Tumbuh dewasa di bawah asuhan sebuah panti sosial, membuat Vanila berinisiatif untuk pergi keluar kota. Dengan bekal secarik kertas pengumuman lowongan kerja di salah satu usaha, yang bergerak di bidang cuci & gosok (Laundry).
Nahas, biaya di Kota yang cukup tinggi. Membuat Vanila mencari peruntungan di bidang lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anggika15, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 5 (Pria aneh)
"Berapa tadi, Pak?" Vanila keluar dari taksi yang dihentikannya saat keluar dari rumah Edgar.
Setelah sempat menolak tawaran Irgi untuk mengantarnya pulang karena merasa marah atas tawaran Edgar, gadis itu memilih untuk pulang sendiri saja.
Beruntung ada selembar uang tip yang bisa Vanila jadikan sebagai ongkos.
"Empat puluh lima ribu, Mbak." Sopir menjawab.
Vanila mengangguk, kemudian merogoh saku celananya dan mengeluarkan satu lembar uang pecahan lima puluh ribu. Uang tips yang seharusnya dibagi empat, namun karena kemurahan hati Fuji, wanita itu memilih memberikan jatahnya kepada Vanila karena merasa kasihan atas apa yang sedang ia alami.
Semua barang berharganya raib, dan satu-satunya yang dia miliki adalah beberapa stel pakaian yang tersimpan di dalam kamar kostnya.
"Kembaliannya ya, Mbak." Pria paruh baya itu memberikan uang kembalian pada gadis yang berdiri tidak jauh darinya.
Vanila mengangguk, dia menerimanya dengan perasaan tak enak hati. Bahkan beberapa kali Vanila menatap uang dan wajah sopir taksi itu bergantian.
"Kalau begitu saya permisi, Mbak?" Ucapnya sambil tersenyum.
Vanila menatap pria paruh baya itu. Sungguh, dia ingin memberikan uang terakhir miliknya. Namun, jika uangnya diberikan, apa yang akan Vanila makan malam ini? Sementara sudah tak ada stok mie instan atau apapun untuk mengganjal perutnya.
"Makasih ya, Pak. Saya cuma bisa kasih bintang lima sama rate yang bagus, … semoga rejeki bapak lancar hari ini."
"Sama-sama neng," sopir taksi itu mengangguk sambil tersenyum, kembali menghidupkan mesin mobilnya yang sempat dimatikan, dan segera beranjak pergi.
Sementara Vanila masih tetap berdiri menatap kepergian mobil yang mengantarnya pulang dari jarak yang cukup jauh.
"Maaf ya Pak, kalau masih ada uang pasti aku kasih lebih. Tapi ini beneran nggak ada, buat beli roti siapa tau nanti malem laper." Gadis itu bermonolog.
Lampu mobil perlahan memudar kala jarak diantara mereka semakin jauh. Dan setelah benar-benar menghilang dari pandangan, Vanila pun berbalik dan berjalan memasuki gerbang yang terbuka cukup lebar.
Hatinya berdebar kencang, suara-suara di dalam kepalanya terus berteriak mengatakan hal-hal yang tentu membuat hati gadis itu menjadi sangat takut dan ragu. Apalagi kalau mengingat ucapan sang pemilik kost kemarin malam.
‘Kalau nggak bisa bayar mending di kosongin aja, yang mau ngekos nggak cuma kamu!’ Kata-kata itu terus berputar-putar di dalam ingatan.
"Ya Tuhan, semoga Bu Tika nggak ada. Tolong selamatkan saya malam ini saja, biar besok bisa usaha lagi buat nyari pinjaman."
Diliputi gelisah, Vanila berjalan sambil terus mengedarkan pandangan mencari sosok wanita yang biasanya duduk menunggu di kursi bambu depan warungnya.
Dan ya, ketidak beradaan Tika disana membuat Vanila sedikit merasa lebih tenang, apalagi dengan suasana sekitar kost yang cukup sepi.
"Pada malam mingguan kali yah?" Katanya.
Vanila terus berjalan mengendap-endap, berusaha tidak memunculkan suara apapun agar tidak mengundang sang pemilik kost muncul.
"Tapi bagus deh …."
"Hey Van!?"
Posisi Vanila dengan pintu kamar kost yang ditempatinya sudah sangat dekat. Tangannya bahkan sudah masuk ke dalam saku untuk mengeluarkan kunci kamar yang dia tempati. Nahas, panggilan suara yang tidak asing membuat tubuhnya membeku seketika.
"Van? Mana?" Teriak Tika di ambang pintu warung.
Perlahan Vanila berbalik badan, kemudian dia tersenyum gugup saat pandangan keduanya beradu.
"Mana? Katanya mau bayar kost hari ini. Saya tungguin lho, janji kan hutang!" Katanya seraya menadahkan telapak tangannya, seolah meminta uang yang Vanila janjikan dengan cepat.
"Eee … Bu? Boleh minta waktu lagi nggak? Hari ini saya belum dapat pinjaman."
Tika diam untuk beberapa saat, lalu raut wajahnya berubah seketika, dan itu sangat-sangat membuat Vanila gugup. Apalagi dia sudah tahu bagaimana watak perempuan itu, yang jika marah suaranya tidak akan pernah bisa pelan.
Penghuni kost bakal keluar semua ini! Hatinya berbicara, dengan kedua mata yang seketika terpejam.
"Nggak ada nggak ada. Kalo masih mau disini, ya bayar dulu!" Dia berjalan mendekat. “Ada uang ada barang, … ga ada uang ya pergi sekarang!” Celetuk Tika tanpa memikirkan perasaan Vanila.
