Berawal dari ketidaksengajaan lalu berujung pada pernikahan yang tidak direncanakan. Nadia yang mencoba bertahan hidup dengan menggantungkan harapannya pada pernikahan yang hanya dijadikan sebagai hubungan sebatas ranjang saja, tak mengira hidupnya akan berubah setelah ia memberi Yudha seorang anak yang diidam-idamkan.
“Jangan berharap lebih dari pernikahan ini. Aku menikahimu bukan karena cinta, tapi karena kita sama-sama saling membutuhkan,” kata Yudha.
“Tapi bagaimana jika kamu yang lebih dulu jatuh cinta padaku?” tanya Nadia.
“Tidak akan mungkin itu terjadi,” sarkas Yudha.
Lantas bagaimanakah kelanjutan hubungan pernikahan Nadia dan Yudha yang hanya sebatas ranjang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fhatt Trah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4. Hantu Dalam Kamar
Hantu Dalam Kamar
Beberapa jam lalu.
Yudha menuruni anak tangga satu per satu sembari membenahi dasinya. Maura menyusul di belakang dengan menenteng tas kerjanya. Tiba di anak tangga terbawah, Maura lantas memberikan tas itu pada Yudha. Usai mengecup kening Maura, Yudha kemudian bergegas pergi.
Namun, begitu ia membuka pintu, ia malah dikejutkan oleh kedatangan ibunya.
“Pagi, Yud. Buru-buru sekali?” sapa Elvi sembari mengembangkan senyumnya.
Maura yang hendak naik ke lantai dua itu pun menarik kembali langkahnya begitu mendengar suara ibu mertuanya. Kedatangan sang mertua pagi-pagi begini jujur saja membuat Maura tidak nyaman. Ia bahkan enggan menemui mertuanya itu, sebab ia tahu maksud dan tujuan kedatangan mertuanya itu.
“Aku sudah telat lima menit, Ma.”
“Baru lima menit, bukan lima jam kan? Oh ya, istrimu ada di rumah?” Elvi sedikit menelengkan kepalanya mengintip ke dalam rumah. Sosok Maura tidak ia dapati di dalam rumah itu. Karena Maura sudah naik kembali ke lantai dua.
“Ada di kamar.”
“Mama tidak disuruh masuk nih? Mama mau ngomong sebentar sama kamu. Ini penting.”
Yudha menghembuskan napasnya berat. Perasaannya mulai tak enak. Ia punya dugaan buruk dengan kedatangan ibunya pagi ini. Tidak ingin bersikap tak sopan, terpaksa ia pun menyilakan ibunya masuk, mengajaknya duduk di sofa ruang tamu. Pelayan rumah ia minta untuk membawakan teh hangat dan cemilan, tapi ibunya menolak.
“Ma, langsung saja. Aku banyak pekerjaan hari ini. Pagi ini juga aku ada briefing dengan karyawan,” kata Yudha tak bermaksud mengusir ibunya. Namun memang pagi ini ia punya banyak pekerjaan yang harus segera ia selesaikan.
Pada bulan ini King Queen and Hotel sedang gencar-gencarnya melakukan promosi. Ada banyak pesaing yang mulai meraih perhatian publik dengan keunikan hotel yang dimilikinya. Yang tentu saja hal itu menjadi ancaman bagi King and Queen.
“Mama tidak akan lama. Mama ke sini cuma mau memberikan ini sama kamu.” Elvi mengambil dua lembar tiket pesawat dari dalam tasnya. Tiket itu ia taruh di atas meja.
Yudha meliriknya sekilas. “Itu apa, Ma?” tanyanya kemudian.
“Tanpa Mama jelaskan kamu juga pasti sudah tahu itu apa.” Sejak beberapa hari lalu Elvi dan suaminya sudah merundingkan hal ini, dan mereka akhirnya sepakat untuk memberikan tiket pesawat ke Eropa untuk Yudha dan Maura agar mereka bisa berbulan madu kembali. Semua ini mereka lakukan agar Maura bisa segera hamil.
Yudha menghela napas sejenak, lalu mengukir senyuman tipis. Sejak awal ia sudah bisa menduga maksud kedatangan ibunya ini.
“Maaf, Ma. Tapi aku dan Maura tidak membutuhkan itu,” tolak Yudha dengan halus. Ia tak bermaksud membuat ibunya kecewa. Hanya memang ia dan Maura benar-benar tidak membutuhkan itu sekarang. Sebab mau berbulan madu ke belahan dunia manapun, Maura tidak akan bisa hamil.
Yudha sudah terbiasa dengan hal seperti ini yang selalu ditawarkan ayah dan ibunya. Yang mereka tidak tahu, Yudha juga sudah berusaha mengubur dalam-dalam mimpinya untuk menjadi seorang ayah. Sebab penyakit Maura yang membuat mimpinya itu tidak akan mungkin bisa terwujud.
“Jelas kalian butuh, Yud. Belakangan ini Mama lihat kamu terlalu sibuk dengan pekerjaanmu. Maura juga. Mama heran kenapa kamu mengijinkan Maura kembali ke pekerjaannya. Kalau kalian sama-sama sibuk, trus kapan kalian punya waktu berdua. Kalau seperti ini terus, kapan kalian bisa punya anak?”
“Itu urusan aku dan istriku, Ma. Mama tidak perlu memikirkan hal itu. Aku mengijinkan istriku kembali bekerja agar dia tidak merasa bosan. Aku juga tidak mau terus-terusan mendesak istriku. Bagiku, punya anak atau tidak sama saja. Cintaku pada istriku tidak akan berkurang.”
