Namira, wanita karier yang mandiri dan ambisius terpaksa menjalani pernikahan paksa demi menyelamatkan nama baik dan bisnis keluarganya. Namun pria yang harus dinikahinya bukanlah sosok yang pernah ia bayangkan. Sean, seorang kurir paket sederhana dengan masa lalu yang misterius.
Pernikahan itu terpaksa dijalani, tanpa cinta, tanpa janji. Namun, dibalik kesepakatan dingin itu, perlahan-lahan tumbuh benih-benih perasaan yang tak bisa diabaikan. Dari tumpukan paket hingga rahasia masalalu yang tersembunyi. Hingga menyeret mereka pada permainan kotor orang besar. Namira dan Sean belajar arti sesungguhnya dari sebuah ikatan.
Tapi kalau dunia mulai tau kisah mereka, tekanan dan godaan muncul silih berganti. Bisakah cinta yang berbalut pernikahan paksa ini bertahan? ataukah takdir akan mengirimkan paket lain yang merubah segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kara_Sorin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21_Diam yang Berbicara
Pagi itu, matahari terasa lebih terang dari biasanya atau mungkin, hanya bagi Namira. Ia duduk di meja makan apartemennya, menatap semangkuk oatmeal yang belum disentuh, sementara Sean duduk di seberangnya sambil membaca koran. Keduanya diam. Sunyi yang menggantung seperti kabut di antara mereka.
Sean sesekali melirik jam tangan, lalu kembali berpura-pura membaca tajuk utama. Namira menggigit bibir bawahnya, lalu memainkan sendok dengan gelisah. Jantungnya berdetak tidak karuan. Bukan karena oatmeal itu, bukan karena headline koran, melainkan karena ciuman semalam. Ciuman yang terlalu jujur. Terlalu dalam. Terlalu... berarti.
Ia tahu Sean juga merasakannya. Tapi sejak mereka membuka mata pagi ini, tak ada satu pun yang berani membahasnya. Mereka seperti dua aktor dalam satu adegan, tetapi memilih naskah yang berbeda.
"Aku harus ke kantor lebih awal," ucap Namira sambil bangkit.
Sean mengangguk pelan.
“Aku juga ada jadwal pengiriman jam sembilan.”
“Kamu mau aku antar?”
Sean menolak dengan anggukan kecil.
“Aku bawa motor. Lebih cepat.”
Namira mengangguk. Bibirnya sedikit terbuka, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi ia urungkan.
"Jaga diri, Nam-Nam."
Langkah Namira terhenti di depan pintu. Hatinya mencelus. Suara itu, panggilan itu mengusik sisi terdalamnya.
“Iya. Kamu juga.”
***
Setengah jam kemudian, Namira sudah duduk di ruang kerjanya, masih dalam keadaan canggung yang menggantung. Pikirannya kacau, pekerjaannya tercecer, dan otaknya hanya memutar ulang kejadian di atap semalam. Ia akhirnya menyerah. Namira mengambil ponsel dan mengetik pesan cepat ke Nina.
“Darurat. Aku butuh kamu. Sekarang. Tempat biasa. Aku traktir.”
Kafe mungil di pojok jalan yang biasa mereka kunjungi nyaris kosong siang itu. Nina datang dengan jaket denim dan ekspresi penuh antusiasme. Begitu duduk, dia mencondongkan tubuh ke depan.
“Oke, aku sudah lelah menunggu. Ayo, spill semuanya.”
Namira menghela napas berat, lalu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. “Aku... aku ciuman sama Sean.”
Nina nyaris menyemburkan minumannya.
“HAH?! KAPAN?! DI MANA?! KENAPA AKU NGG—eh, belum tahu?!”
Namira menatapnya lemas.
“Tadi malam. Di atap gedung.”
Nina membelalak.
“Kalian lagi nonton sinetron? Atau kamu nyoba cosplay Romeo-Juliet versi korporat?!”
Namira memukul pelan lengan sahabatnya.
“Serius, Na. Ini rumit.”
Nina tertawa geli.
“Rumit dari mananya, sih? Kamu ciuman sama suamimu. Kontrak atau bukan, itu tetap sah. Jadi? Enak?”
“NA!” Namira memekik.
“Ya ampun, Nam. Aku cuma tanya. Kamu tuh sekarang kelihatan kayak abis makan sambal setan. Bibirmu diem, tapi mukamu jerit-jerit!”
Namira akhirnya tertawa kecil. Tapi tawanya cepat menguap digantikan keluhan berat.
“Aku jadi canggung banget. Sejak pagi kami diem-dieman. Saling menghindar. Aku bingung... apakah itu cuma emosi sesaat? Atau... memang ada rasa itu?”
