tidak tinggal diam. Ia menganggap Alya sebagai ancaman yang harus disingkirkan.
Namun di balik sikap dingin dan keras Dimas, Alya mulai melihat sisi lain dari pria itu—luka masa lalu, kesepian yang dalam, dan cinta yang belum sempat tumbuh. Di tengah konflik rumah tangga yang rumit, kebencian yang mengakar, dan rahasia besar dari masa lalu,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 5
Sepekan telah berlalu sejak Karin menggugat cerai dan menyebarkan berita pernikahan Dimas dengan Alya. Media sosial masih ramai, gosip terus mengalir. Namun yang mengejutkan Alya, bukan hanya komentar jahat—tetapi juga simpati dari orang-orang tak dikenal.
Beberapa akun anonim mulai menyuarakan keberpihakan padanya.
“Kalau jadi madu karena dijodohkan dan tak bisa menolak, apa itu salah?”
“Perempuan juga berhak dipahami, bukan hanya dihakimi.”
Alya mulai merasakan sesuatu yang tak pernah ia duga—dukungan. Namun, itu tidak cukup untuk meredakan badai di hatinya. Dimas semakin jarang pulang. Perusahaannya dalam tekanan akibat tindakan Karin membekukan sebagian besar saham.
Dan hari itu, ia menerima sebuah undangan reuni kampus. Ia hampir mengabaikannya, tapi satu nama menarik perhatiannya.
Reynand
Pria itu dulunya adalah kakak tingkat Alya, satu organisasi, satu tim debat, dan... satu waktu yang nyaris menjadi kisah. Rey, begitu Alya biasa memanggilnya, adalah sosok yang dulu membuatnya merasa dihargai dan didengar.
Alya ingat betul malam terakhir sebelum mereka berpisah karena ia dijodohkan:
“Kalau kamu suatu hari terluka, aku harap kamu tahu pintu ini akan tetap terbuka.”
Waktu itu, Alya hanya tertunduk. Tak ada janji. Tak ada pelukan perpisahan. Hanya diam yang menggantung.
Hari reuni tiba. Alya datang mengenakan gaun hijau zaitun sederhana, jilbab polos, dan senyum tipis. Ia tak berniat mencari simpati—ia hanya ingin merasa normal, walau untuk sehari saja.
Dan saat ia masuk ke aula kecil kampus yang dipenuhi wajah-wajah familiar, seseorang berdiri dari jauh.
Rey.
Lebih dewasa dari yang ia ingat. Rambutnya lebih pendek, jas navy yang ia kenakan membuatnya tampak seperti CEO muda. Tapi senyumnya… sama.
“Alya,” ucapnya pelan saat mereka akhirnya berdiri berhadapan.
“Hai, Rey,” jawabnya.
Seketika, suasana menjadi hangat. Mereka duduk di bangku belakang aula, menghindari sorotan. Rey memesan dua kopi dan membawanya ke tempat Alya duduk.
“Aku lihat berita kamu,” ucapnya tanpa basa-basi. “Aku marah saat baca komentar orang-orang. Tapi aku tahu kamu lebih kuat dari yang mereka kira.”
Alya menunduk. “Aku tidak sekuat itu. Aku hanya... terjebak.”
“Dan tetap bertahan. Itu kekuatan yang nggak semua orang punya.”
Rey menatapnya dalam. Mata cokelatnya menyimpan banyak hal—pengertian, kesedihan, bahkan... harapan?
“Aku masih tinggal di kota ini. Aku punya firma hukum kecil. Sudah dua tahun ini fokus bantu perempuan yang jadi korban tekanan sosial dan hukum dalam rumah tangga.”
Alya menoleh. “Serius?”
Rey tersenyum. “Mungkin karena satu perempuan yang dulu pernah diam meski dunia sedang jatuh di pundaknya.”
Alya menatap kopi di tangannya. Hatinya kacau. Kehangatan Rey membuatnya ragu akan keteguhan hatinya sendiri.
“Alya,” kata Rey lagi. “Kalau kamu butuh tempat untuk bicara—bukan sebagai klien, tapi sebagai Alya yang dulu suka menyanyi pelan di ruang baca kampus—aku ada.”
