Naila baru saja turun dari bus dari luar pulau. Ia nekat meninggalkan keluarga karena demi menggapai cita-cita yang terhalang biaya. Naila lulus jalur undangan di sebuah kampus negeri yang berada di ibu kota. Namun, orang tuanya tidak memiliki biaya hingga melarangnya untuk melanjutkan pendidikannya hingga memaksanya menikah dengan putra dari tuan tanah di kampung tempat ia berasal.
Dengan modal nekat, ia memaksakan diri kabur dari perjodohan yang tak diinginkan demi mengejar mimpi. Namun, akhirnya ia sadar, biaya perguruan tinggi tidak bisa dibayar hanya dengan modal tekad.
Suatu saat Naila mencari pekerjaan, bertemu dengan balita yang keluar dari pekarangan tanpa penjagaan. Kejadian tak terduga membuat ia bekerja sebagai pengasuh bagi dokter tampan yang ditinggal mati oleh istri yang dicintainya.
#cintaromantis #anakrahasia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Bukan Tempat untuk Pulang
Wanita berusia lebih dari empat puluh tahun itu melangkah perlahan ke sudut belakang rumah. Ia melirik sekeliling, memastikan tak ada yang melihat, lalu meraih ember berisi air kotor bekas pel yang terlupa dibuang oleh Naila. Wajahnya menegang, matanya menyipit penuh kemarahan.
“Rasakan!” desisnya penuh dengki.
Byuuuurrr!
“Aaaahh!” teriak Naila spontan. Tubuhnya yang tadinya membungkuk mengucek pakaian kini terangkat berdiri karena kaget. Ia menoleh cepat ke arah suara cipratan dan menemukan sosok wanita dengan tatapan membara.
“Ke-kenapa saya disiram, Bu?” tanyanya gugup, tubuhnya basah kuyup oleh air yang mengandung bekas karbol dan kotoran pel lantai itu.
"Ngapain lu di sini?" bentak wanita itu garang. Ia melangkah mendekat, mendorong bahu Naila hingga gadis itu sedikit tersurut ke belakang.
Dengan kasar, ia menunduk dan mengaduk baskom cucian Naila. Air kotor yang tadi disiramkan kini mengotori seluruh cucian yang ada, meninggalkan noda dan busa hitam pekat.
"Lu merusak pakaian tuan dan nyonya! Ini nggak bisa dibiarkan! Gue kadukan ke nyonya!" Ia berbalik hendak masuk ke dalam rumah dengan langkah cepat dan suara sandal jepitnya yang menampar lantai dengan keras.
Namun, Naila mencoba mencegahnya. "Bukankah Ibu yang menyiramkan air itu? Kenapa saya yang disalahkan?" tanyanya lirih, nyaris seperti bisikan.
Wanita itu tak menjawab. Sebagai gantinya, ia kembali mendorong tubuh Naila dengan keras hingga gadis itu hampir terjatuh. Naila menggigit bibirnya, menahan air mata dan rasa sakit yang mendera.
Dengan sabar, ia bergerak cepat mengganti air dalam baskom dan mencoba menyelamatkan pakaian yang masih bisa dicuci ulang.
Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki terdengar dari dalam rumah. Wanita yang menyiram Naila telah membawa serta seorang perempuan yang tak asing. Inilah wanita yang semalam diperkenalkan oleh Pak Nugraha sebagai istrinya.
"Itu dia, Nyah. Gadis kampung itu udah ngerusak pakaian semua penghuni keluarga ini. Sungguh kurang ajar sekali dia!" hasutnya tajam menatap Naila daru sudut mata.
Begitu pula dengan, Inge, sang nyonya rumah, turut menatap Naila dengan sudut mata sinis. Tatapannya persis sama seperti tadi malam—dingin dan tak bersahabat. "Apa yang kamu lakukan?" tanyanya dengan suara sumbang yang membuat udara terasa lebih berat.
"Ma-maaf, Bu. Saya hanya berniat mencucikan pakaian-pakaian kotor ini," jawab Naila pelan sambil menunduk.
"Siapa yang menyuruhmu melakukannya?" Inge semakin meninggikan suara.
Naila menggeleng cepat. “Saya hanya ingin membantu, Bu… sebagai tanda terima kasih karena sudah diizinkan menginap di sini.”
“Katakan yang keras! Kalau bisik-bisik begitu, telinga saya nggak nyampe!” bentaknya tajam.
Di sisi lain, wanita yang menyiram Naila menyeringai penuh kemenangan. “Mampos!” gumamnya penuh puas.
"Sa-saya—"
"Ada apa ribut-ribut?" Pak Nugraha tiba-tiba muncul dari balik pintu. Tatapannya segera beralih dari wajah istrinya ke Naila, yang terlihat kebingungan dan basah kuyup.
"Ini lhoh, Pa! Anak yang Papa bawa tadi malam! Udah bikin kotor semua cucian! Lihat ini, baju kita kayak abis dicelup comberan!" terang Inge penuh emosi sambil menunjuk baskom cucian.
