Sekelompok remaja yang agak usil memutuskan untuk “menguji nyali” dengan memainkan jelangkung. Mereka memilih tempat yang, kalau kata orang-orang, sudah terkenal angker, hutan sunyi yang jarang tersentuh manusia. Tak disangka, permainan itu jadi awal dari serangkaian kejadian yang bikin bulu kuduk merinding.
Kevin, yang terkenal suka ngeyel, ingin membuktikan kalau hantu itu cuma mitos. Saat jelangkung dimainkan, memang tidak terlihat ada yang aneh. Tapi mereka tak tahu… di balik sunyi malam, sebuah gerbang tak kasatmata sudah terbuka lebar. Makhluk-makhluk dari sisi lain mulai mengintai, mengikuti langkah siapa pun yang tanpa sadar memanggilnya.
Di antara mereka ada Ratna, gadis pendiam yang sering jadi bahan ejekan geng Kevin. Dialah yang pertama menyadari ada hal ganjil setelah permainan itu. Meski awalnya memilih tidak ambil pusing, langkah Kinan justru membawanya pada rahasia yang lebih kelam di tengah hutan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Noktah darah
"Enggak begitu parah, Yah. Cuma kakinya memang harus dipasang gips karena ada tulang yang retak. Sama kepalanya luka sedikit."
Sementara itu, Bu Yeni dan Ikbal yang berada di kamar ikut larut dalam obrolan. Bu Yeni tak bisa menghapus rasa khawatirnya ketika kaki sang cucu dibalut gips keras untuk menahan kondisi tulangnya yang cedera. Cucu yang sejak kecil dimanja itu mulai bercerita tentang apa yang menimpanya.
"Kamu harus hati-hati, dong, Sayang. Jangan sampai jatuh atau apa pun itu. Harus fokus. Oma nggak mau kamu menderita begini," ujar Bu Yeni dengan nada lembut namun tegas.
Ikbal tersenyum lebar, menikmati perhatian sang nenek. Sejak dulu, ia memang kerap dimanjakan. Menjadi cucu kesayangan tentu posisi terbaik; apa pun keinginannya biasanya bisa terpenuhi.
"Aku tuh sebenernya kesel aja, Oma. Kayak kepikiran," kata Ikbal jujur.
"Kesel kenapa? Di sekolah kamu ada yang jail?" tanya wanita berambut sebahu itu, matanya menatap penuh rasa penasaran. Kekhawatiran tentang gangguan anak-anak nakal di sekolah membuatnya semakin waspada.
"Kemarin tuh Ratna datang ke sini. Aku usir karena ngerepotin Mama mulu."
"Apa? Ratna ke sini? Mau apa dia?" Reaksi Bu Yeni berubah, seperti mendengar kabar yang mengejutkan. Matanya membesar, dan ada riak kesal yang samar di wajahnya.
"Alesannya nganterin wadah bekas makanan," jawab Ikbal santai, tak menyadari gelagat neneknya.
Bu Yeni tak menghiraukannya. Ia segera bangkit dari sisi kasur tempat duduknya, lalu bergegas keluar kamar.
Di ruang tamu, Pak EdI baru saja hendak masuk ke kamar saat Bu Yeni muncul dengan wajah penuh amarah. Tanpa basa-basi, wanita itu langsung menegur Tantri.
"Udah, Ibu bilang, nggak usah ngurusin anak itu, Tantri!"
"Anak siapa, Bu?" tanya Pak Edi.
"Itu, si Ratna!"
Tantri mengerutkan alisnya. Ia sudah bisa menebak bahwa Ikbal pasti memberitahu ibunya tentang Ratna yang datang ke rumah. "Ya nggak mungkinlah aku nggak ngurusin Ratna, Bu. Meski karena terpaksa..."
"Nah, itu dia. Tau kalau kamu kepaksa, kenapa masih dilakuin? Biarin aja dia hidup sendirian di sana. Lagian dulu harusnya masukin aja Ratna ke panti asuhan."
"Bu, tenang dulu," Pak Edi bersikap tegas. Namun istrinya tetap terus mengomel.
"Pasti Ikbal jatuh dari motor itu karena kesialan Ratna. Kamu lupa gimana Mas Bagus sama Mbak Lestari mati gara-gara dia?"