Alya hampir menangis mendengarnya.
Malam itu, Dimas pulang. Untuk pertama kalinya dalam lima hari. Ia tampak berantakan. Rambut acak-acakan, dasi melorot, dan wajah lelah.
“Maaf aku pulang larut. Kantor… kacau. Pers gugatan Karin masuk ke media. Saham turun.”
Alya hanya mengangguk, lalu menyodorkan teh.
“Reuni tadi ramai?” tanya Dimas sambil duduk.
“Ya. Ramai,” jawab Alya pelan.
“Ketemu seseorang yang kamu kenal?” nada suara Dimas terdengar waspada.
Alya menatapnya sejenak. “Reynand Alvaro.”
Dimas terdiam.
“Dia kakak tingkatku dulu. Sekarang pengacara.”
“Dia masih sendiri?” tanya Dimas, suara pelan.
“Ya. Dan dia masih ingat aku.”
“Dia suka kamu?” Dimas menatapnya kini, matanya tajam.
Alya menarik napas. “Aku nggak tahu. Tapi aku tahu satu hal—dia tidak pernah membuatku merasa seperti pelarian.”
Dimas berdiri, menghempaskan napas keras.
“Jadi sekarang kamu bandingkan aku dengannya?”
“Tidak,” jawab Alya tenang. “Aku hanya bilang… aku tahu seperti apa rasanya dihargai.”
Dimas menatapnya, lalu perlahan duduk kembali. “Aku takut kehilangan kamu, Alya. Tapi aku juga takut mendekat. Karena aku selalu merasa aku akan menyakiti siapa pun yang mencintaiku.”
Alya menatapnya lama. “Maka berhentilah mencintaiku karena kamu takut sendiri, dan mulai mencintaiku karena kamu memilihku.”
Malam itu, Dimas tidur di sofa. Alya di kamar. Tapi untuk pertama kalinya, di dalam keheningan, ada sesuatu yang tumbuh—entah itu harapan… atau jalan keluar.
Dan di sisi lain kota, Rey duduk di mejanya, memandangi layar yang menampilkan foto Alya dari berita gosip. Di sudutnya, ia menulis,
"Untuk perempuan yang tak pernah tahu betapa berharganya ia..."
*
Hari-hari berlalu seperti kabut yang tak kunjung terangkat. Alya menjalani rutinitas di apartemen dalam diam—membaca buku, menulis catatan harian, membuat teh hangat. Dimas jarang pulang, dan ketika pun datang, ia seperti bayangan dari lelaki yang dulu pernah membuat Alya terjebak dalam janji.
Namun ada yang berubah.
Kini, setiap beberapa hari sekali, ada pesan masuk dari Rey.
Rey: Aku kirimkan e-book yang kemarin kita bahas. Semoga kamu suka.
Rey: Kalau kamu ingin keluar sebentar dari kepungan berita dan stres, aku tahu tempat tenang yang jual teh melati kesukaanmu.
Awalnya Alya ragu menjawab. Tapi perlahan, kehadiran Rey—yang lembut, tidak menuntut, tidak menyudutkan—mulai terasa seperti oksigen yang ia butuhkan untuk bernapas.
Sampai suatu sore, setelah selesai menjalani konsultasi rutin ayahnya di rumah sakit, Rey menawarkannya tumpangan.
“Kita mampir sebentar ke tempat yang kamu suka dulu. Nggak usah takut, aku tahu kamu istri orang. Tapi kamu juga manusia, Alya. Kamu berhak untuk duduk, tenang, tanpa dicurigai.”
Alya tersenyum kecil. “Kamu masih sama seperti dulu. Terlalu mengerti.”
“Kamu masih sama juga,” jawab Rey sambil membuka pintu mobil. “Terlalu kuat sendirian.”
Mereka duduk di sebuah warung teh kecil di pojok kota. Dindingnya dari bambu, lampu gantung dari rotan. Tempat itu sunyi. Teh melati disajikan dalam cangkir keramik tua.
“Tempat ini belum berubah,” ujar Alya.
“Seperti rasa yang pernah kamu tinggalkan di sini,” balas Rey pelan.
Alya memandang keluar jendela.
