NovelToon NovelToon
Untuk Aldo Dari Tania

Untuk Aldo Dari Tania

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Ketos / Diam-Diam Cinta / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:466
Nilai: 5
Nama Author: Aisyah A

Berawal dari pertemuan singkat di sebuah mal dan memperebutkan tas berwarna pink membuat Aldo dan Tania akhirnya saling mengenal. Tania yang agresif dan Aldo yang cenderung pendiam membuat sifat yang bertolak belakang. Bagaikan langit dan bumi, mereka saling melengkapi.

Aldo yang tidak suka didekati Tania, dan Tania yang terpaksa harus mendekati Aldo akhirnya timbul perasaan masing-masing. Tapi, apa jadinya dengan Jean yang menyukai Aldo dan Kevin yang menyukai Tania?

Akhirnya, Aldo dan Tania memilih untuk berpisah. Dan hal itu diikuti dengan masalah yang membuat mereka malah semakin merenggang. Tapi bukan Aldo namanya jika kekanak-kanakan, dia memperbaiki semua hubungan yang retak hingga akhirnya pulih kembali.

Tapi sayangnya Aldo dan Tania tidak bisa bersatu, lantaran trauma masing-masing. Jadi nyatanya kisah mereka hanya sekadar cerita, sekadar angin lalu yang menyejukkan hati.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ya Sudah

"Aldo, tunggu! Gue ikut!"

Tania berlari turun lalu mengejar langkah Aldo.

"Aldo! Aldo, gue ikut!" Tania berteriak di belakang Aldo saat dia bisa menyeimbangkan langkah pria itu.

"Aldo! Gue nebeng pulang sama lo," teriak Tania tapi tidak ada respons dari Aldo.

"Aldo!" bentak Tania.

Kesal karena Aldo tidak memberikan respons padanya membuat dia mengumpat kesal dan memukul belakang kepala Aldo dengan aqua botol yang dibuang sembarangan.

Bugh!

"Awh!" Aldo meringis kesakitan. Dia menoleh ke belakang. "Kenapa lo pukul kepala gue?" tanya Aldo seraya mengelus belakang kepalanya yang terasa nyeri.

"Lo kenapa nggak noleh ke gue?" tanya Tania.

Alih-alih merespons, Aldo justru berjalan menuju mobilnya membuat Tania mengumpat kesal dan menyusul pria itu. "Aldo!"

"Aldo, gue mau pulang bareng lo," ujar Tania menghentikan gerakan Aldo membuka pintu mobil.

"Katanya lo nggak mau pulang bareng gue," ujar Aldo.

"Tapi 'kan lo disuruh kak Kevin buat nganterin gue pulang," ujar Tania.

Aldo menghela napas panjang Benar-benar harus punya kesabaran dan kekuatan ekstra menghadapi Tania. "Dia juga kasih pilihan ke lo mau pulang sama gue atau enggak."

"Ya, gue mau pulang sama lo. Pokoknya gue mau pulang sama lo!" Tania mengotot membuat urat di lehernya begitu jelas berwarna hijau.

Aldo mendengus. "Masuk," katanya ketus seraya membuka pintu mobil.

Tania tersenyum senang, usahanya tidak sia-sia memaksa Aldo. Dia membuka pintu mobil lalu duduk di kursi penumpang depan.

...******...

Seharusnya Aldo menolak paksa Tania untuk jangan pulang bersamanya. Ini adalah kesalahan Aldo yang paling fatal dan terparah, dia tidak akan melupakan suatu kejadian di mana dia telah mengambil keputusan yang salah. Pasalnya, semenjak Tania masuk ke dalam mobilnya lalu mengutak-atik suhu AC lalu berceloteh tidak jelas membuat Aldo hanya bisa berdecak sebal ribuan kali.

Semua orang mungkin tahu apa jadinya jika membalas setiap ucapan Tania. Gadis itu tidak ingin kalah dalam hal berbicara.

"Lo ngapain, sih?" tanya Aldo kesal karena Tania mengutak-atik dashboardnya.

"Gue lagi cari sesuatu, kali aja ada yang bisa gue makan," ujar Tania.

Aldo mendengus kesal. Dia meletakkan permen karet di depan mata Tania membuat wajah gadis itu berbinar cerah.

"Ini buat gue?" tanya Tania menunjuk permen karet.

"Hm."

"Ini serius masih baru, 'kan? Nggak lo ambil dari sampah atau di jalanan, 'kan?" tanya Tania beruntun.

"Enggak," jawab Aldo.

"Oke." Tania membuka permen karet itu dan langsung memasukkannya ke dalam mulut, mengunyahnya dan merasakan sensasi manis.

Aldo harap dengan adanya sesuatu di dalam mulut Tania, gadis itu akan berhenti berceloteh. Tapi sayangnya, itu adalah awal di mana energi Tania terisi penuh.

"Gue mau tanya sama lo," ujar Tania.

"Gue nggak mau jawab pertanyaan lo," balas Aldo cepat.

Tania berdecak sebal. "Pokoknya lo harus jawab. Kenapa lo bawa mobil ke sekolah, kenapa nggak motor aja?" tanya Tania.

Aldo diam. Tidak berniat menjawabnya, karena dia tahu kalau dia menjawabnya Tania akan memecah pertanyaan itu menjadi layaknya rentetan gerbong kereta.

"Aldo, jawab!" tuntut Tania.

Aldo mendengus kesal. "Kenapa lo ngotot minta gue anterin pulang?" tanya Aldo balik.