“Sekarang kamu bisa bicara seperti itu. Suatu hari nanti, Mama yakin perasaan kamu itu akan berubah.”
“Kenapa Mama bicara seperti itu? Apa Mama berharap aku dan Maura tidak akan bersama lagi?”
“Mama tidak pernah berharap seperti itu. Mama cuma ingin membantu kalian. Maka dari itu Mama datang ke sini mau memberi kalian kesempatan untuk mewujudkan impian kalian.”
“Ma, tolong lupakan dulu soal anak. Aku dan Maura sudah sepakat untuk tidak membahas itu sekarang.”
“Yud, kamu itu anak Mama semata wayang. Satu-satunya penerus Adyatama. Kalau kamu tidak punya anak, lalu siapa yang akan menjadi penerus keluarga kita setelah kamu? Kamu bisa bicara seperti itu sekarang. Tapi nanti, kamu pasti akan tahu bagaimana rasanya kesepian. Tujuh tahun Mama dan Papa juga sudah bersabar menanti cucu. Kalau tidak diusahakan sekarang, kapan lagi? Sementara Mama dan Papa semakin hari semakin menua.”
Perdebatan yang cukup panjang dengan ibunya pagi tadi itu membuat mood Yudha berantakan. Datang ke kantor ia kurang bersemangat. Kepalanya dibuat pusing mendadak oleh permintaan ibunya yang terang-terangan ia tolak itu.
Sepanjang hari perkataan ibunya itu terngiang terus di telinganya. Alhasil ia memilih bekerja lembur. Pening yang menyerang membuat kepalanya terasa berat. Ia lantas pergi ke kamar peristirahatannya untuk melepas penat.
Namun, begitu masuk ke kamar itu ia malah dibuat terkejut oleh suara nyanyian seorang wanita di dalam kamar mandi. Dengan langkah pelan ia kemudian mendekati kamar mandi. Ia berniat hendak membuka pintu kamar mandi itu saat tiba-tiba seorang gadis keluar hanya dengan sehelai handuk yang melilit di tubuhnya.
“Aaa ...” Gadis itu memekik kencang seperti baru melihat hantu. Padahal ia yang mengira di dalam kamarnya mungkin ada hantu.
“Si-siapa kamu?” tanya gadis itu setengah ketakutan.
“Kamu yang siapa? Kenapa kamu bisa berada di kamar ini?” balasnya seraya memperhatikan gadis itu yang terlihat takut sambil berusaha menutupi bagian tubuhnya yang terbuka.
Yudha sedikit heran mengapa kamar pribadinya ini bisa dimasuki oleh orang asing. Padahal semua staf hotel ini sudah tahu kalau kamar ini tidak diperuntukkan bagi tamu.
“Bagaimana caranya kamu bisa masuk ke kamar ini? Apa kamu tahu ini kamar siapa?” tanya Yudha masih tak habis pikir bagaimana bisa ada seorang gadis di dalam kamar pribadinya ini. Mana gadis itu setengah telanjjang lagi. Melihat siluet gadis itu dengan lilitan handuk sebatas ketiak serta rambut panjangnya yang basah tergerai berantakan itu membuat ia tanpa sadar menelan ludahnya.
“Siapa yang mengijinkan kamu masuk ke kamarku? Kamu tahu siapa aku?” tanyanya lagi dengan menghunus tatapan tajam.
Nadia pun terkesiap. Ia langsung mengerti dan mengenali siapa pria di hadapannya ini. Memang sejak masuk bekerja di hotel ini belum pernah ia melihat wajah atasannya. Jadi wajar saja ia tidak tahu siapa pria itu.
“Ma-maafkan saya, Pak. Saya akan keluar dari kamar ini sekarang juga.” Takut lantaran ketahuan atasan, Nadia hendak meninggalkan kamar itu secepatnya. Namun terlebih dahulu ia ingin berpakaian.
“Aaa ...” Kakinya sudah mengayun hendak melangkah mendekati koper pakaian yang ia taruh di dekat sofa. Tetapi tiba-tiba saja kakinya terpeleset, membuat tubuhnya terjungkal ke belakang. Untung saja Yudha gesit bergerak menangkap tubuhnya sehingga tak sampai jatuh ke lantai. Kedua tangannya refleks langsung mengalungi leher Yudha.
Dalam posisi seperti itu, Nadia bisa melihat dari dekat rupa tampan atasannya itu. Yang membuat ia menelan ludah, mengagumi wajah tampan itu diam-diam.
Sedangkan Yudha, tertegun melihat paras manis Nadia yang tampak menggoda dengan rambut basahnya. Belum lagi, tubuh bagian atas Nadia terekspose dengan jelas di depan matanya. Membuat ia menelan ludah tanpa sadar. Penampakan Nadia yang setengah polos itu sungguh sangat menggoda imannya. Ditambah lagi dengan aroma sampo dan sabun mandi yang tercium, membuat gairahnya yang terpendam bangkit seketika.
Beberapa menit saling pandang dalam posisi seperti orang yang saling memeluk itu, Nadia pun akhirnya tersadar saat Yudha berkata,
“Apakah pelukanku terlalu nyaman buatmu?”
-To Be Continued-
ngomong rindu tp giliran diladeni ngomong capek ngantuk, kan pengin /Hammer//Hammer//Hammer/
suami mulai ada tanda tanda dengan bawahnya....klop deh