NovelToon NovelToon
Sang Pianis Hujan

Sang Pianis Hujan

Status: tamat
Genre:Cintapertama / Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Enemy to Lovers / Rebirth For Love / Idola sekolah / Tamat
Popularitas:631
Nilai: 5
Nama Author: Miss Anonimity

Namanya Freyanashifa Arunika, gadis SMA yang cerdas namun rapuh secara emosional. Ia sering duduk di dekat jendela kafe tua, mendengarkan seorang pianis jalanan bermain sambil hujan turun. Di setiap senja yang basah, Freya akan duduk sendirian di pojok kafe, menatap ke luar jendela. Di seberang jalan, seorang pianis tua bermain di bawah payung. Jemari hujan menari di kaca, menekan window seolah ikut bermain dalam melodi.

Freya jatuh cinta pada seorang pemuda bernama Shani-seseorang yang tampak dewasa, tenang, dan selalu penuh pengertian. Namun, perasaan itu tak berjalan mulus. Shani tiba-tiba ingin mengakhiri hubungan mereka.

Freya mengalami momen emosional saat kembali ke kafe itu. Hujan kembali turun, dan pianis tua memainkan lagu yang pelan, seperti Chopin-sebuah lagu perpisahan yang seolah menelanjangi luka hatinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Anonimity, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 10 : Diantara yang Tidak Terucap

Freya berdiri di depan cermin, ia tidak tahu harus memakai apa. Tangannya sempat memegang sweater favoritnya, tapi ia urungkan. Terlalu kasual. Ia mencoba rok panjang dan atasan polos, tapi buru-buru melepasnya lagi. Terlalu formal. Akhirnya, ia memilih pakaian sederhana, kaus putih dengan outer abu-abu tipis dan celana jins gelap. Biasa saja, tapi cukup nyaman untuk hari yang tidak biasa.

Tempat yang dipilih Shani untuk bertemu ternyata bukan kafe, melainkan taman di pinggir kota. Tempatnya sepi, hanya ada beberapa bangku kayu dan suara dedaunan yang saling bersentuhan diterpa angin. Freya datang lima menit lebih awal. Ia duduk di bangku yang menghadap danau kecil, sesekali menatap layar ponselnya, lalu menyimpannya lagi. Jantungnya berdebar, tapi tidak terlalu cepat. Bukan karena takut, tapi karena tak tahu harus berharap atau tidak.

Shani datang tak lama setelahnya. Ia mengenakan hoodie biru tua dan celana kain hitam. Wajahnya tidak semuram biasanya. Tapi juga tidak sepenuhnya tenang.

"Hai," sapa Freya lebih dulu.

"Hai." Shani duduk di sampingnya, tapi tidak terlalu dekat. Ada jarak satu botol air mineral di antara mereka.

Beberapa detik hanya suara burung dan angin yang bicara. Lalu Shani membuka suara, pelan. "Sebelumnya... makasih udah datang."

"Ya," jawab Freya, singkat. Ia menunduk, memutar cincin di jari manisnya yang sebenarnya hanya aksesoris biasa.

"Aku..." Shani menarik napas. "Aku bingung harus mulai dari mana."

"Mulai dari yang kamu simpan paling lama," ujar Freya.

Shani menoleh. "Kenapa?"

"Karena... yang paling lama kamu simpan, biasanya itu yang paling nyakitin."

Shani terdiam. Ia menunduk, lalu menatap danau.

"Aku nggak tahu kenapa aku selalu menarik diri setiap kali kamu deket. Padahal... kamu nggak pernah nyakitin aku, kamu nggak pernah maksa, kamu cuma... ada. Tapi mungkin justru itu yang bikin aku takut, karena kamu terlalu tulus."

Freya menatap langit yang mulai memudar warnanya. "Tahu nggak, kadang aku iri sama langit."

Shani mengerutkan alis. "Kenapa?"