"Biar gue irit ongkos," jawab Tania.

"Kenapa lo nggak bawa kendaraan sendiri?" tanya Aldo.

"Mama sayang sama gue, dia nggak mau anak semata wayangnya terluka," jawab Tania menatap pria itu dari samping.

"Aldo," panggil Tania.

"Apa?"

"Kenapa lo bawa mobil ke sekolah?" tanya Tania lagi.

"Lo kepo banget sih, nggak ada gunanya juga gue kasih tahu lo," ujar Aldo.

"Ada," jawab Tania.

"Gue nggak mau dengar jawaban lo," ujar Aldo mengurungkan niat Tania yang hendak membuka mulut.

"Gue nggak mau lihat muka lo," ujar Tania.

"Kenapa? Gue terlalu ganteng ya sampai buat lo deg-degan," ujar Aldo.

Sontak Tania memukul lengan Aldo. "Enggak, enak aja. Gue enggak suka sama lo."

"Siapa juga yang suka sama cewek kayak lo," ujar Aldo.

"Kak Kevin suka sama gue," ujar Tania dengan raut wajah menahan kesal.

"Pret! Buka mata lo oy, udah siang. Dia itu hanya nganggap lo sebagai adik kelas, enggak lebih," jelas Aldo.

"Sok tahu, emang lo tahu perasaannya dia kayak gimana ke gue?" tanya Tania.

Aldo menoleh pada Tania. "Lo suka sama dia?"

"Kalau iya, kenapa?" tanya Tania menantang.

Aldo terkekeh geli. "Kalau iya, gue saranin lo harus cari yang lain deh. Dia nggak akan mungkin suka sama lo. Dan kalaupun lo nembak dia duluan, lo bakal ditolak mentah-mentah. Jadi gue saranin cari yang lain," jelas Aldo.

Tania mengerucutkan bibirnya. "Lo ngeselin banget ya," ujar Tania.

"Kalau gue ngeselin harusnya lo jauh-jauh dari gue," ujar Aldo.

"Lo ngarep gue deket-deket sama lo," ujar Tania.

"Enggak," jawab Aldo enteng.

"Iya udah mulai besok jauh-jauh," ujar Tania melipat tangan di depan dada.

"Iya udah."

"Ya udah."

"Ya udah."

"Ih, Aldo ngeselin!" ujar Tania seraya memukul-mukul lengan Aldo saking kesal dan saking gemasnya.

Bukannya marah Aldo justru terkekeh geli melihat Tania dengan wajah merahnya.

Baru kali ini Tania dikalahkan oleh seseorang saat berdebat. Biasanya sang lawan yang akan mengalah. Tapi kali ini, sang lawan justru mengalahkannya.

...******...

Mobil Aldo masuk ke pekarangan rumah megah Tania setelah memasuki gang. Sebetulnya gangnya tidak terlalu sempit, dan gang itu menghubungkan dengan jalan raya. Hanya saja jarang ada kendaraan umum seperti angkot yang melintas membuat Tania terpaksa turun di depan gang jika dia naik angkot.

Tania membuka pintu mobil kasar lalu menutupnya kasar pula.

Aldo membuka kaca mobil. "Terima kasih sudah menumpang," ujarnya tersenyum geli.

Tania menoleh tajam. "Sama-sama," katanya lalu mengentakkan kaki masuk ke dalam rumah.

Aldo menggelengkan kepala seraya terkekeh. Dia menutup kaca mobil lalu menjalankan mobilnya menuju rumah sakit tempat Jean dirawat.

...******...

Tania membuka pintu kamar kasar lalu membanting tasnya ke atas kasur. Dia merasa kesal pada Aldo saat ini. Bagaimana bisa Aldo membuatnya kalah dalam berkata-kata.

"Aldo nyebelin," gerutunya kesal di depan cermin.

"Awas aja, gue bakal buat lo menderita!" ucapnya tegas di depan cermin.

Dan, Tania mulai mengibarkan bendera perang pada Aldo.

...******...

Aldo memarkirkan mobilnya di parkiran rumah sakit. Dia lantas berjalan memasuki rumah sakit lalu berjalan menuju kamar inap Jean. Pria itu membuka pintu kamar inap Jean membuat gadis itu menoleh padanya dengan ekspresi terkejut.

"Aldo, kok lo ke sini? Bukannya ada rapat?" tanya Jean.

Aldo hanya tersenyum lalu duduk di samping Jean. "Kak Kevin izinin gue. Gue nggak mungkin biarin lo sendirian di sini," ujar Aldo.

Jean menghela napas. "Ya ampun, Aldo, enggak gitu juga. Gue berani sendirian."

Aldo menggeleng lalu mengelus punggung tangan Jean yang terasa halus. "Gue nggak akan biarin lo sendirian, gue akan selalu ada buat lo," ujar Aldo tersenyum manis.

Jean balas tersenyum. Aldo orang yang sangat perhatian padanya. Kalau ada pertanyaan siapa yang paling Jean sayang dan ingin dia banggakan, jawabannya adalah Aldo. Terkadang Jean harus melakukan sesuatu yang terkesan agar membuat Aldo tersenyum. Jean menyayangi Aldo lebih dari dia menyayangi orang tuanya.

"Eh, lo udah makan?" tanya Aldo.

Jean mengangguk manis. "Iya, tadi waktu gue keluar cari makan ada ibu-ibu yang nolongin gue waktu gue hampir jatuh. Terus kita makan bareng," jelas Jean.

