NovelToon NovelToon
Senandung Sang Bunga

Senandung Sang Bunga

Status: sedang berlangsung
Genre:Duniahiburan / Teen School/College / Karir / Fantasi Wanita / Chicklit
Popularitas:499
Nilai: 5
Nama Author: Baginda Bram

Aidol atau idol. Adalah istilah yang lumrah di zaman ini karena kehadirannya yang telah masif.

Chandra Kirana adalah salah satunya. Ia yang mulai dari nol, tak pernah berpikir untuk menjadi seorang idol.

Namun, ia "terperosok" ke dalam dunia itu. Dunia yang tak pernah ia tahu sebelumnya.

Mulai saat itu, dunianya pun berubah.

(Update setiap hari selasa, kamis, Sabtu dan minggu.)

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Baginda Bram, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4

Saat ini, pikiranku penuh oleh hal-hal yang belakangan ini terjadi. Bahkan, dalam beberapa hari ini aku sulit untuk sekadar memejamkan mata walaupun waktu tidurku sudah terlampau jauh.

Aku sadar, aku tak boleh berlarut-larut seperti ini. Karena itu, aku harus melupakan banyak hal sekaligus. Soal Farrel, soal hasil audisi, soal cibiran orang-orang.

Selama beberapa hari, aku mendadak tersohor. Dibicarakan seisi sekolah dan kebodohanku ditertawakan. Rasanya bagai dihantam bola voli yang melesat setelah di smash tepat di wajah. Bertubi-tubi.

Membuatku tak keluar sejengkal pun dari kelas ketika jam istirahat. Aku lebih memilih membawa makanan yang kubeli di warung sebelum berangkat sekolah daripada dihujani dengan kata-kata nyelekit.

Duduk sendirian di kelas, berkenalan dengan sunyi sambil menikmati jajanan. Di luar dugaan, tak seburuk yang kukira.

Kupikir aku mulai berhasil menjinakkan perasaanku.

Mau orang bilang aku ganjen, bodoh, sinting, aku sudah tak ambil pusing lagi. Hanya tertinggal satu hal yang masih belum sanggup kuredam.

Setiap kali aku melihat Farrel, aku selalu naik darah. Setiap tingkahnya selalu kuanggap sebagai dosa. Apapun itu. Berbanding terbalik dengan diriku beberapa minggu yang lalu.

Cukup deh soal lelaki sampah itu.

Hari ini adalah hari pengumuman audisi. Hari yang kutunggu-tunggu. Tapi, entah mengapa patah semangatnya sudah sejak lama.

Feeling-ku mengatakan kalau aku bakal mengalami penolakan untuk yang kedua kalinya. Berbeda dengan yang pertama, kali ini aku telah berusaha memperluas dadaku seluas mungkin.

Aku sadar dengan tampangku. Aku sadar kalau tak mungkin menjadi seperti mereka. tapi, demi meredam gejolak yang bersemayam di dadaku, aku tak akan berhenti berharap.

Sepulang sekolah, kuperiksa ponsel. Begitu data kunyalakan, terlihat sebuah ikon surat menyusup di antara ikon yang lain.

Tanganku gesit membuka aplikasi e-mail, kutekan pesan teratas. Kubaca dengan seksama tanpa melewatkan satu pun titik dan koma.

Mataku mendapati kalimat,

Dengan ini anda telah lolos ke babak seleksi berikutnya.

Sontak aku berteriak kencang. Bersorak sorai bagai suporter sepak bola yang melihat tim kesayangannya membobol gawang lawan.

Aku segera menghambur keluar kamar. Berlari ke tempat mama berada. Di dapur mama pun menatapku dengan raut heran.

"Ma, aku lolos!" seruku.

"Enggak salah tuh?" Mama memicingkan matanya.

"Beneran, Ma!"

"Oke, kalau gitu nanti malam mama masak masakan spesial buat merayakannya."

"Merayakan apa, Ma? Ini baru seleksi awal loh. Mending nanti aja deh kalo betulan lolos."

"Nanti ya nanti, yang sekarang ya sekarang."

Aku hanya bisa menepuk jidat. Melihat antusiasme yang tidak perlu dari mama.

...----------------...

Aku merapikan barang-barang sebagai persiapan untuk pergi jauh karena seleksi tahap berikutnya diadakan di Jakarta.

Orang yang jarang bepergian sepertiku tentu saja was-was. Terlebih sendirian. Mengenakan pakaian sporty dengan tas yang lumayan berat.

Entah apa isinya, karena tadi sempat diotak-atik oleh Mama. Yang jelas cuma botol besar dan baju salin yang kumasukkan. 