Nina menyipitkan mata.
“Kamu bertanya, karena kamu sebenarnya tahu jawabannya.”
Namira menggeleng lemah. “Aku takut.”
“Tapi kamu sudah mencium dia,” kata Nina sambil menopang dagu.
“Dari wajahmu yang meleleh kayak es krim ini, aku tahu itu bukan ciuman basa-basi.”
Namira memejamkan mata.
“Aku merasa seperti melangkah ke sesuatu yang tidak aku pahami. Sean... dia bukan dunia yang aku kenal. Tapi entah kenapa, setiap kali aku melihat dia, aku merasa... tenang. Tapi juga gelisah. Aneh, ya?”
“Tidak aneh,” jawab Nina pelan.
“Itu namanya jatuh cinta dan kamu, sahabatku yang dingin dan selalu rapi secara emosional, akhirnya tahu rasanya.”
Namira terdiam.
“Masalahnya bukan Sean. Masalahnya kamu takut mengizinkan dirimu bahagia,” lanjut Nina.
“Kamu terbiasa hidup dalam tekanan, dalam aturan keluarga, dalam ekspektasi public. Jadi saat kamu merasakan sesuatu yang nyata... kamu takut itu ilusi.”
“Aku hanya tidak mau menyakiti dia,” gumam Namira.
“Aku tidak mau dia terluka karena masuk ke lingkaran kotorku.”
Nina tersenyum tipis.
“Sayaaang, kalau Sean kuat melawan hujan, dia juga kuat melawan badai. Tapi kamu harus izinkan dia masuk. Jangan biarkan dia menunggu di luar pintumu selamanya.”
Namira menggigit bibir. “Aku harus bicara dengannya, ya?”
“Bukan harus. Tapi ingin dan kalau kamu memang mencintai dia... kejar.”
Namira menatap Nina lama.
“Terimakasih,” katanya pelan.
“Sudah tugas sahabat untuk menyentil dan mencerahkan,” jawab Nina dengan gaya dramatis.
“Sekarang ayo makan. Kalau tidak, cinta doang yang kenyang. Perutmu tetap keroncongan.”
Namira tertawa lagi dan untuk pertama kalinya hari itu, beban di dadanya sedikit terangkat.
***
Sementara itu, Sean duduk di bangku kecil di halaman rumah ibunya, menatap layar ponsel yang kosong. Jempolnya melayang di atas papan ketik, hendak mengetik sesuatu... tapi akhirnya hanya menghapusnya lagi.
Ia mengingat ciuman semalam. Bagaimana bibir Namira terasa hangat dan gugup, bagaimana matanya berkaca saat mengatakan cinta. Tapi pagi ini... semua terasa menjauh lagi.
"Nam-Nam," gumamnya pelan.
“Kenapa kamu seperti membangun jarak lagi?”
Sean mengusap wajahnya. Ia sadar, ia juga tidak cukup berani membuka semua. Masa lalunya masih dikunci rapat. Luka-lukanya belum ia tunjukkan. Ia takut bahkan jika Namira memilih bertahan, suatu saat ia tetap dianggap tidak cukup.
Tidak cukup tinggi.
Tidak cukup kaya.
Tidak cukup layak.
Namun, ada bagian dalam dirinya yang terus berkata: Kamu cukup, jika kamu berani memperjuangkannya.
Ponselnya berbunyi.
Namira.
Sean menatap layar itu selama dua detik... lalu menjawab.
“Halo?”
“Hai,” suara Namira terdengar ragu.
“Kamu sedang sibuk?”
“Tidak. Kenapa?”
“Aku bisa bicara sebentar? Tatap muka?”
Sean diam sejenak. Lalu menjawab.
“Tentu. Aku bisa ke apartemen?”
“Tidak perlu. Aku di dekat kantor. Ada taman kecil. Aku kirim lokasinya, ya?”
“Oke. Aku akan ke sana.”
Begitu panggilan ditutup, Sean berdiri. Kali ini, ia berjanji... jika Namira bicara jujur, maka ia akan membalasnya dengan keberanian.
...****************...
Saat Sean beranjak dari bangku taman, seorang pria dengan hoodie hitam memotret dari kejauhan. Di tangannya, ada kamera tersembunyi dan satu lembar foto. Foto Sean dan Namira berpelukan.
“Target terkunci,” gumamnya.
Ia mengirim foto itu ke seseorang yang namanya tertera di layar ponsel: BM.
Balasannya muncul cepat.
Tunggu perintahku. Cari tahu apapun yang bisa dijadikan senjata untuk menghancurkan kurir itu. Mulai dari sini. Ini baru permulaan.
kl kmu sayang ke Namira, kamu harus ekstra sabar dalam menyikapi Namira.