"Lo jatuh? Apa yang sakit? Di mana? Kenapa bisa?" tanya Aldo beruntun.

"Nggak usah lebay, Do. Gue cuman hampir jatuh, untung aja ada ibu-ibu baik."

Aldo bernapas lega. "Syukurlah, siapa nama ibu-ibu itu?"

"Namanya tante Mila, orangnya baik dan perhatian." Jean menerawang kejadian tadi. Dia jadi merindukan orang tuanya. "Coba aja mama sama papa lebih perhatian ke gue, gue enggak bakal—" Jean tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Dia tersenyum menatap Aldo dengan mata memanas.

Aldo paham dan mengerti betul perasaan Jean. Dia bangkit berdiri lalu memeluk Jean, memberikan kekuatan dengan mengelus punggung gadis itu. "Masih ada gue, gue bakal selalu ada buat lo. Gue janji nggak akan hilang."

Jean mengusap air matanya yang turun. Dia menatap Aldo setelah pria itu melepaskan pelukannya. "Makasih."

"Sama-sama. Eh, kantung mata lo jadi item kalau lo nangis. Entar kayak panda."

"Apaan sih, enggaklah."

"Serius, coba lo lihat di kaca. Entar lo bakal lihat putri dengan kantung mata hitam."

"Ih Aldo!"

Jean tersenyum kembali dan itu karena Aldo. Aldo sudah berjanji akan terus membuat Jean tersenyum. Dan janji itu akan dia tepati sampai kapan pun.

...******...

Saat Aldo sudah bisa membawa Jean pulang dan mobilnya terparkir di depan pekarangan rumahnya sendiri. Dia mengerutkan kening saat mobil lainnya terparkir di bagasi, dia lantas mengembuskan napas kasar lalu berjalan memasuki rumahnya.

Benar dugaannya. Saat dia membuka pintu kamarnya dan melihat keadaan kamarnya begitu berantakan karena dua orang yang menjadi sorotannya sedang bermain PS.

"Lo berdua punya rumah sendiri, 'kan?" tanya Aldo.

Bima dan Nico sontak menjawab bersamaan. "Iya."

"Kenapa nggak di rumah sendiri?" tanya Aldo lagi.

Bima dan Nico memberhentikan permainan mereka lantas langsung meloncat di atas kasur empuk Aldo membuat pria itu mendengus kesal.

"Kita itu ke sini ada tujuannya," ujar Bima.

"Apa? Main PS?" tanya Aldo seraya membuka seragamnya dan memperlihatkan kaus putih polos sebagai dalamannya.

Sontak Nico menarik tubuh Aldo untuk ikut gabung bersama mereka duduk di atas kasur. "Lo tahu nggak pas rapat tadi?"

"Apa?" tanya Aldo.

"Pembina udah ACC kita sebagai calon ketua dan wakil ketua OSIS," ujar Nico.

"Terus?" tanya Aldo.

"Kabar baiknya lagi, dia terkagum-kagum sama visi misi kita," ujar Nico.

Aldo hanya mengangguk paham lalu melepaskan tangan Nico yang menggelayut di bahunya. "Syukurlah."

"Dan besok lo harus persiapkan semuanya," ujar Nico.

Aldo mengerutkan kening tidak paham. "Persiapkan apa?"

"Besok udah mulai kampanye!" sorak Nico lalu tos ria bersama Bima yang ikut-ikutan bersorak.

Aldo terkejut. "Apa? Besok?"

Nico mengangguk mantap. "Iya, Do."

"Bukannya tiga hari lagi?" tanya Aldo.

Bima berdecak sebal. "Lo itu harusnya bersyukur, Do, itu karena pembina suka sama visi misi semua calon kandidat dan memutuskan untuk mempercepat kampanye," jelas Bima. "Dan lo tenang aja, gue udah persiapkan sesuatu saat lo berdua mulai sesi debat minggu depan," lanjut Bima dibalas acungan jempol dari Nico.

Lain halnya dengan Aldo yang menunjukkan ekspresi tidak paham. "Apaan?"

Bima beranjak turun dari kasur lalu mengeluarkan gulungan kertas karton dari dalam tasnya. "Taraaaa!" Dia membuka gulungan kertas itu memperlihatkan sebuah tulisan besar.

Ayo! Dukung Aldo dan Nico sebagai pemimpin kita demi kesejahteraan sosial!

Aldo sungguh takjub dan tidak paham luar biasa dengan jalan pikir temannya yang satu ini. Aldo menepuk jidatnya. "Lo ngapain buat kayak gituan?"

"Gue yang suruh. Biar kelihatan keren," ujar Nico mengangkat dua jempol.

Aldo menghela napas pasrah. "Ya ampun."

"Udah deh ya. Gue mau setelah lo dan Nico terpilih, lo berdua harus singkirkan manusia berspesies seperti Tania," ujar Bima.

"Setuju!" timpal Nico.

"Spesies manusia yang ingin benar sendiri, yang suka melakukan hal yang tidak berfaedah dan suka membuat orang kesal. Betul Nico?" tanya Bima melirik Nico dengan tatapan tajam.

"Betul!" timpal Nico.

Aldo lagi-lagi menepuk jidatnya. "Lo berdua apaan, sih?" tanya Aldo meminta penjelasan. Bagaimana bisa dia mengenal spesies manusia seperti Bima dan Nico yang membuatnya kesal.

