Update tiap hari ~
Follow Instagram: eido_481
untuk melihat visual dari karakter novel.
Setelah begadang selama tujuh hari demi mengejar deadline kerja, seorang pria dewasa akhirnya meregang nyawa bukan karena monster, bukan karena perang, tapi karena… kelelahan. Saat matanya terbuka kembali, ia terbangun di tubuh pemuda 18 tahun yang kurus, lemah, dan berlumur lumpur di dunia asing penuh energi spiritual.
Tak ada keluarga. Tak ada sekutu. Yang ada hanyalah tubuh cacat, meridian yang hancur, akibat pengkhianatan tunangan yang dulu ia percayai.
Dibuang. Dihina. Dianggap sampah yang tak bisa berkultivasi.
Namun, saat keputusasaan mencapai puncaknya...
[Sistem Tak Terukur telah diaktifkan.]
Dengan sistem misterius yang memungkinkannya menciptakan, memperluas, dan mengendalikan wilayah absolut, ruang pribadi tempat hukum dunia bisa dibengkokkan, pemuda ini akan bangkit.
Bukan hanya untuk membalas dendam, tapi untuk mendominasi semua.
Dan menjadi eksistensi tertinggi di antara lang
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eido, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bergabung Dengan Karavan Untuk Memasuki Kota
Feng Jian memandangi gerbang kota dari kejauhan, pandangannya tenang namun pikirannya dipenuhi perhitungan.
“Jika aku masuk sendiri, mereka pasti akan curiga… Pakaian ini terlalu mencolok, dan aku bukan warga kota. Sedikit salah langkah, bisa-bisa aku ditangkap atau dianggap mata-mata dari sekte gelap…” pikirnya sambil menghela napas pelan.
Mau tak mau, bergabung dengan karavan ini adalah pilihan terbaik. Setidaknya, ia bisa berpura-pura menjadi pengawal bayaran, pedagang keliling, atau pengelana yang mencari tumpangan. Identitas bisa dicari kemudian yang penting sekarang adalah masuk ke kota tanpa menimbulkan keributan.
Dengan langkah ringan dan sikap tenang, Feng Jian mulai mendekat ke arah karavan yang perlahan bergerak menuju gerbang kota. Angin sore meniup jubah putihnya, membuat sosoknya tampak seperti bayangan yang muncul di balik sinar matahari.
Namun saat jarak tinggal beberapa meter, dua penjaga karavan langsung bergerak.
“Berhenti di sana!”
Suara tegas memecah udara, disusul langkah cepat dua pria yang langsung menghadangnya. Salah satunya, pria berwajah cukup tua dengan rambut yang diikat rapi ke belakang, menarik pedangnya keluar dari sarungnya. Cahaya dingin dari bilah besi itu memantul tajam di bawah cahaya matahari.
Pedang diarahkan lurus ke dada Feng Jian.
“Siapa kau?!” suara pria tua itu dalam dan waspada. Meski kulitnya telah dihiasi garis usia, postur tubuhnya masih tegak laksana tombak baja, dan aura Alam Pembuka Qi Tahap Akhir memancar lembut namun tajam dari tubuhnya. “Kenapa kau mendekati karavan ini? Jangan berpikir kau bisa mencuri atau menyerang tanpa akibat.”
Feng Jian berhenti seketika, tak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Ia menatap mata pria itu dengan ketenangan yang dingin, seperti danau yang tak terusik angin.
"Aku bukan bandit, bukan pencuri, dan tentu bukan musuh." katanya pelan, namun suaranya membawa ketegasan yang tak bisa diabaikan. "Aku hanya seorang pengelana yang ingin menuju kota. Namun aku tak bodoh, aku tahu bagaimana dunia ini menilai orang asing dengan pakaian mencolok seperti ini."
Feng Jian mengangkat sedikit jubah putihnya, memperlihatkan corak naga emas yang bersinar samar, lalu melipat kedua tangannya di depan dada.