Dengan berbekal infomasi dari google, kutinggalkan rumah. Mencari angkot yang melewati halte busway. Kata google sih, angkot berwarna kuning.

Aku berdiri di trotoar dengan memegang tangan tas. Baru lima menit, angkot kuning menghampiri, merespon isyarat tanganku.

Sebelum naik, kupastikan dulu benar atau tidak info yang kuterima.

"Lewat halte busway, Bang?" tanyaku setengah memekik hingga suaraku sampai.

"Iya, Mbak."

Aku segera masuk ke angkot yang setengah terisi itu. Kupilih duduk di pojokan. Spot kesukaan yang dilengkapi dengan fitur AC yang unik.

Yang makin kencang hembusannya tiap angkot menaikan kecepatan dan melemah jika angkot berjalan pelan.

Aku buka aplikasi peta. Tanda keberadaanku mulai berjalan. Berangsur-angsur melewati berbagai jalan. Namun, tanda itu mendadak diam karena angkot berhenti.

Tiba-tiba terasa colekan di bahuku. Mataku reflek memandang.

"Mbak, sudah sampai." Tegur orang yang duduk tak jauh dariku.

Aku kaget. Melihat ke sekeliling. Tatapan orang-orang tertuju padaku. Aku makin kaget. Kulihat ke luar jendela. Halte telah terpampang. Aku keheranan.

Apa aku salah lihat? Kulihat di peta, menunjukkan kalau aku belum sampai.

Aku tersenyum ironis. Membayar dengan uang pas. Turun diikuti dengan tatapan kesal.

Aku baru tahu sebuah fakta kalau aplikasi peta tidak dapat dipercaya. Kukantungi ponsel begitu saja.

Aku duduk di dalam. Kebetulan Bis tidak padat. Kusapu pandangan ke sekeliling. Pemandangan yang hampir sama dengan angkot barusan.

Hanya saja tempat duduk kami tidak terlalu rapat dan hanya berisi perempuan. Tapi jujur, aku lebih suka AC di sana daripada di sini.

Pandanganku tertarik keluar. Pepohonan dan gedung silih berganti. Aku yang kali ini berpergian sendiri untuk pertama kalinya, fokus memandang ke arah jalan.

Membaca berbagai tulisan yang terpampang agar kenal dengan jalan yang sedang kulalui. Cukup seru juga.

Sesuai instruksi, jika naik busway, turun di halte yang ditunjukkan dalam email. Berjalan sekitar sepuluh menit. Melewati beberapa gedung. Tatapanku tersangkut pada sebuah gedung bertuliskan "Bongori" yang bisa dibaca dengan menurun.

Apa itu yang dimaksud "Bongori building" yang ada di e-mail? Nama yang tak lazim.

Langkahku terhenti tepat di depan. Menatapi gedung berwarna putih kusam tanpa ada ornamen apapun.

Dari luar terlihat dua orang bertubuh tegap duduk bersebelahan. Salah satunya, memandangku intens. Yang lainnya sibuk menyesap cangkir yang masih menyembulkan uap.

Kudorong pintu perlahan. Tatapan pria itu terus membuntutiku. Aku melangkah mendekati mereka.

"Permisi, Pak. Mau tanya, tempat audisi ...."

"Oh," potongnya dengan tanpa menunggu lanjutan kalimatku,

"di lantai 5. Naik saja ke lift yang di sebelah sini atau yang di sebelah sana juga bisa." Tangannya bergerak-gerak, menunjukkan arah di mana lift berada.

Yang satu berada di samping tak jauh dari resepsionis. Yang satu nampaknya harus masuk ke dalam lagi.

Yang terdekat saja deh.

Buru-buru aku masuk. Seorang perempuan berkacamata melihatku, tersenyum ramah. Kubalas senyum, berjalan melewatinya. Menghampiri tempat yang ditunjuk satpam tadi.

Aku berdiri di depan dua pintu besi yang tertutup. Diam menatapi angka yang ada di sampingnya. Di sebelahnya juga ada dua buah segitiga yang serupa, namun berbeda arah.

Angka menunjukkan 3. Aku yakin ketika menunjukkan nomor 1, pintunya baru terbuka. Angka-angka itu menunjukkan posisi di mana lift berada. Aku yakin begitu.

Angka beralih. Dari 3 kemudian 2. Cukup lama di angka 2, tapi tak turun ke angka 1. Malah beralih ke angka lain. Dahiku berkerut. Aku mundur selangkah. Mungkin saja ada yang salah dengan tempat berdiriku.