Pak Nugraha mengerutkan kening. "Mah, kamu jangan begitu. Naila pasti nggak sengaja. Lagian, kenapa bisa basah begini? Siapa yang menyuruhnya mencuci pakaian?"
"Jadi Papa nuduh Mama?" Inge membelalakkan mata menantang.
"Ma, kamu tidak boleh begitu! Saya ini suami kamu!" suara Pak Nugraha meninggi. Inge langsung tersentak. Raut wajahnya berubah—terkejut dan tak menyangka akan dibentak di depan orang lain.
Inge yang kesal spontan memukul lengan Sumi, si pembantu. "Kamu sih?"
Pak Nugraha menghela napas berat. "Sum, kamu harus tahu. Saya yang membawa Naila ke sini. Dia tamu. Dalam Islam, tamu itu mulia, harus dihormati. Menerima tamu adalah bagian dari iman. Kalau kamu masih menghasut istri saya begini, jangan salahkan kalau saya cari pengganti kamu."
Sumi terdiam. Matanya menyipit menahan amarah.
---
Naila duduk termenung di sudut kamar kecil tempat ia beristirahat. Pakaian yang dikenakannya kini adalah milik anak Pak Nugraha yang sudah lama tak dipakai. Rambutnya masih basah, wajahnya terlihat murung.
“Sepertinya aku nggak bisa tinggal di sini,” gumamnya lirih. “Tapi aku juga nggak tahu harus ke mana. Uang pun tak punya. Untuk sekadar menyewa kamar pun aku tak sanggup.”
Ia merapikan map berisi dokumen penting. Tekadnya sudah bulat: ia akan pergi. Tak ingin menambah beban siapa pun. Apalagi jika keberadaannya hanya menjadi sumber masalah.
Namun, saat ia pamit, Pak Nugraha mencegahnya. “Kenapa buru-buru?”
“Tidak apa, Pak. Terima kasih sudah menampung saya meski saya hanya orang asing. Saya doakan semoga keluarga Bapak selalu diberkahi dan dilimpahi rezeki tanpa batas,” ucapnya tulus.
Pak Nugraha menatapnya dengan iba. Ia paham, Naila sudah lelah. Matanya kemudian melirik istrinya yang masih tertawa kecil dengan Sumi. Hatinya mengeras.
“Vini! Vini!” serunya ke lantai atas.
“Iya, Pa?” sahut putrinya dari lantai dua.
“Keluarkan baju-baju kamu yang nggak dipakai. Berikan ke Naila.”
“Hah? Kan udah tadi, Pa. Kenapa lagi?”
“Nggak usah, Pak,” tolak Naila buru-buru. “Ini sudah lebih dari cukup.”
“Tapi kamu akan butuh banyak, Nai. Ambil saja, daripada mubazir.”
“Cepat ambilkan!” titah Pak Nugraha.
Vini menghela napas kasar. “Ck!” Ia beranjak malas dengan wajah kesal.
Beberapa menit kemudian, Naila telah siap dengan tas dan pakaian tambahan. Pak Nugraha menyerahkan sebuah amplop ke tangannya.
“Kalau kamu butuh bantuan, hubungi saya. Nanti kita juga akan sering ketemu di kampus.”
“Sudah saya catat, Pak. Jika saya sudah punya handphone, Bapak akan jadi orang pertama yang saya hubungi,” jawab Naila tulus.
Saat ia berjalan menjauh dari rumah besar itu, langkahnya terasa ringan walau hatinya masih bimbang.
“Hei! Anak tengil!” suara lantang membuat Naila menoleh. Ternyata Bu Inge dan Sumi mengejarnya.
“Ada apa, Bu?” tanyanya heran.
Inge menengadahkan tangan. “Mana?”
“Maaf, apa ya, Bu?”
“Amplop dari suami saya!”
Naila buru-buru menyentuh saku celananya. “I-ini...”
Sebelum sempat menyerahkan, Inge langsung merogoh paksa saku Naila dan merampas amplop itu.
Namun tiba-tiba, suara berat menghentikan mereka.
“Ada apa di sini?” Seorang pria muncul.
“Dokter Martin?” Inge membelalak, namun tetap menggenggam amplop erat.
“Mama…” tiba-tiba gadis kecil memeluk kaki Naila.
“Rindu?”
“Bu Inge, ada apa ini?” tanya Martin.
“Ah, nggak apa-apa, Dok. Cuma masalah kecil,” elaknya cepat. Namun tangannya dengan kasar mengeluarkan uang dari dalam amplop.
“Buat kamu, cukup segini!” ujarnya ketus dan meninggalkan tempat itu sambil cengengesan.
“Mama, mama, Lindu kangen…” gumam gadis kecil di pelukan Naila.
Martin mengernyit. Tatapannya tajam, penuh tanda tanya.
“Rindu, dia bukan mama kamu,” ucap Inge sambil berlalu meninggalkan mereka setengah mencibir pada Naila.