Vanila diam, dia berusaha memutar otak untuk membuat dirinya selamat, setidaknya malam ini saja.
"Kamu bisa bayar malam ini nggak?" Tanyanya lagi dengan ekspresi wajah tak enak di pandangan.
Vanila masih bungkam menatap sang pemilik kost yang jaraknya sangat dekat. Namun, dirinya belum menemukan kata-kata yang tepat untuk dijadikan sebagai senjata agar Tika kembali memberinya izin seperti malam kemarin.
"Kan sudah saya bilang kalo nggak bisa bayar, lebih baik kamarnya di kosongin, tadi aja udah dua orang yang nyari kost-kostan!"
"Saya belum dapet pinjaman, Bu. Minta waktu sehari lagi aja, siapa tau besok ada." Vanila tampak memohon.
"Nggak!" tolak Tika.
"Mana kuncinya?" Nada bicaranya terdengar semakin ketus.
Vanila menggelengkan kepala.
"Mana? Berikan kuncinya. Saya mau kamar ini di kosongkan malam ini juga, biar besok saya bersihkan terus bisa terima anak baru yang bisa bayar rutin nggak mandet-mandet kaya kamu!" bentaknya kepada gadis itu.
Vanila segera memberikan apa yang wanita itu minta. Sedikit berat memang, tapi apalah daya, nyatanya wanita itu memang lebih berhak dari pada dirinya.
"Kamu kira yang butuh duit cuma kamu? Terus saya tidak?" hardik Tika, lalu dengan kasar menyambar kunci pintu yang Vanila sodorkan, untuk kemudian membukanya dengan segera.
"Cepat kemasi barang bawaan milik kamu!" katanya dengan suara kencang.
Vanila menatap Tika dengan mata berkaca-kaca.
"Cepat! Saya nggak mau tahu pokoknya malam ini harus kosong!" usir perempuan itu yang kemudian pergi meninggalkan Vanila, berjalan kembali menuju warung miliknya sambil terus mengomel.
***
Vanila keluar sambil menyeret sebuah koper berukuran sedang, lalu menutup pintu ruangan itu.
Pandangannya mengedar, menatap area yang ditinggalinya selama beberapa bulan terakhir setelah memutuskan pergi dari panti asuhan tempatnya di besarkan. Berat hati Vanila pergi dari sana, apalagi tanpa tujuan dan hanya sisa uang kembali yang ia jadikan sebagai bekal.
Kalau sudah begini harus bagaimana?
Vanila terus berpikir, bagaimana dirinya akan bertahan sekarang? Sementara keadaan semakin menyulitkannya. Namun, kembali ke panti juga bukan pilihan, karena salah satu alasannya datang ke Jakarta adalah untuk menemukan ayahnya yang entah ada dimana, tidak mungkin dia kembali tanpa hasil apapun sementara dirinya berjalan sejauh ini.
Hilir angin berhembus cukup kencang, menggerakan dahan pepohonan yang tumbuh di sekitar sampai berbunyi riuh. Birunya langit mulai berubah warna menjadi kuning kemerahan, cahaya sang Surya pun mulai meredup sehingga membuat suasana semakin terasa sendu.
Vanila terus berjalan menyusuri trotoar, menarik pegangan koper, dengan pandangan kosong.
Lihatlah bagaimana dunia tidak berpihak kepadanya!
Dia benar-benar tidak tahu harus apa, harus ke mana. Dan yang Vanila tunggu adalah sebuah keajaiban yang mungkin akan membawanya keluar dari keadaan yang cukup rumit seperti sekarang.
Tanpa harus menjual diri kepada pria aneh yang tadi sempat ia temui.
"Kau masih tidak mau menerima tawaranku?"
Seorang pria tinggi besar keluar dari dalam mobil yang sempat Vanila lewati. Dia berdiri menyandarkan punggung pada kendaraan mewah miliknya, sementara mata biru milik Edgar mengarah pada Vanila dengan tajam.
Sebatang rokok disesapnya dalam-dalam kemudian dia meniupkan asapnya di udara sehingga hampir menutupi sebagian wajahnya untuk beberapa saat.
Vanila membeku. Bagaimana pria itu bisa mengetahui keberadaannya?
"Ayolah, hanya jawab iya dan hidupmu akan membaik," Edgar berujar.
Gadis itu tak menjawab, tetapi ia bergeser ke samping dan segera melanjutkan langkahnya dengan tergesa. Tidak mungkin dia menerima tawaran tidak masuk akal seperti itu hanya demi segepok uang dan perubahan kehidupan.
Dia tidak serendah itu!
Setidaknya, jagan dengan cara seperti ini. Selagi masih ada yag bisa diusahakan, kenapa harus memilih jalan pintas, bukan?
"Hey, Vanila!" Edgar setengah berteriak, namun Vanila tak menggubrisnya sama sekali.
"Ah, sialan! Semakin membuatku merasa gemas saja." Pria itu bergumam sambil menyesap rokoknya, kemudian ia kembali ke dalam mobilnya dan memerintahkan Irgi untuk bergerak.
"Ikuti saja. Kita lihat sejauh mana dia mampu berjalan dalam keadaan seperti itu. Yang penting kosannya sudah aku bayar. Tidak mungkin kosan lain akan menerima penghuni baru tanpa bayaran di muka, bukan?" Edgar kemudian terkekeh, dan pandangannya belum dia lepaskan dari punggung gadis itu.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Wah licik sekali bapak bapak yang satu ini🙃
Jangan lupa like, komennnnn....