"Bu, udah cukup. Aku tau kejadian yang menimpa Mas Bagus dan Mbak Lestari itu masih jadi bayangan terburuk kita. Aku cuma ngejalani amanat. Setidaknya sampai Ratna kuliah dan bisa nyari kerja sendiri. Sekarang, aku niat bantu dia karena kita memang hidup enak sekarang berkat perusahaan peninggalan Mas Bagus."
Tantri sadar, ia bukan orang baik. Ketakutannya pada kesialan terus merongrong, apalagi ia kerap berinteraksi dengan Ratna, sosok yang dipercayai menjadi pangkal kecelakaan yang menewaskan Bagus dan kakak iparnya.
Pak Edi dan Bu Yeni menjadi sosok yang paling tidak mau menerima kehadiran Ratna di rumah. Makanya, sejak SMP, Ratna ditinggalkan di asrama. Kini sudah SMA, ia dibiarkan indekos sendirian. Tidak ada yang menerima Ratna kecuali secuil rasa empati dari Tantri. Hanya karena terikat rasa tidak enak, Tantri bisa hidup tenteram dari uang yang dihasilkan oleh perusahaan ayah anak itu.
Pak Edi dan Bu Yeni menjadi sosok yang paling tidak mau menerima kehadiran Ratna di rumah. Makanya, sejak SMP, Ratna ditinggalkan di asrama. Kini, sudah SMA, ia dibiarkan indekos sendirian. Tidak ada yang menerima Ratna kecuali secuil rasa empati dari Tantri. Hanya karena terikat rasa tidak enak, Tantri bisa hidup tenteram dari uang yang dihasilkan oleh perusahaan ayah anak itu.
"Kalau kamu mau ngebiayai dia karena ngerasa kita punya segalanya dari perusahaan Bagus, ya silakan saja. Asal jangan temui anak itu terus-terusan! Apalagi sampai dia berani datang ke sini. Kalau mau memberi jatah bulanan, cukup dikirimkan saja, jangan terlalu sering menemui anak itu. Ibu nggak mau keluarga yang lain kena sial atas ucapan yang keluar dari mulut Ratna!"
"Iya, lihat saja nanti," jawab Tantri lesu. Ia sudah capai dengan urusan bisnis, harus pula meributkan soal Ratna. Tantri hanya ingin semua rencananya berjalan tanpa hambatan. Apalagi harus ada cekcok keluarga; rasanya itu tidak perlu.
Sementara itu, di kosan Ratna, gadis itu baru saja selesai mandi. Ia menyampirkan handuk basah pada hanger besi, lalu melangkah menuju kasur. Ia mengecek ponsel beberapa saat dan mendapati pesan masuk dari Naya. Pesan singkat itu menanyakan apakah Ratna sudah makan, sambil memberi tahu bahwa Naya sedang berjalan-jalan di mall bersama bibinya.
"Pengen juga bisa jalan-jalan," ucap Ratna lirih. Sepertinya, entah kapan terakhir kali ia pergi ke tempat ramai seperti supermarket atau mall. Ia lebih suka tempat hening dan menghabiskan waktu sendiri.
Ratna berpindah ke meja belajar. Seperti biasa, ia menyiapkan buku pelajaran untuk esok. Saat semua sudah siap, perhatiannya beralih pada buku diary hitamnya.
Gadis itu membuka lembaran pertama, kedua, dan ketiga. Samar-samar, tercipta kerutan halus di keningnya. Ratna menatap sebuah noda warna merah gelap di dekat tulisan yang ia buat.
"Ini apa? KayaK darah kering..." gumamnya pelan. Saat diusap, noda itu tidak bisa hilang.
"Perasaan kemarin-kemarin nggak ada. Kenapa sekarang muncul beginian? Apa kertasnya emang gampang kotor?" Ratna menelusuri halaman berikutnya. Seluruh bagian kertas yang sebelumnya dipenuhi tulisan tentang kekesalannya pada perilaku seseorang kini ternoda bercak gelap seperti darah kering. Bahkan di halaman yang berisi amarahnya pada Ikbal, muncul noda yang sama.
Namun, saat Ratna membuka halaman kosong berikutnya, kertas itu tetap bersih tak bercela. "Kenapa ya? Kok, kayak ada sesuatu, tapi aku nggak bisa mikir apaan."
Ratna masih bergumam-gumam sendiri, belum sepenuhnya menyadari bahwa setiap kata yang ia tulis, terutama yang mengandung kemarahan atau niat buruk, tandai dengan noktah darah di tulisannya. Hal itu seolah memberi peringatan halus, meski ia belum mengerti sepenuhnya maknanya.