"Bukan apa-apa, hanya bentuk dukungan sebagai sahabat yang baik," ujar Bima.

"Iya, udah lo sana mandi. Habis itu kita rumuskan strategi kampanye buat besok!" ujar Nico penuh semangat.

"Setuju!" timpal Bima tak kalah semangatnya.

Aldo menatap Bima dan Nico dengan tatapan pasrah. Sekali lagi dia mengembuskan napas melihat aksi dua temannya ini yang sudah kelewat waras. Dia berjalan lunglai menuju kamar mandi. Sayangnya telinganya tidak bisa ditulikan saat dua orang yang sedang duduk di atas kasurnya itu menggunjingkan Tania. Gadis yang sangat agresif!

...*****...

Benar apa kata Bima. Tania suka melakukan hal yang tidak bermanfaat sama sekali, buktinya sekarang dia sedang memotong-motong kertas hingga mengecil lalu memasang-masangkannya kembali layaknya sebuah puzzle. Melakukan hal itu saja membutuhkan konsentrasi ekstra dan ketelitian ekstra. Matanya begitu fokus tak teralihkan sama sekali.

Mila membuka pintu kamar Tania dan menemukan anaknya sedang berkutat di atas meja belajar. Dia pikir Tania sedang belajar. Tapi setelah didekati mampu membuat senyum yang niatnya untuk pujian itu berubah menjadi kerucutan bibir karena Tania sama sekali tidak belajar.

"Tania! Kamu lagi apa?" tanya Mila terkejut.

Tania mendesis dan berdecak sebal karena Mila telah mengganggu konsentrasinya. "Aduh Mama, Tania lagi belajar konsentrasi," ujar Tania kesal.

"Kamu ngapain buang-buang buku, Tania?" tanya Mila tidak habis pikir.

Bukannya menjawab, Tania justru sedang beradaptasi fokus membuat Mila hanya bisa menghela napas berat. Punya anak begini amat.

"Tania, stop lakukan hal yang nggak berguna, sayang," ujar Mila dengan nada halus.

"Ini berguna kok, setidaknya konsentrasi Tania akan naik satu persen," ujar Tania.

Mila menepuk jidatnya lalu mendesah pasrah. "Udah deh, buang kertas-kertasnya habis itu turun," perintah Mila.

"Dikit lagi," ujar Tania.

"Nggak ada! Turun atau uang jajan kamu mama potong!" tekan Mila.

Tania berdecak sebal. "Ah, Mama ancamannya klise banget. Aku tahu Mama nggak akan tega potong uang jajan aku," ujar Tania.

Sudah habis kesabaran Mila untuk menghadapi Tania yang keras kepala. Kalau dia mengomeli Tania maka dia sendiri yang akan lelah. Bukannya gadis itu mengerti malah membuatnya tersiksa diri.

Mila menghela napas pasrah. "Terserah kalau kamu nggak mau temuin Kevin yang mau ngajak kamu makan."

Ucapan Mila yang itu jelas membuat Tania berjingkrak berdiri dan menghadap Mila dengan wajah berbinar cerah. "Apa? Kak Kevin ada di luar?" tanyanya tidak percaya.

Mila menurunkan tangan Tania yang berada di pundaknya. "Iya, katanya mau ngajak kamu makan. Tapi kalau kamunya nggak mau ya—"

"Tania mau!" potong Tania cepat. "Bilangin sama dia kalau aku lagi siap-siap!" ujar Tania dengan penuh semangat.

Mila menghela napas. "Iya udah cepetan, dia nungguin kamu."

Tania bersorak-sorai. Akhirnya dia makan malam bersama Kevin di luar. Membayangkannya saja sudah mengasyikkan, apalagi jika itu benar terjadi. Tapi, sebentar lagi juga terjadi.

Setelah Mila keluar dari dalam kamarnya dengan cepat Tania mengeluarkan seisi lemarinya tanpa peduli jika nanti Mila memarahinya habis-habisan.

...******...

Mila turun dari undakan anak tangga lalu duduk bersama Kevin.

"Tunggu ya, Tania lagi siap-siap," ujar Mila.

"Iya, Tante, nggak apa-apa," ujar Kevin.

"Kamu kok tumben ngajak Tania makan, memangnya kamu lagi nggak sibuk?" tanya Mila.

"Iya, lagi ada waktu luang juga. Jadi aku mau ngajak Tania makan, mama juga lagi nggak masak di rumah," ujar Kevin.

"Oh. Eh, tante mau tanya dong Tania di sekolah kayak gimana?" tanya Mila.

Kevin terkekeh. "Tante kayak nggak tahu aja Tania kayak gimana," ujar Kevin.

Mila menepuk jidatnya. "Ampun ya anak itu, tante aja kalau di rumah sering kesal sama dia," ujar Mila.

"Tapi Tante tenang aja, selagi ada aku Tania aman kok," ujar Kevin meyakinkan.

Mendengarnya membuat Mila terharu. Dia memegang tangan kekar Kevin seraya menatapnya penuh haru. "Makasih ya, Vin. Tante nggak tahu lagi harus hadapin Tania kayak gimana, cuman sama kamu dia nurut. Tante benar-benar makasih karena udah mau temenin Tania, makasih ya," ujar Mila mendramatisir keadaan.

"Iya, Tante, santai aja," ujar Kevin seraya mengangguk.

"Iya, tante panggil Tania dulu. Lama banget dia." Baru saja Mila hendak mengangkat bokong tapi suara nyaring lebih dulu terdengar.