“Kamu tahu, Rey... aku bukan perempuan baik-baik menurut mereka. Aku madu. Aku disorot, dijuluki pelakor. Aku mungkin jadi alasan seorang istri diceraikan.”
“Kamu juga manusia, Alya. Kamu bukan niat jadi madu. Kamu dijodohkan. Kamu berusaha bertahan. Apa itu bukan perjuangan?”
Alya menatap Rey. Matanya mulai basah.
“Kamu tahu hal yang paling menyakitkan? Bukan karena mereka menghinaku. Tapi karena Dimas tak pernah benar-benar membelaku. Dia hanya diam. Dia hanya bilang ‘aku akan lindungi kamu’, tapi tak pernah ada di barisan depan saat aku diserang.”
Rey mendekatkan cangkir tehnya.
“Aku nggak bisa ubah masa lalu kamu, Alya. Tapi aku bisa hadir di masa depanmu—kalau kamu izinkan.”
Alya tersentak. “Rey...”
“Aku nggak maksud merebut-mu dari pernikahanmu. Tapi aku akan tetap di sini. Karena kamu terlalu berharga untuk diabaikan oleh hidup ini.”
Di tempat lain.
Dimas duduk di ruang rapat perusahaan yang kini dikendalikan sebagian besar oleh pihak keluarga Karin. Ia kelelahan. Setiap keputusan bisnisnya dipatahkan. Ia merasa seperti boneka yang dipecundangi karena satu pilihan: menikahi Alya.
Namun bukan hanya itu yang menyesakkannya.
Ia mulai kehilangan Alya.
Bukan karena Alya menjauh, tapi karena dirinya sendiri tidak tahu cara memegang perasaan perempuan itu tanpa melukai.
Ketika ia pulang malam itu dan mendapati apartemen kosong, hanya ada secarik kertas:
“Aku keluar sebentar. Jangan khawatir. Aku butuh udara.”
Ia membuka pesan di ponsel Alya yang pernah ia sinkronkan. Ada notifikasi dari Rey,
“Terima kasih untuk malam ini, Alya. Kamu tetap indah meski tak menyadarinya.”
Dimas membeku.
Keesokan harinya.
Rey mengajak Alya menemani kegiatan sosial di sebuah desa binaan. Mereka membagikan bahan makanan, mendengar cerita para janda muda yang ditinggal suami karena konflik warisan atau dijatuhkan poligami paksa. Wajah-wajah perempuan yang muram itu membuat Alya tertegun.
“Kadang, perempuan seperti mereka tidak butuh diselamatkan,” ucap Rey. “Mereka hanya butuh didengar. Itu yang tidak pernah dilakukan para suami.”
Alya menoleh.
“Itu yang kamu lakukan padaku, ya?”
Rey tersenyum. “Aku dengar kamu. Dari dulu. Sampai sekarang.”
Saat Alya hampir menjawab, tiba-tiba suara mobil berhenti di ujung jalan. Dimas turun. Wajahnya marah. Matanya langsung menemukan Alya.
“Boleh bicara sebentar?” tanyanya tajam.
Alya menegang. Rey bergerak mundur, memberi ruang.
Mereka bicara di samping.
“Kamu keluar kota dengan dia?” suara Dimas bergetar. “Rey? Kamu bawa namamu makin hancur, Alya.”
Alya menatapnya dengan mata jernih. “Namaku sudah dihancurkan sejak aku jadi istrimu, Dimas. Aku cuma mencoba mengingat siapa aku sebelum semua ini.”
“Kamu mencintai dia?”
Pertanyaan itu menggantung.
Alya menggeleng. “Belum. Tapi aku mencintai diriku sendiri. Dan Rey mengingatkanku akan itu.”
Dimas menunduk. Napasnya berat. Ia tahu kalau ia sedang kehilangan sesuatu—atau seseorang—yang seharusnya ia jaga dari awal.
Malam itu.
Alya menulis di jurnalnya,
“Aku berdiri di antara dua lelaki. Satu yang memberiku tempat, satu yang memberiku suara. Tapi di antara keduanya, aku hanya ingin menemukan kembali diriku sendiri. Dan siapa pun yang mencintaiku… harus mencintai perempuan itu terlebih dahulu.”