NovelToon NovelToon
Beginning And End Season 3

Beginning And End Season 3

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Dark Romance / Time Travel / Balas Dendam / Sci-Fi / Cintapertama
Popularitas:143
Nilai: 5
Nama Author: raffa zahran dio

Lanjutan Beginning And End Season 2.

Setelah mengalahkan Tenka Mutan, Catalina Rombert berdiri sendirian di reruntuhan Tokyo—saksi terakhir dunia yang hancur, penuh kesedihan dan kelelahan. Saat dia terbenam dalam keputusasaan, bayangan anak kecil yang mirip dirinya muncul dan memberinya kesempatan: kembali ke masa lalu.

Tanpa sadar, Catalina terlempar ke masa dia berusia lima tahun—semua memori masa depan hilang, tapi dia tahu dia ada untuk menyelamatkan keluarga dan umat manusia. Setiap malam, mimpi membawakan potongan-potongan memori dan petunjuk misinya. Tanpa gambaran penuh, dia harus menyusun potongan-potongan itu untuk mencegah tragedi dan membangun dunia yang diimpikan.

Apakah potongan-potongan memori dari mimpi cukup untuk membuat Catalina mengubah takdir yang sudah ditentukan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 35 : Izinkan aku sebentar saja.

Barrier api–es itu retak perlahan, lalu menguap seperti embun yang tersentuh matahari pagi—shhhh…

Udara kembali hangat.

Langit Tokyo di atas rumah keluarga Miyamoto kembali tenang, seolah tidak pernah ada latihan brutal barusan.

Mayuri masih berdiri dengan tombaknya—napasnya berat, dada naik turun cepat—namun matanya berkilat penuh tekad.

“A—aku masih bisa!” katanya cepat, hampir memohon.

“Ayok… jangan hentikan! Aku… aku belum cukup!”

Ia melangkah satu langkah maju—terlalu cepat—dan tubuhnya sedikit oleng.

Tok.

Catalina menyentil kening Mayuri dengan ujung jarinya.

Mayuri tersentak.

“H—eh?!”

Ia refleks mengusap keningnya, wajahnya memerah, antara kaget dan kesal.

“Bodoh,” kata Catalina datar, tapi nadanya lembut.

“Kalau kamu paksa latihan hari ini… besok kamu bukan makin kuat.”

“—kamu justru melemah.”

Mayuri mengerutkan alis, bingung.

“Hah? Tapi aku masih kuat! Aku masih berdiri! Aku—”

Kurumi melangkah mendekat, ekspresinya tenang, suaranya diturunkan satu oktaf—hangat.

“Mayuri…”

“Aku tau semangatmu masih membara.”

Ia menepuk bahu Mayuri pelan—tap…

“Tapi istirahat itu bukan menyerah. Kalau kamu berhenti sekarang, energimu pulih.”

“Besok… kamu bisa jauh lebih kuat.”

Kurumi menoleh ke Catalina.

“Ya kan?”

Catalina mengangguk kecil.

“Iya. Kurumi benar.”

“Kekuatan itu bukan kayak di film TV—latihan sampai berdarah, terus besoknya jadi dewa.”

Ia menghela napas.

“Ini dunia nyata. Tubuh manusia—dan CIP—nggak bisa dipaksa.”

Mayuri mendecak pelan.

“Ngomongnya kek bukan anak TK aja.”

Catalina menatapnya sekilas.

“…Kan aku balik ke masa lalu, bodoh.”

Mayuri terdiam.

“Oh… iya juga.”

Namun kerut di wajahnya belum hilang.

Ia menoleh ke Kurumi, ragu, lalu bertanya pelan—jujur.

“Tapi… Kurumi.”

“Kamu juga baru punya kekuatan… tapi kamu bisa sekuat itu.”

Kurumi berhenti melangkah.

Beberapa detik…

sunyi.

Ia mengangkat wajahnya perlahan.

Senyumnya tipis—rapuh.

“Mayuri…”

“Jangan samakan kekuatanku dengan punyamu.”