"Tania yang cantik udah siap!"

Sontak Mila dan Kevin sama-sama menatap cengo Tania. "Lho, kok udah siap aja?" tanya Mila.

"Iya dong, ngapain lama-lama," ujar Tania. Dia melirik Kevin. "Ayo, Kak, mau ajak gue makan, 'kan?" tanya Tania percaya diri.

Kevin bangkit berdiri lalu mengangguk. "Iya."

"Iya udah, ayo," ujar Tania.

Kevin menatap Mila lalu menyalami tangan Mila. "Kami berangkat ya, Tante."

"Iya. Hati-hati, ya," ujar Mila.

"Iya, Tante."

Giliran Tania yang sekarang menyalami tangan Mila. "Tania pesan jangan buka kamar sebelum Tania pulang ya, Ma," ujar Tania.

Sontak Mila segera melotot tajam. Sudah tahu pasti apa yang terjadi di kamar putri semata wayangnya itu.

Tania tersenyum manis. "Assalamualaikum, Mama."

"Walaikumsalam," jawab Mila.

"Ayo, Kak."

Kevin dan Tania keluar dari dalam rumah. Kevin jadi merasa bersalah, seharusnya dia mengabari Tania dulu sebelum apa-apa. Kevin sendiri sudah bisa menebak kalau Tania mengeluarkan semua isi lemarinya. Dia menggaruk belakang kepalanya.

"Kita mau ke mana?" tanya Tania saat mereka di depan pekarangan rumah.

"Lo maunya ke mana?" tanya Kevin balik.

Tania berpikir keras. Di mana dia akan makan di tempat yang menyenangkan bersama Kevin. Dia mengetuk-ngetuk telunjuknya ke dagu.

"Ke mana aja deh, asal bareng Kakak," ujar Tania.

Kevin terkekeh geli. "Oke," ujarnya.

...******...

Di warung makan nasi goreng di pinggir jalan inilah Kevin membawa Tania pergi. Dan, Tania sama sekali tidak protes karena memang dari awal dia memutuskan untuk makan di mana saja asal dengan Kevin.

Dua porsi nasi goreng pedas tersaji di depan Kevin dan Tania beserta satu porsi sate ayam yang diinginkan Tania. Gadis itu mengaduk bumbu sate lalu mencampurkannya ke dalam nasi goreng.

Kevin tersenyum manis saat melihat mata Tania berbinar melihat makanan di depannya.

"Lo beneran belum makan?" tanya Kevin.

Tania mengangguk seraya menyuap satenya. "Iya."

"Tumben, biasanya sore-sore udah makan," ujar Kevin.

Tania menggeleng kuat. "Tadi gue belajar konsentrasi," ujar Tania dengan mulut penuh makanan.

"Hah?"

"Iya, besok adalah pelajaran matematika. Gue nggak mau ditegur terus sama guru karena nggak konsentrasi," ujar Tania.

Kevin terkekeh geli. "Sampe segitunya?"

Tania mengangguk. "Iya."

"Terus, gimana cara lo buat belajar konsentrasi?" tanya Kevin.

Tania menelan makanannya susah payah layaknya menelan sebuah batu besar. "Jadi, tadi gue niatnya mau belajar. Tapi lama-lama gue suntuk, gue bosen. Akhirnya gue memutuskan untuk motong-motong kertas jadi kecil dan gue sambungin kayak puzzle," jelas Tania.

Suapan yang hendak masuk ke mulut Kevin itu menggantung di udara selama sepersekian detik menyimak ucapan Tania. Siapa yang tidak terkejut mendengar cerita Tania yang terdengar konyol itu. Siapa juga yang dengan niat sengaja memotong kertas hingga kecil lalu menyambungnya layaknya sebuah puzzle.

"Lo serius?" tanya Kevin.

Tania mengangguk. "Kakak pikir wajah gue yang cantik jelita ini menunjukkan ekspresi bohong?" tanya Tania menunjuk area wajahnya.

Sendok yang mengambang di udara itu turun ke bawah. Kevin menggelengkan kepala dan terkekeh geli. "Tania, Tania. Lo segabut itu, ya?" tanya Kevin.

"Hidup gue emang gitu," ujar Tania mengedikkan bahu.

Kevin menghela napas pasrah. Segabut itukah hidup temannya yang satu ini?

"Oh iya, gue mau tanya," ujar Kevin.

"Apa?"

"Lo ngeluarin semua isi lemari, ya?" tanya Kevin.

Tania yang sedang mengaduk es teh manis terkekeh geli dengan menunjukkan deretan giginya. "Iya," ujarnya tanpa tahu malu.

Kevin kembali menghela napas dan menggelengkan kepala. Dia jadi merasa tidak enak pada Mila, karena dia mengajak Tania makan secara tiba-tiba membuat wanita paruh baya itu harus berkali-kali mengurut dada melihat kamar Tania yang nyaris seperti kapal pecah.

Nico menepuk pundak Bima saat mereka sedang memesan nasi goreng.

"Bim, Bim," panggil Nico.

Bima menggoyangkan bahunya. "Apaan, sih?" tanya Bima.

"Itu kayak kak Kevin, deh," ujar Nico. Matanya tidak pernah luput dari dua orang yang sedang makan tak jauh dari mereka.

Bima menyipitkan matanya mengikuti arah pandang Nico. Seketika mata pria itu membola. "Itu kak Kevin sama si cewek agresif, 'kan?" tanya Bima.