“Jika aku masuk sendiri, para penjaga kota mungkin akan curiga, bahkan menganggapku kultivator sesat yang menyamar. Maka, lebih aman bagiku dan bagi mereka jika aku memasuki kota bersama rombongan resmi seperti kalian.”
Ia menunduk sedikit, menunjukkan sopan santun, tanpa kehilangan wibawa.
“Aku tidak punya niat jahat. Jika perlu, aku bisa membantu sebagai pengawal sementara, atau membayar ongkos lewat cara lain. Tapi yang paling penting aku ingin masuk ke kota tanpa pertumpahan darah.”
Penjaga tua itu menatapnya lekat-lekat, seakan menimbang ketulusan dari setiap kata yang diucapkan. Ujung pedangnya masih teracung, namun kini mulai gemetar sedikit, seolah ragu.
Udara terasa tegang. Hening. Hanya suara langkah karavan dan angin yang mengiringi detik-detik itu.
Namun Feng Jian tetap tenang, karena ia tahu di dunia seperti ini, ketenangan adalah kekuatan, dan kata-kata yang tajam bisa lebih mematikan daripada pedang.
Hening menggantung di udara seperti tali tegang yang siap putus kapan saja. Ujung pedang masih mengarah ke dada Feng Jian, sementara angin sore terus berhembus pelan, memainkan helaian rambut panjangnya yang hitam legam. Dua penjaga itu menatapnya tajam, menanti setiap gerak tubuhnya seperti seekor serigala mengintai mangsanya.
Namun Feng Jian tetap tenang.
Tanpa berkata sepatah kata pun, ia mengangkat satu tangan, lalu dengan gerakan halus dan cepat, ia menggapai tas dimensi nya sebuah gerakan yang nyaris tak terlihat, tapi penuh keyakinan.
Cahaya redup berpendar sesaat dari dalam tas dimensi itu.
Lalu… cling!
Sebuah Batu Roh Tingkat Tinggi yang berkilau jernih dengan inti energi padat muncul di telapak tangannya. Batu itu memancarkan aura spiritual yang begitu kuat, seolah bisa menyembuhkan luka dan menghangatkan jiwa hanya dengan disentuh.
Mata penjaga tua itu membelalak. Tangannya yang memegang pedang sedikit bergetar.
“Batu Roh Tingkat Tinggi…” bisiknya tanpa sadar. Matanya menyipit, lalu beralih menatap Feng Jian dengan lebih waspada.
Jubah putih Feng Jian dengan corak naga emas berkilat lembut di bawah matahari senja. Jepit rambut emas berbentuk naga yang menghiasi rambutnya ikut berkilau samar. Sosoknya memancarkan aura seperti bangsawan muda dari sekte besar, namun tak ada jejak kultivasi yang bisa dirasakan darinya. Tidak satu pun riak Qi, seakan tubuhnya sepenuhnya kosong… atau tertutup oleh kekuatan yang bahkan tak bisa dijangkau oleh indera biasa.
Namun, anehnya…
Penjaga itu merasa sesuatu yang lain.
Sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri.
Bukan kekuatan… bukan niat jahat… tapi rasa bahaya.
Sebuah intuisi tajam yang hanya dimiliki oleh mereka yang telah bertahun-tahun bertahan hidup di dunia kultivasi. Seakan pria muda di hadapannya ini… adalah lautan dalam yang tampak tenang, tapi bisa menelan gunung dan langit.
“Siapa sebenarnya orang ini…?” pikir penjaga tua itu.
Feng Jian menatap lurus ke matanya, lalu meletakkan Batu Roh itu di atas batu kecil di tanah, perlahan dan penuh perhitungan.
“Anggap saja ini ongkos masuk kota." katanya ringan, namun nada suaranya dingin dan sarat makna. “Aku tak berniat membuat masalah, dan aku yakin… kalian juga tidak.”
Penjaga itu menatap Batu Roh tersebut, lalu kembali menatap Feng Jian. Sesaat, tak ada suara. Lalu perlahan, ia menurunkan pedangnya, gerakannya berat namun pasti.
