Alana tak percaya pada cinta—bukan sejak patah hati, tapi bahkan sebelum sempat jatuh cinta. Baginya, cinta hanya ilusi yang perlahan memudar, seperti yang ia lihat pada kedua orang tuanya.
Namun semuanya berubah saat Jendral datang. Murid baru yang membawa rasa yang tak pernah ia harapkan. Masalahnya, Naresh—sahabat yang selalu ada—juga menyimpan rasa yang lebih dari sekadar persahabatan.
Kini, Alana berdiri di persimpangan. Antara masa lalu yang ingin ia tolak, dan masa depan yang tak bisa ia hindari.
Karena cinta, tak pernah sesederhana memilih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Candylight_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 — Cemburu Tidak Diundang, Rasa Tidak Dipercaya
"Iya, Nisya. Cewek yang tadi pagi nganterin kita ke ruang kepala sekolah," ucap Jendral menjawab pertanyaan Aska.
Aska mengangguk, menunjukkan bahwa ia mengerti. Namun, satu hal yang tidak ia pahami—kenapa Jendral mencari perempuan itu? Bukankah perempuan yang disukai Jendral adalah si judes yang menolak mengantar mereka ke ruang kepala sekolah?
"Jadi, sekarang lo ngincernya cewek bernama Nisya itu?" tanya Aska spontan. Mahen dan Dewa hanya saling melempar pandang, menunggu Jendral menjawab.
"Apaan? Lo pikir gue semudah itu ya tertarik sama cewek? Tadi pagi gue suka Alana, terus sekarang ganti lagi gitu?" ucap Jendral, nyaris seperti sedang memprotes.
Selama ini, ia tidak pernah mudah tertarik pada perempuan. Hanya Alana yang mampu menarik perhatiannya dalam hitungan detik. Dan seharusnya, teman-temannya tahu betul hal itu.
"Ya... Lagian, kenapa lo malah nanyain Nisya?" sahut Aska, merasa dirinya tidak salah kalau berpikir ke arah sana. Soalnya, Jendral tiba-tiba saja mencari Nisya—bukan perempuan yang katanya membuatnya tertarik.
"Iya, cewek yang lo suka juga nggak ada di sini, loh. Kenapa lo nggak nyariin dia?" ucap Dewa, menimpali saat menyadari hal itu.
Raut wajah Jendral seketika berubah saat mendengar pertanyaan dari Dewa. Ia kesal dan marah jika mengingat Alana suap-suapan dengan Naresh.
"Kenapa? Apa dia udah punya cowok?" tanya Aska, menyadari sesuatu dari ekspresi wajah Jendral.
"Enggak, dia single. Tapi udah berpawang," jawab Jendral cepat.
"Hah?" Aska, Dewa, serta Mahen tampak bingung mencerna perkataan Jendral.
"Dia punya sahabat cowok, tapi gue nggak yakin mereka cuma sahabatan," jelas Jendral. Ia tidak ragu terhadap status hubungan Alana dan Naresh, tetapi terhadap perasaan yang ada di hati masing-masing. Bisa saja mereka mengaku sahabatan, tetapi sebenarnya saling menyimpan rasa.
"Terus, lo mau nyerah?" pancing Mahen. Ia perlu tahu hal itu karena sekarang Jendral malah berusaha mendekati perempuan lain yang menarik perhatiannya di sekolah baru mereka.
Bukan hanya Jendral yang tertarik pada murid di SMA Negeri Bina Cita Mandala ini, Mahen pun memiliki ketertarikan yang sama pada salah satu murid. Namun, Mahen belum terang-terangan mengatakannya karena masih perlu memastikan isi hatinya.
"Nyerah nggak ada di kamus gue," ucap Jendral yakin. Bukan Jendral namanya jika menyerah begitu saja hanya karena perempuan yang disukainya dekat dengan lelaki lain.
"Terus, soal Nisya?" pancing Mahen lagi.
"Nisya itu cuma teman, dan kayaknya dia tahu banyak soal Alana," jelas Jendral.
Mahen mengangguk, mengerti. Ada kelegaan dalam hatinya saat mengetahui bahwa Jendral menganggap Nisya hanya sebatas teman.
"Kenapa, Hen? Tumben lo penasaran gitu," Dewa ikut nimbrung, menyadari ada sesuatu dari wajah Mahen saat mengetahui Jendral menganggap Nisya teman.
"Jangan bilang lo suka sama si Nisya-Nisya itu lagi?" sambungnya.
Jendral menatap Mahen, menunggu Mahen menjawab. Begitu pula Aska dan Dewa. Mereka penasaran apakah benar akhirnya lelaki seambis Mahen kepikiran untuk jatuh cinta.
"Gue cuma nanya, emang gue salah?" Mahen tidak membenarkan, namun tidak menyangkal. Membuat ketiga temannya curiga.
"Enggak salah sih," Dewa mewakili teman-temannya menjawab.