Nico mengangguk. "Iya, samperin yuk. Nggak enak gue," ujar Nico.

"Ogah, lo aja sana, gue nggak mau," tolak Bima.

"Yah, lo jangan kayak gitu," ujar Nico.

"Gue nggak mau ditampol untuk kedua kalinya sama cewek agresif itu," ujar Bima.

Nico berdecak sebal. "Ayolah, Bim," paksa Nico. "Lo jangan gitu jadi temen."

"Gue bukan temen lo," ujar Bima.

Nico kembali berdecak. "Kampret! Ayo, Bim!" paksa Nico tiada henti.

Pusing mendengar ajakan Nico. Bima akhirnya menuruti kemauan pria itu. "Iya, iya!" ujar Bima bangkit berdiri.

Bima sudah siap jika seandainya Tania tahu-tahu memukulnya, dia akan menjadikan Nico sebagai tamengnya.

"Eh, Kak Kevin," ujar Nico menyapa.

Kevin dan Tania sontak menoleh ke sumber suara.

"Nico, Bima, makan di sini juga?" tanya Kevin basa-basi.

Kalau Nico sudah mulai bertatap baik dengan Kevin. Maka lain halnya dengan Bima yang sudah bertatap benci dengan Tania.

"Enggak sih, mau mesen aja," ujar Nico.

"Oh, ya udah, nunggu di sini aja," ujar Kevin.

Nico mengangguk. Dia duduk di samping Kevin sedangkan Bima dengan terpaksa harus duduk di samping Tania. Bima meneguk ludah saat Tania memberikan tatapan tajam sebagai artian: Jangan deket-deket!

"Oh iya, untuk besok lo harus datang lebih pagi ya," ujar Kevin.

"Iya, Kak, siap," ujar Nico.

"Gue harus datang pagi-pagi nggak?" celetuk Tania.

Bima langsung menoleh tajam. "Emang lo bisa datang pagi-pagi? Paling juga dihukum sama Pak Joko," ujar Bima.

"Sok tahu banget lo," ujar Tania.

"Bukannya gue sok tahu, emang fakta kok lo selalu datang mepet waktu. Gue sering tuh lihat lo lari-lari dari jalan raya ke gerbang," ujar Bima.

Kalau Kevin dan Nico sudah saling tatap. Maka Tania sudah mengeratkan genggamannya pada sendok dan garpu di kedua tangannya seraya menautkan gigi-giginya. "Lo mau gue tampol lagi?" tanya Tania kesal.

"Tampol aja, emang lo berani?" Bukannya takut, Bima justru semakin menantang Tania saat gadis itu menunjukkan ekspresi marah.

"Lo—" Baru saja Tania hendak memukul kepala Bima dengan sendok jika suara berat Kevin tidak mengurungkan niatnya.

"Tania udah deh, jangan cari ribut," ujar Kevin.

"Dia yang mancing gue," ujar Tania menunjuk Bima.

"Hah? Mancing? Lo pikir lo ikan dan ini adalah kolamnya?" tanya Bima semakin memancing amarah Tania.

Geram karena orang di sampingnya ini selalu memancing amarahnya, Tania mengklaim bahwa Bima adalah musuh terbesarnya setelah Aldo.

"Lo emang mau gue tampol pake piring ya," ujar Tania sangat geram.

Nico menggaruk belakang kepalanya. Seharusnya tadi dia mendengarkan ucapan Bima untuk tidak menghampiri meja ini. Dia dan Kevin saling tatap lalu Kevin memberikan isyarat kalau dia lebih baik pulang sekarang.

"Emang lo berani?" tantang Bima.

"Beranilah, emangnya lo siapa?" tanya Tania menyolot.

"Manusia yang sangat suci karena dimandikan di sungai Gangga," ujar Bima mendramatisir.

"Pret! Dari kolam tambak ikan lele iya," balas Tania.

"Sekate-kate lo kalau ngomong. Lo mau lihat gimana kesucian tubuh gue kali ini?" tanya Bima.

"Mana? Mana tubuh lo yang katanya suci itu?" tanya Tania balik menantang.

Bima hendak berdiri dan berniat membuka seluruh pakaiannya. Tapi sayangnya ujaran Nico telah lebih dulu mengurungkan niatnya. Padahal dia sudah setengah puas melihat Tania menutup wajahnya.

"Eeee ... kayaknya lebih baik gue pulang duluan daripada harus lihat kesucian tubuh lo," ujar Nico. "Duluan ya, Kak." Dia beranjak berdiri.

"Eh, Nico, tungguin gue!" Sebelum dia menyusul Nico, lebih dulu dia menatap tajam Tania. "Awas aja lo!" Bima beralih menatap manis Kevin. "Duluan ya, Kak."

"Nico tunggu!"

Dan, makan malamnya bersama Kevin terganggu karena kedatangan Bima dan Nico. Tania terus mendesis membuat Kelvin terkekeh geli.

...******...

Bima membuka pintu kamar Aldo secara kasar membuat pria jangkung yang baru keluar dari kamar mandi dengan rambut basah itu berjingkrak kaget. Aldo mengernyit saat dia melihat Bima berceloteh tidak jelas lalu duduk di lantai bersama Nico.

"Kesel gue sama tuh cewek, pengen tak hiiihh," geram Bima seraya berekspresi seakan-akan ingin mencakar seseorang.

Aldo ikut duduk bersama Bima dan Nico di lantai.

