Rui Haru tidak sengaja jatuh cinta pada 'teman seangkatannya' setelah insiden tabrakan yang penuh kesalahpahaman.
Masalahnya, yang ia tabrak itu bukan cowok biasa. Itu adalah Zara Ai Kalandra yang sedang menyamar sebagai saudara laki-lakinya, Rayyanza Ai Kalandra.
Rui mengira hatinya sedang goyah pada seorang pria... ia terjebak dalam lingkaran perasaan yang tak ia pahami. Antara rasa penasaran, kekaguman, dan kebingungan tentang siapa yang sebenarnya telah menyentuh hatinya.
Dapatkah cinta berkembang saat semuanya berakar pada kebohongan? Atau… justru itulah awal dari lingkaran cinta yang tak bisa diputuskan?
Ikutin kisah serunya ya...
Novel ini gabungan dari Sekuel 'Puzzle Teen Love,' 'Aku akan mencintamu suamiku,' dan 'Ellisa Mentari Salsabila' 🤗
subcribe dulu, supaya tidak ketinggalan kisah baru ini. Terima kasih, semoga Tuhan membalas kebaikan kalian...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Salah atau benar?
Ray dan Zara tidak boleh saling bertemu di kampus meski mereka adalah saudara. Itulah kesepakatan yang dibuat Ray untuk Zara. Supaya adiknya tak terlibat dengan masalahnya.
Mereka tak boleh muncul di waktu dan tempat yang sama. Satu dunia tak boleh tumpang tindih dengan dunia yang lain.
Dan ada alasan konyol yang membuatnya merasa bersalah. Dirinya pun tak ingin terlibat dengan adiknya yang terlalu eksentrik. Cukup berlebihan ketika gadis itu terlibat dengannya.
"Tapi gue bisa menolongnya sebagai orang lain, Danish." alasan Ray. Ya, sungguh aneh memang.
Danish tetap mencegah. "Tidak, Ray. Apalagi," Dagunya sejenak menunjuk seseorang. "Bandhi menatapmu sedari tadi. Jangan sampai dia penasaran saat elo ingin menolong Zara."
Ray berusaha bersikap tenang. Gelagatnya akan terlihat jelas jika dia menunjukkan kekhawatiran. Akhirnya, dia menatap layar ponselnya.
Saat Haru mengulurkan buku sketsa milik Zara, langkah cepat berbunyi mendekat. Langkah kaki itu menyilang dengan boot hitam di atas mata kaki. Menengahi dengan langkah percaya diri.
Seorang gadis berambut pendek dengan disilakan satu di telinga, ekspresi tajam dengan eye liner hitam menusuk di pelipis.
"Asaki..." Tangan Haru turun, tidak jadi menyerahkan buku sketsa milik Zara.
"Haru, kamu nggak apa-apa?"
"Gue baik-baik aja..."
Mata Asaki melirik tajam ke arah Zara.
"Asal kamu tahu ya," Asaki melipat tangan di depan dada, menghadapkan diri ke Zara, "kamu yang harusnya hati-hati. Kamu yang lewat di belakang orang. Kalau sampai terjadi sesuatu ke Haru, kamu pikir kamu bisa tanggung jawab?"
Zara mengedip pelan, lalu berseloroh, "Maaf ya, Kakak Bodyguard."
"Bodyguard? Seenaknya!" Asaki mendesis. "Gue sahabatnya. Dan lo harus minta maaf."
"Iya—"
Haru langsung menyela, "Udahlah, Asaki. Ini salah gue. Gue yang udah nggak sengaja nyenggol dia, dan gue juga udah minta maaf."
"Dia minta maaf, maka urusan ini selesai."
Zara akhirnya menunduk ringan.
"Maafkan saya, Kak."
Sikapnya terlihat tenang, tapi ada aura tidak nyaman di wajahnya. Seolah ia menelan harga dirinya hanya demi menyudahi keributan.
Haru melihatnya, dan entah kenapa, dadanya terasa sesak. "Elo nggak usah minta maaf. Ini salah gue, bukan lo."
Ucapan itu membuat wajah Asaki berubah tegang. "Lo denger sendiri, kan?" bentaknya, lalu mencubit lengan Zara tanpa ampun. Zara meringis, menahan sakit.
"Junior nggak tau diri! Jangan pernah lagi muncul di depan Haru!" Asaki menghempaskan tangan Zara kasar.
"Asaki!" suara Haru meledak. Ia langsung menarik lengan Asaki, menjauh dari Zara. "Gue nggak suka lo ikut campur urusan pribadi gue! Ini hal sepele, kenapa lo selalu lebay?!"
Mereka berdua pun menjauh, suara Haru makin mengecil di antara kesendirian Zara.
Zara mendengus sambil mengelus lengannya yang masih nyeri. "Adududuy... sakitnya poll woy... Untung cuma dicubit, bukan digigit, yaa... heheheey~" ucapnya sambil melompat-lompat kecil seperti anak kecil yang baru lepas dimarahi.
Tingkah eksentrik itu...
Membuat Ray tak tahan untuk tidak tertawa kecil dari kejauhan. Adiknya memang aneh, tapi begitulah cara Zara mengobati lukanya. Dengan kelucuan yang cuma dia sendiri yang ngerti.
Ray menatap layar ponsel. Nada suaranya sengaja dibuat santai agar tak menarik perhatian Bandhi. “Danish, Gue harus secepatnya beresin urusan sama Bandhi. Gue nggak nyangka, ternyata dia nggak sendirian.”
Danish menghela napas, lalu bersandar di kursinya. “Sudahlah, Ray. Lo nggak usah ngotot lagi. Biar masalah itu diurus Prof. Rui. Lo tinggal bilang aja. Lagipula, Gue udah laporin bar itu ke polisi. Tempatnya udah digerebek tadi malam.”
“Apa?!” Ray langsung menoleh cepat.
“Shh,” Danish memberi isyarat agar Ray menenangkan diri. “Iya, tapi Bandhi nggak gampang ditangkap. Dia punya banyak koneksi. Makanya gue bilang, lo nggak usah ikut campur lagi. Gue nggak mau lo terseret lebih dalam.”
Dari kejauhan, Bandhi terus menatap. "Jangan pikir elo aman, Ray. Elo udah berani laporin Bar gue ke polisi. Gue bakal balas dendam!"
../Facepalm/