"Karena dia bisa berubah tanpa diminta. Pagi, siang, senja, malam... semua orang terima aja. Nggak nuntut penjelasan, Tapi manusia nggak bisa seperti itu. Kita berubah, lalu diminta pertanggungjawaban."

Shani menunduk. "Aku berubah, Tapi nggak pernah berani jujur."

Freya mengangguk pelan. "Dan aku nunggu... tapi nggak pernah berani pergi."

Shani menatap Freya. Lama. "Aku pernah nyoba berhenti mikirin kamu."

"Dan gagal?"

"Dan gagal total."

Freya tertawa, tipis, tapi pahit. "Kadang yang paling kita hindari, justru yang paling melekat."

Shani menggigit bibir. "Aku datang ke sini... bukan buat bilang aku udah siap, atau aku juga cinta. Aku cuma... Ingin kamu tahu, kalau selama ini aku juga bingung, dan aku capek pura-pura nggak peduli."

Freya menatap lurus ke depan. Tangannya terkepal di atas lutut. "Kamu tahu? Mencintai seseorang yang bingung... lebih melelahkan dari mencintai seseorang yang nggak cinta balik. Karena kamu nggak tahu harus berhenti atau bertahan."

Shani mengangguk. "Dan jadi orang yang bingung... juga bukan hal yang enak. Karena setiap keputusan terasa seperti pengkhianatan."

Freya akhirnya menoleh. "Jadi kita ini apa?"

Shani menarik napas panjang. "Kita... dua orang yang belum selesai dengan perasaan masing-masing, tapi cukup berani buat ketemu hari ini."

Freya terdiam. "Kalau kamu masih butuh waktu, ambillah. Tapi jangan bikin aku nunggu di ruang kosong. Kirim kabar, kasih tanda... biar aku tahu masih layak berharap."

Shani menatap Freya, matanya mulai berkaca. Tapi ia cepat mengalihkan. "Aku nggak janji akan jadi orang yang kamu harapkan. Tapi aku janji akan belajar jujur. Kalau suatu hari hatiku udah tenang, dan kamu masih di sana... mungkin saat itu aku nggak akan takut lagi."

Freya berdiri pelan. "Aku nggak nuntut janji, aku cuma butuh jawaban."

...***...

Selepas dari taman, Freya dan Shani menaiki bukit kecil yang tidak jauh dari tempat mereka sebelumnya. Keduanya duduk di dekat pohon rimbun. Ditemani ilalang yang bunganya berterbangan terhembus angin. Tidak ada lagi obrolan yang berlanjut. Keduanya mungkin sedikit canggung. Hanya hembusan angin yang menerbangkan anak rambut mereka. Freya mencabut satu ilalang, kemudian meniupnya pelan. Dengan mudah, bunga ilalang berwarna putih itu, tercerai-berai terbang melingkar ke angkasa. Shani nampaknya juga ikut menikmati momen melankolis seperti ini. Tidak ada yang bicara tentang perasaan mereka, seperti di tempat sebelumnya. Tapi...

"Shan—"

"Wow!" Shani nampaknya tidak mendengar. Ia malah menunjuk ke langit, di mana pelangi tergambar dengan indah. Ada sedikit perasaan sendu bagi Freya. Ia ingin mendapatkan jawaban atas perasaannya segera, tapi tidak ingin terlihat egois dengan memaksa Shani. Hari itu mereka menghabiskan waktu, tanpa melibatkan apa yang harusnya dilibatkan.

Pelangi itu menggantung tenang di ujung langit, seolah ingin berkata bahwa keindahan kadang hanya hadir setelah hujan yang paling diam-diam. "Aku selalu suka pelangi," gumam Shani.

Freya menoleh. "Kenapa?"

"Karena dia nggak janji bakal datang, tapi pas dia datang, dia nggak pernah gagal bikin orang berhenti sejenak."

Freya ikut menatap langit. "Aku iri sama langit, karena dia bisa jadi biru, abu-abu, oranye, bahkan gelap... tapi tetap dipandang indah."