"Iya, lagian lo udah tahu dia kayak gitu malah lo ladenin," ujar Nico seraya mengeluarkan tiga bungkus nasi goreng.

"Kesel gue sama dia. Awas aja tuh cewek," ujar Bima dengan penuh penekanan dendam.

"Lo kenapa sih, Bim?" tanya Aldo tidak paham seraya membuka bungkusan nasi gorengnya.

"Siapa lagi kalau bukan karena si Tania," ujar Bima. "Gue mau saat lo dan lo terpilih, lo berdua harus berantas spesies seperti Tania," ujar Bima menunjuk Aldo dan Nico.

Aldo dan Nico saling tatap tidak mengerti.

"Gue heran, ibunya ngidam apa sampai anaknya kayak gitu," pikir Bima menerawang ke atas.

Aldo dan Nico saling tatap lalu mengedikkan bahu.

"Kayaknya ibunya ngidam buah yang langka terus enggak kesampaian. Makanya anaknya kayak gitu," ujar Bima.

Nico mendesah panjang. "Yang penting nggak kayak nyokap lo kalau lagi ngidam," ujarnya seraya mengaduk nasi goreng.

"Emang lo tahu nyokap gue ngidam apa waktu hamil gue?" tanya Bima penasaran.

"Dia ngidam buah Pace, makanya dia punya anak mukanya pahit banget kayak lo," cibir Aldo.

"Sialan!" decak Bima kesal.

...******...

Kevin memberhentikan motornya di depan gerbang rumah Tania. Gadis itu turun dari atas boncengan motor Kevin. Jam menunjukkan pukul 21.00 malam, tidak terlalu malam Kevin membawa Tania pulang.

"Maaf ya," ujar Kevin setelah Tania memberikan helm kepadanya.

Tania mengernyit bingung. "Maaf kenapa?"

"Tadi makan malamnya enggak enak," ujar Kevin.

Tania berpikir sejenak apa yang dimaksud ucapan Kevin, hingga akhirnya dia paham apa yang dimaksud dari ucapan Kevin. "Oh, nggak apa-apa, Kak. Lagian bukan salah Kakak kok, temennya si Aldo aja yang tiba-tiba datang mengganggu," ujar Tania.

Kevin tersenyum simpul lalu mengangguk. "Iya udah, masuk sana, beresin lemari lo," ujarnya seraya mengelus rambut Tania.

Tania mengangguk. "Kakak juga langsung tidur ya, jangan begadang. Mata Kakak hampir mirip panda, lho," ujar Tania menunjuk mata Kevin.

Kevin tersenyum simpul lalu terkekeh. "Lo emang sahabat sekaligus tetangga paling pengertian," ujar Kevin seraya mengacak rambut Tania.

Tania tersenyum membalas.

"Iya udah, lo masuk sana," ujar Kevin.

"Kakak duluan aja," ujar Tania.

"Rumah gue di depan rumah lo, Tan," ujar Kevin.

"Iya, makanya Kakak duluan," ujar Tania.

"Lo cewek, gue harus mastiin lo masuk rumah duluan," ujar Kevin.

Entah kenapa Tania merasakan sensasi berbeda, dia merasakan jantungnya berdegup kencang dan dadanya menghangat. Sehebat itukah efek ucapan Kevin?

"Iya udah, kalau gitu Kakak masuk rumah dan gue masuk rumah. Jadi kita sama-sama masuk rumah," ujar Tania.

Kevin menepuk jidatnya. Tania selalu ingin menang dalam segala hal, termasuk urusan paksa-memaksa. Kalau dia melanjutkan adegan ini, yang ada di antara mereka tidak ada yang masuk rumah. Karena mereka sama-sama teguh pada pendirian dan ucapan.

"Iya udah," ujar Kevin mengalah.

Kevin membawa motornya masuk ke dalam gerbang rumah, termasuk Tania yang mulai membuka gerbang rumahnya. Mata gadis itu tidak pernah luput dari Kevin, begitu pun sebaliknya. Seulas senyum dan lambaian tangan Tania berikan pada Kevin sebelum dia masuk ke dalam rumah. Kevin membalasnya, melihat dan menunggu Tania masuk ke dalam rumah.

Kevin menghela napasnya. Selangkah lagi Tania akan membuka kenop pintu, tapi ternyata gadis itu tiba-tiba putar badan dan berlari menghampiri Kevin membuat pria itu terkejut setengah mati.

"Kak Kevin," panggil Tania.

"Lho, kenapa? Ada yang ketinggalan?" tanya Kevin.

Tania menggeleng. "Enggak, gue cuman mau tanya," ujar Tania.

"Tanya apa?"

"Besok Kakak berangkat pagi-pagi?" tanya Tania.

"Iya," jawab Kevin.

"Gue boleh ikut Kakak nggak biar berangkatnya pagi?" tanya Tania.

Kevin menatap cengo. "Hah?"

"Nggak boleh, ya?" ujar Tania dengan nada kecewa.

"Enggak, boleh kok, boleh. Lo boleh berangkat pagi sama gue," ujar Kevin.

Tania tersenyum lebar. "Serius, Kak?" tanyanya tidak percaya.

"Iya, Tania," jawab Kevin.

Tania tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya kali ini. Dia terus tersenyum lebar membuat dia terlihat sangat manis dengan alis hitam tebalnya.

"Oke, besok gue bakal bangun pagi-pagi," ujar Tania.

Kevin tersenyum. "Iya udah, masuk rumah sana. Jangan balik lagi," ujar Kevin.

