Di kehidupan sebelumnya, Nayla hidup dalam belenggu Adrian.
Tak ada kebebasan. Tak ada kebahagiaan.
Ia dipaksa menggugurkan kandungannya, lalu dipaksa mendonorkan ginjalnya kepada saudari kembarnya sendiri—Kayla.
Ia meninggal di atas meja operasi, bersimbah darah, dengan mata terbuka penuh penyesalan.
Namun takdir memberinya kesempatan kedua.
Di kehidupan ini, Nayla bersumpah: ia tidak akan jatuh di lubang yang sama.
Ia akan membuka topeng dua manusia berhati busuk—mantan kekasih dan saudari tercintanya.
Namun kali ini... apakah ia bisa menang?
Atau akan ada harga baru yang harus ia bayar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julie0813, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34: Kebenaran atau Kebohongan?
Pengawal di samping segera menyeret pria itu keluar. Pria itu terlihat sangat ketakutan. Melihat Rayyan pun tak bisa melindungi dirinya sendiri, ia langsung berteriak:
"Tuan Rayyan! Tuan Rayyan, Anda kenal saya! Kita pernah bertemu! Saya pernah mengantar seorang gadis ke tempat Anda, waktu itu Anda bilang dia pacar Anda. Dia mabuk dan bersikeras ingin menemui Anda..."
Adrian mendengar ucapan itu dan mengulanginya pelan dengan penuh kecurigaan.
"Dia bilang... pacarnya? Dan datang mencarinya sendiri?"
"Betul, Tuan Adrian! Saya bersumpah, saya tidak berbohong sedikit pun!" Pria itu menjawab dengan tangan terangkat dan tubuh yang masih gemetar.
Adrian menyipitkan mata, nadanya mendadak tajam.
"Lalu... gadis itu, dia mengatakan sesuatu?"
"Dia tampak sudah tidak sadar karena terlalu mabuk. Tidak mengatakan apa-apa, atau mungkin memang tidak bisa bicara. Tapi... dia sempat meronta sedikit. Saya tidak tahu maksudnya apa." Pria itu mencoba mengingat kejadian dengan gugup.
Adrian terdiam sesaat, teringat wajah Nayla yang kemerahan karena alkohol, tubuhnya lemah dalam pelukannya, seperti anak kucing yang manja. Tapi waktu itu, pakaiannya masih utuh. Pikirannya langsung sedikit tenang.
Adrian memberi isyarat agar pria itu tidak dibawa pergi. Ia lalu menoleh dan menatap Rayyan dengan tajam.
"Tuan Rayyan, apakah apa yang dia katakan itu benar?"
Wajah Rayyan yang pucat pasi seakan telah menjawab pertanyaan itu. Tapi Rayyan tak bisa semudah itu mengakui. Jika bukan karena Adrian datang tepat waktu...
Adrian mendekat satu langkah, suaranya semakin dingin.
"Rayyan, aku bukan orang yang sabar. Aku beri kamu satu kesempatan. Kamu bilang iya, berarti iya. Kamu bilang tidak, berarti tidak. Tapi ingat, nyawa orang ini ada di tanganmu."
Ini bukan sekadar pertanyaan. Ini ujian hati nurani. Jika Rayyan mengaku, mungkin pria itu selamat. Tapi Kayla akan berada dalam bahaya.
Tepat saat kebimbangan membakar pikirannya, seseorang melempar sebilah pisau ke arahnya. Pisau itu jatuh di dekat kakinya.
Itu seperti melempar bensin ke atas api.
Rayyan perlahan-lahan membungkuk untuk mengambil pisau itu. Udara terasa mencekam. Semuanya diam.
Lalu tiba-tiba—nada dering ponsel memecah keheningan.
Suara itu mengejutkan semua orang. Pisau di tangan Rayyan pun terlepas dan jatuh ke lantai.
Suara itu seolah membangunkannya dari mimpi buruk. Ia tersentak, seperti diseret kembali dari tepi jurang.
Bahkan pria yang nyaris kehilangan nyawanya pun mendadak terbangun—dari ketakutan menjadi penuh dendam.
Adrian hanya berdiri di sana, menyaksikan perubahan suasana itu, lalu perlahan tersenyum.
Karena semua orang tahu, ketakutan yang paling mematikan dari Adrian...
bukan luka di tubuh,
melainkan cara dia membunuh tanpa menyentuhmu—menggiringmu perlahan ke dalam kegelapan yang tak bisa kau hindari.
Adrian mengangkat telepon.
"Halo?"
"Selamat sore, Tuan Adrian. Saya ayahnya Rayyan. Maaf mengganggu, saya ingin menanyakan apakah putra saya Rayyan sedang berada di tempat Anda?"
Suara pria di seberang terdengar sedikit bergetar, hati-hati dan penuh pertimbangan.
"Anak saya pergi ke tempat Anda tapi tidak bilang sepatah kata pun kepada saya. Kalau saya tahu lebih awal, tentu saya akan menyiapkan sedikit buah tangan untuk berkunjung langsung dan menyampaikan rasa hormat saya. Saya harap Rayyan tidak merepotkan Anda?"
Di sampingnya, ibu Rayyan juga ikut mendekat, menahan napas, mencoba mendengar isi percakapan lewat pengeras suara ponsel.
Sebagai kepala keluarga, ayah Rayyan jauh lebih paham soal jarak dan kedudukan antara dua keluarga.
Meskipun keluarga mereka juga termasuk kalangan atas, namun tetap saja belum bisa disandingkan dengan keluarga Adrian—keluarga kelas atas dengan pengaruh besar, apalagi perusahaan justru berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir di tangan Adrian.
Bisa menjalin hubungan baik saja sudah merupakan kehormatan.
Kalau tidak bisa, setidaknya jangan sampai menyinggung atau menyinggungnya.
Namun kini, ia tak tahu apa sebenarnya yang sudah Rayyan perbuat…