Kupelototi angka yang mulai naik. Dari 2 ke 3, dari 3 ke 4 lalu ke 5. Tak lama turun lagi. Sampai akhirnya sampai ke 2, naik lagi. Aku mulai merasa dipermainkan.

Perempuan yang kulewati tadi mendadak berada di dekatku. Sesaat ia ikut memandang ke arah pandangku. Tanpa berucap, ia menekan salah satu tombol segitiga. Hanya beberapa detik, angka berubah menjadi 1. Pintu didepanku terbuka. Aku menepuk kening.

Ternyata harus ditekan terlebih dahulu.

Aku yang merasa malu, tersenyum sebagai pengganti ucapan terima kasih. Buru-buru masuk ke dalam dengan tertunduk. Ketika pintu lift tertutup, baru aku bisa mengangkat pandangan.

Untung saja tidak dalam posisi ramai. Bisa-bisa aku dibilang norak oleh orang-orang.

Kalau di dalam begini, aku tahu apa yang harus kulakukan. Memencet tombol angka lantai tujuan. Aku tahu karena sering melihatnya dalam adegan film.

Lantai ke 5, lift terhenti. Pintunya pun terbuka. Selangkah keluar dari lift, aku berada di sebuah lorong. Di sampingnya ada beberapa pintu yang letaknya berjauhan.

Di depanku ada sebuah tanda bertuliskan "Tempat audisi" dengan anak panah di bawahnya. Menunjuk ke arah lurus, ke sebuah pintu.

Perlahan kubuka pintu yang ditunjuk. Lorong yang minim penerangan seakan tercerahkan. Mataku tiba-tiba disiram oleh cahaya. Untuk sejenak aku berhenti, seper sekian detik. Kutatap sekeliling, sebuah ruangan yang dikepung oleh kaca.

Pantas saja sangat terang. Di pusat ruangan terdapat meja dan beberapa kursi yang di atasnya terdapat tumpukan kertas dan beberapa pengeras suara. Ruangan yang terbilang cukup luas.

Di sekelilingnya ada gadis-gadis yang terlihat. Cukup ramai, hingga hampir memenuhi setengah ruangan. Beberapa ada yang berkerumun, sebagian terlihat seperti sedang pemanasan, beberapa beramah tamah, dan ada yang sibuk beradu tatap dengan ponselnya.

Aku berjalan perlahan. Menyatu dengan rimbunan gadis. Kebingungan, aku asal duduk saja.

Aku memperhatikan orang-orang di sekitar. Mereka semua memakai make up yang rapi sehingga terlihat sangat cantik. Sementara aku? Tak memakai polesan sedikitpun.

Seketika aku merasa down. Merasa seperti perjalananku sebagai artis akan berhenti pada tahap ini. Tubuhku tiba-tiba kehilangan semangatnya.

Kulihat jam yang terpampang pada layar, cuma tinggal beberapa menit hingga audisi dimulai. Suara pintu yang terbuka masih terdengar. Menyita perhatianku dan beberapa orang.

Seorang gadis masuk tergopoh. Nafasnya yang tersengal terdengar samar. Gadis tak ber-make up, namun kecantikan alaminya sudah nampak jelas.

Meski dahinya dipenuhi keringat, rambutnya sedikit terbasahi, tak dapat menyembunyikan paras menawannya. Sekali lihat, aku langsung takjub.

Ia berjalan masuk sembari melongok ke sekeliling. Sesaat pandangan kami bertemu. Kami bertukar senyum. Ia mendekatiku. Duduk tepat di sebelahku. Nafasnya masih sedikit mengap. "Untung enggak telat." Gumamnya sambil mengelus dada.

"Emang kamu dari mana?" tanyaku begitu saja.

"Dari Bandung aku tuh."

"Jauh juga ya?"

"Lumayan, untung belum mulai. Kalo kamu dari mana?"

"Tangerang, Kak."

"Ga jauh dong ya?"

"Ya gitu deh. By the way, namaku Chandra Kirana."

"Oh ya, namaku Octavia Viola."

Aku mengulurkan tangan. Gadis itu pun menyambut tanganku dengan ekspresi senang.

Ingin kulanjutkan obrolan kami, namun seorang melalui speaker, mulai angkat suara. Menyita perhatian seisi ruangan. Meminta kami semua untuk berbaris rapi. Mengundang keringat dingin mengucur dadakan.

Semoga saja aku tidak mengacaukan segalanya.

1
SakiDino🍡😚.BTS ♡
Bagus banget deh, bikin nagih!
KnuckleDuster
Buat gak bisa berhenti baca!
Coke Bunny🎀
Gemesinnya minta ampun!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!