"Haik, oyasumi," ujar Tania dengan menundukkan setengah badannya persis seperti orang Jepang.

Kevin terkekeh melihat tingkah Tania.

"Oyasumi, Tania," ujar Kevin.

Tania segera beranjak keluar gerbang rumah Kevin. Gadis itu melambaikan tangannya beribu-ribu kali sebelum dia masuk ke dalam rumahnya membuat tangan Kevin pegal karena harus membalas lambaian tangan Tania.

Kevin menghela napas saat Tania sudah benar-benar masuk ke dalam rumahnya. Dia menggelengkan kepala mengingat beberapa aksi konyol Tania yang membuatnya berkali-kali berekspresi terkejut.

Dia membuka pintu rumah lalu segera masuk ke dalamnya.

...******...

Sesuai dengan apa yang diucapkan Kevin semalam, Nico menyampaikan pesan itu kepada Aldo. Dan sekarang tiga pria itu sedang duduk di ruang OSIS, bersantai di dalam sana. Mumpung ini masih pagi dan tidak banyak orang yang datang, jadi mereka bisa bergerak sepuasnya di dalam ruang OSIS.

Aldo sedang berkutat di depan layar laptopnya, Bima sedang menonton anime, dan Nico sedang membersihkan ruangan. Keheningan di antara mereka begitu terasa sekali.

"Jean ke mana, Do? Tumben nggak ke sini?" tanya Nico.

"Kenapa lo nanyain dia? Suka lo?" celetuk Bima.

Nico mendengus. "Lama-lama lo sama nyebelinnya kayak Tania," gerutu Nico.

"Jangan pernah lo sama-samain gue sama si Tania. Gue sama dia lebih baik gue," ujar Bima.

"Terserah lo, Bim, terserah," ujar Nico pasrah.

Aldo menghela napas melihat perdebatan kecil dua temannya. "Nic, Kak Kevin kapan datang?" tanya Aldo.

"Lah, mana gue tahu," ujar Nico.

Aldo menghela napas panjang. Tidak biasanya Kevin berangkat sedikit telat. Padahal pria itu selalu datang sebelum dia datang.

Jean masuk ke dalam ruangan membuat perhatian ketiga cowok itu tertuju padanya.

"Jean, lo lihat Kak Kevin nggak di bawah?" tanya Aldo.

Jean menggeleng. "Enggak, dia belum datang juga?" tanya Jean.

Baru saja Aldo ingin menjawabnya. Tahu-tahu sosok yang dibicarakan muncul begitu saja dari balik pintu.

"Tuh Kak Kevin," ujar Nico.

"Kenapa? Gue agak telat, ya?" tanya Kevin menunjuk dirinya.

Aldo mendesah. "Lumayan sih, nggak biasanya," ujar Aldo.

"Sorry, ya. Soalnya tadi gue nungguin Tania dulu," ujar Kevin.

Mendengar nama Tania disebut membuat Bima langsung berjingkrak duduk. "Apa? Tania?" ujarnya terkejut.

Kevin mengangguk. "Iya."

"Dia berangkat pagi?" tanya Bima.

"Kenapa? Lo nggak percaya lihat orang yang cantik jelita ini berangkat pagi?" celetuk Tania di ambang pintu.

Semua mata tertuju ke arahnya. Kalau yang lain lebih memilih mengabaikan, maka Bima sudah menunjukkan ekspresi muntahnya saat mendengar ucapan Tania.

"Pret! Cantik dari mana," ujar Bima.

"Udah deh, males gue ribut sama lo lagi-lagi," ujar Tania lalu menguap lebar membuat orang yang melihatnya saling tatap.

"Gue ke kelas sendirian aja ya, Kak, dah." Tania melambaikan tangannya lalu beranjak pergi.

"Dia bangun jam berapa, sih?" cibir Bima.

Kevin jadi khawatir pada Tania. Bagaimana jika gadis itu tahu-tahu terjatuh dari tangga? Terlebih tidur tidak tahu tempat. Bangun pagi kerap menjadi musuh Tania selama dia hidup. Katanya bangun pagi itu pukul 09.00.

"Do, lo bisa anterin Tania ke kelas nggak? Dia masih ngantuk, gue takut dia jatuh dari tangga," ujar Kevin.

"Kok gue?" Aldo menunjuk dirinya.

"Iya, gue cuman percaya sama lo. Kalau Bima atau Nico nggak mungkin. Kalau gue suruh Jean gue takut dia malah nyakitin Jean," jelas Kevin.

"Kenapa nggak lo aja, Kak?" tanya Aldo balik.

Kevin menghela napas. "Gue harus kejar deadline pagi ini," ujarnya.

Ucapan Kevin ada benarnya juga. Dia melihat ekspresi takut dari wajah Nico dan Bima. Di antara mereka hanya dirinyalah yang bisa menuntun Tania ke kelas.

"Iya udah," ujar Aldo yang akhirnya mengalah saat Jean tersenyum mengangguk menatapnya.

...******...

Tania berjalan lunglai. Berkali-kali dia menguap dan berkali-kali dia nyaris tersungkur ke bawah. Dia tidak bisa menahan rasa kantuknya kali ini, matanya sangat berat untuk dibuka. Dia menatap ke bawah, pada undakan anak tangga.

Tania kembali menguap. Dia hendak melangkah satu kakinya ke bawah dan tiba-tiba saja dia berteriak.

"Argh!"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!