"Tapi kalau emang bener lo suka sama Nisya, unik juga selera lo," timpal Aska.
"Jangan ngehina teman gue!" ucap Jendral memberikan peringatan. Ia tidak memiliki ketertarikan pada Nisya, tetapi ia tidak suka ada yang terkesan menghina Nisya. Terlebih orang itu adalah anggota gengnya sendiri.
"Anjir, seriusan? Teman banget nih?" tanya Dewa, merasa aneh Jendral membela seseorang yang diakui teman selain mereka, anggota gengnya.
"Emang dia teman gue." Ucap Jendral enteng, lalu mengambil tempat duduk kosong di samping Mahen.
"Satu-satunya cewek yang menarik perhatian gue di sekolah ini cuma Alana." Tegasnya, secara tidak langsung mengatakan supaya Mahen tidak khawatir jika memang Mahen memiliki ketertarikan pada Nisya.
"Oke, noted! Cuma Alana!" ucap Dewa kepada teman-temannya sambil menganggukkan kepalanya.
"Oh ya, lo belum jawab tadi. Lo nggak nyari Alana?" tanya Dewa, mengalihkan pembicaraan.
"Dia lagi istirahat di kelas," Jendral menghela napas panjang. Bayangan saat Alana dan Naresh suap-suapan kembali terlintas dalam pikirannya.
"Ternyata dia nggak suka ke kantin karena sahabat cowoknya bawain bekal," jelasnya, yang membuat teman-temannya saling menatap tanpa mengatakan apa-apa.
Sepertinya perjuangan cinta Jendral kali ini berat. Ada orang lama yang selalu ada di samping sang pujaan hati, dan sepertinya posisi itu sulit digeser.
***
Jendral kehilangan selera makan setelah melihat Alana makan bersama Naresh. Di kantin, ia hanya memesan segelas es americano dan langsung kembali ke kelas setelahnya. Beruntung, saat itu Naresh sudah pergi dan hanya ada Alana di kelas.
"Sudah selesai makan-makannya?" tanya Jendral seperti seseorang yang sedang menginterogasi pacarnya setelah melihat pacarnya berselingkuh.
Alana hanya menoleh sekilas pada Jendral, tanpa mengatakan apa-apa. Ia tidak merasa memiliki kewajiban untuk menjawab pertanyaan Jendral.
"Enak ya, makan sambil suap-suapan?" tanya Jendral lagi karena belum menerima jawaban.
Alana memutar bola matanya dengan malas. Ia tidak tahu maksud dari perkataan Jendral—memangnya, apa urusannya itu dengan Jendral?
"Gue nggak ngerti yang lo omongin," ucap Alana tanpa menatap Jendral yang sedang berdiri di dekat mejanya.
Jendral yang mendengar itu terkekeh. Ternyata, perempuan di depannya tidak peka jika dirinya sedang cemburu.
"Lain kali, kalau mau suap-suapan, jangan di depan gue dong. Gue iri soalnya," ucap Jendral akhirnya.
"Lo bisa suap-suapan sama Nisya kalau lo mau," balas Alana. Ia biasanya tidak pernah tertarik menanggapi ocehan orang, tetapi entah kenapa dengan Jendral berbeda—seperti ada sesuatu yang mendorongnya untuk bicara.
Jendral menyipitkan mata mendengarnya. Ia tidak mengerti mengapa Alana menyuruhnya suap-suapan dengan Nisya, padahal sudah jelas bahwa perempuan yang ia sukai adalah Alana, dan ia juga telah menunjukkannya di depan Alana.
"Lo nyuruh cowok yang suka sama lo suap-suapan sama cewek lain?" tanya Jendral, tidak menyangka.
Alana mendecih, lalu menatap Jendral seolah meremehkan pernyataan barusan. Dalam hatinya, ia mulai berpikir bahwa Jendral mungkin memang tipe lelaki yang mudah menyukai banyak perempuan—seperti Papahnya.
"Lo suka sama gue?" tanyanya dengan nada yang nyaris tidak percaya.
Jendral merasa sedikit tersinggung dengan reaksi Alana. Ini pertama kalinya ada perempuan yang berekspresi seperti itu saat dirinya menyatakan perasaan.
"Jangan terlalu mudah menyimpulkan perasaan suka sama orang," ucap Alana mengingatkan. Ia sama sekali tidak mempercayai perasaan Jendral terhadapnya.
"Terus menurut lo, perasaan gue ke elo bukan suka, gitu?" tanya Jendral. Nadanya terkesan memprotes Alana yang tidak mempercayai perasaannya.
"Ya, mungkin," jawab Alana, lalu mengalihkan pandangan dari Jendral. Tangannya entah kenapa bergetar karena perdebatan mereka itu.
"Lebih baik lo duduk, sebentar lagi bel masuk," sarannya.
Jendral mengepalkan tangannya. Ia tidak suka dengan perasaan tidak dipercaya orang lain terhadap dirinya, terlebih jika orang itu adalah Alana.