Shani tersenyum. "Kita juga bisa, Frey. Tapi butuh orang yang mau menatap, bukan hanya melihat."

Hening lagi, tapi kali ini bukan karena kehabisan kata, melainkan karena mereka sadar, tak semua hal butuh dijelaskan hari itu. Pelangi mulai memudar, hari makin sore. Shani berdiri pelan, lalu menatap Freya yang masih duduk. "Aku antar pulang?" Ajak Shani.

Freya menggeleng, "Tidak usah, aku ada urusan lagi." Tolak Freya.

Shani mengangguk. "Baiklah, Tapi... aku senang hari ini terjadi."

Freya tersenyum kecil, hampir tak terlihat. "Aku juga."

Mereka berjalan turun dari bukit secara terpisah. Tak saling menoleh, tapi juga tak saling menjauh. Mungkin hari itu bukan tentang keputusan, tapi tentang keberanian untuk hadir... dan diam tanpa menuntut.

...***...

"Bersenang-senang dengan gebetanmu itu?" Shani sedikit terlonjak. Saat ia baru saja sampai di rumah, seorang gadis lebih dulu berbicara. Gadis itu dengan santai duduk di sofa sembari menonton TV.

"Gracia? Bagaimana kau bisa masuk?" tanya Shani.

Gracia mematikan siaran televisi. Ia berdiri, berjalan ke arah Shani. Tanpa aba-aba langsung memeluknya. Shani tidak terlihat nyaman, tapi tidak juga berusaha melepas. "Kebiasaan burukmu yang selalu kau ulangi. Lupa mengunci pintu saat keluar," kata Gracia.

"Kau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa kau ke sini?" tanya Shani sekali lagi.

"Kenapa tidak? Aku bosan."

Gracia mengalungkan lengannya pada leher Shani. Tatapan keduanya bertemu, tapi hanya Gracia yang menikmati itu. "Sampai kapan kau akan terus menggantung gadis itu? Kenapa kau tidak bicara sejujurnya saja?"

"Jangan ikut campur..." ujar Shani. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain. Tapi tangan Gracia dengan lembut memaksa Shani kembali menatapnya.

"Bagaimana jika aku ingin? Jangan lupa kalau sekarang aku sedang mengandung anakmu. Jika hal ini sampai tersebar, citramu yang baik itu tentu akan dipandang buruk. Aku sendiri tidak masalah, karena semua orang sudah tahu bagaimana sifatku," ucap Gracia menyeringai.

Shani mengepalkan tangannya.

"Kau sendiri yang sudah menjebakku. Apa kau tidak punya malu?"

Wajah Shani sudah merah padam.

"Malu? Sejak kau sering menolak perasaanku tanpa mempertimbangkannya, aku tidak peduli lagi dengan apa pun. Aku akan melakukan segala cara agar kau bisa menjadi milikku seutuhnya. Apa aku perlu bilang pada orang tuamu? Kau tentu tidak ingin ayahmu marah, kan?" Gracia tersenyum penuh kemenangan, sementara Shani terdiam, tidak berkutik.

"Cinta itu pilihan, bukan penjara... dan kau justru ingin mengikatku dengan rantai yang kau ciptakan sendiri," gumam Shani, pelan tapi tajam.

Gracia mengedipkan mata.

"Pilihan, ya? Tapi kenapa setiap pilihanmu selalu menjauh dariku? Kalau kau tidak bisa memilihku dengan hati, maka aku akan membuatmu memilihku dengan kondisi. Dunia ini bukan dongeng, Sayang. Ini realita, dan dalam realita, yang lemah selalu kalah."

Shani menghela napas panjang, menatap langit-langit sejenak seakan mencari jawaban. "Apa kau tidak lelah terus memaksa dunia mencintaimu dengan cara yang salah?"

Gracia tertawa pelan, hampir seperti gumaman. "Mungkin. Tapi... lebih lelah lagi jika aku terus menunggu cinta yang tak pernah berpaling padaku."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!