“…Baik." katanya akhirnya, suaranya masih waspada. “Kau bisa ikut di belakang karavan. Tapi sekali saja kau menunjukkan gerakan mencurigakan, pedangku akan menjadi yang terakhir kau lihat.”
Feng Jian mengangguk tenang. “Itu lebih dari cukup.”
Ia pun melangkah perlahan, melewati kedua penjaga itu tanpa rasa takut sedikit pun. Dan ketika punggungnya membelakangi mereka, kedua penjaga itu masih berdiri diam, menatap sosok pemuda misterius itu dengan perasaan tak nyaman.
Mereka tak tahu siapa dia.
Mereka tak tahu dari mana ia datang.
Tapi yang mereka tahu pasti adalah satu hal.
Pria itu… bukan orang biasa.
Penjaga tua itu memandangi punggung Feng Jian yang berjalan tenang menuju bagian belakang karavan. Matanya masih menyisakan sedikit keraguan, tapi instingnya yang terasah selama puluhan tahun tak bisa mengabaikan satu hal pemuda itu lebih dari sekadar pengelana biasa.
Dengan gerakan pelan namun mantap, ia membungkuk dan mengambil Batu Roh Tingkat Tinggi yang berkilauan di atas batu. Kehangatan dari batu itu menyebar ke telapak tangannya, membuktikan bahwa ini bukan tiruan murahan melainkan Batu Roh asli dengan kualitas tinggi yang jarang dimiliki oleh pengelana biasa, bahkan oleh pengawal bayaran tingkat menengah.
Masih memegang Batu Roh itu, ia berjalan menuju sisi utama karavan. Gerbong terbesar di rombongan itu tertutup rapat oleh kain hitam yang tebal dan mewah, menjadikannya tampak mencolok namun tertutup dari dunia luar. Tak ada celah bagi mata biasa untuk mengintip ke dalam.
Penjaga itu berdiri di depan jendela kecil yang tertutup kain, lalu membungkuk sedikit dan berkata dengan suara pelan, nyaris berbisik, “Nona Muda, izinkan saya melapor.”
Suasana hening sejenak, sebelum terdengar suara lembut dari dalam kain itu.
“Masuk.”
Dengan gerakan hormat, penjaga itu menyibakkan sebagian kecil kain jendela, memperlihatkan wajah dari seorang gadis muda, duduk anggun di dalam gerbong. Usianya tampak sekitar delapan belas tahun, namun matanya menyimpan kedewasaan dan ketajaman yang tak sesuai dengan umurnya.
Kulitnya seputih giok, rambut hitamnya digelung rapi dengan hiasan giok hijau, dan gaunnya berwarna ungu muda dengan bordiran bunga anggrek. Tatapannya tenang, namun ada kilatan kecerdasan yang tajam menyala di balik iris matanya.
Tanpa mengangkat suara, gadis itu menatap penjaga tua tersebut. “Ada apa?”
Penjaga itu segera memberikan Batu Roh Tingkat Tinggi itu dengan kedua tangan, penuh hormat.
“Seorang pemuda tak dikenal mendekati karavan, Nona Muda.” katanya pelan. “Dia tampaknya ingin masuk ke kota bersama rombongan kita. Dia tak menampakkan permusuhan, dan… dia membayar dengan ini.”
Gadis itu menerima Batu Roh itu, menatapnya sebentar. Cahaya spiritual dari batu itu memantul di wajahnya yang lembut namun tegas.
“Batu Roh Tingkat Tinggi…” gumamnya. “Seorang pengelana yang membawa ini?”
“Ya, Nona.” jawab penjaga itu. “Tapi… ada yang aneh.”
Tatapan gadis itu mengeras. “Aneh bagaimana?”
“Tak ada aura kultivasi dari dirinya… seolah-olah dia bukan kultivator. Tapi entah mengapa, saya merasa… ada bahaya dalam dirinya. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan.”
Gadis itu terdiam. Batu Roh itu ia genggam erat, sebelum matanya mengarah kembali ke luar jendela, menembus kain seolah bisa melihat langsung ke arah pemuda misterius itu.
“Menarik…” bisiknya lirih.
“Sangat menarik.”