Kurumi mengangkat tangan, menyingkap poni matanya.

Mata kiri itu terbuka jelas—diamond hijau bercahaya, berdenyut pelan.

“Aku nggak punya CIP yang murni,” katanya lirih.

“CIP-ku… ternodai. Diambil alih kutukan.”

Nada suaranya tetap tenang—

tapi ada nyeri yang ditahan di baliknya.

“Ini sakit,” lanjutnya.

“Walaupun nggak dipakai.”

“Aku cuma bisa latihan… istirahat… latihan lagi… sampai rasa sakitnya mereda.”

Ia menurunkan tangan.

“Kamu beruntung, Mayuri.”

“Kamu punya CIP yang utuh.”

Mayuri terdiam.

Tangannya mengepal kecil.

Kurumi menunduk sedikit.

Dan kenangan itu—

mengalir kembali.

 

Flashback.

Malam hari.

Apartemen kecil Kurumi di distrik Kabukicho.

Hujan di luar jendela—tik… tik…

Catalina tidur di futon sebelahnya, lelah setelah misi.

Kurumi duduk memeluk lutut.

“Catalina…”

“Aku suka kekuatan baru ini.”

Catalina membuka mata setengah.

“Hm…?”

“Tapi…”

“Ini nggak suci.”

Catalina terkejut.

Anak lima tahun… bicara seperti itu?

Kurumi melanjutkan, suaranya kecil.

“Aku ingat saat kamu melacak energiku.”

“CIP-ku… sudah hilang.”

“Diganti kutukan Nul ini.”

Ia menunduk.

“Aku pengen… seperti orang tua kita.”

“Punya CIP yang pernah menyelamatkan dunia.”

“Pilar Tokyo. Pilar Moskow.”

“Tapi di generasi ini…”

“Aku malah mencorengnya.”

Catalina duduk.

Menatap Kurumi lama.

Lalu ia meraih tangan kecil itu.

“Kurumi,” katanya pelan tapi tegas.

“Kekuatan itu nggak dinilai dari asalnya.”

Kurumi menoleh.

“Yang dinilai adalah…”

“Perjuangan.”

“Tujuan.”

“Dan hasil.”

Ia tersenyum kecil.

“Nggak peduli kamu dapat kekuatan dari kutukan yang hampir membunuhmu.”

“Kalau tujuanmu menyelamatkan masa depan—itu cukup.”

Catalina mengusap kepala Kurumi.

“Kamu sudah kuat.”

“Itu saja… sudah cukup bagiku.”

 

Flashback berakhir.

Kurumi mengangkat wajahnya kembali ke Mayuri.

Ekspresinya lembut—jujur.

“Jangan buang-buang energi CIP-mu,” katanya pelan.

“Sayangi dia.”

“Dia temanmu.”

“Dia juga capek… kalau dipakai terus.”

Catalina menunduk.

Ada senyum kecil—lelah—di wajahnya.

“Anak sekecil Kurumi…” gumamnya dalam hati.

“Bisa berpikir sejauh ini karena pengaruhku…”

Ia menghela napas panjang.

“Aku harus bertanggung jawab.”

“Pada pertumbuhan kalian berdua.”

Api pink di dadanya berdenyut pelan.

“…Walaupun aku sendiri masih lima tahun,” lanjutnya lirih.

“Aku juga harus berlatih.”

“Untuk mencapai Inversi CIP.”

Mayuri mengangguk perlahan.

Kali ini… tanpa membantah.

“Baiklah,” katanya akhirnya.

“Kita istirahat.”

Kurumi tersenyum lega.

Mereka bertiga lalu berjalan masuk ke rumah—

pintu kayu geser tertutup dengan bunyi lembut—klik…

Latihan hari itu berakhir.

Bukan dengan kelelahan semata—

tapi dengan pengertian.

...----------------...

Malam menggantung rendah di kediaman keluarga Rombert.

Lampu-lampu taman telah diredupkan, hanya menyisakan cahaya kekuningan yang lembut—klik… klik…—seperti kunang-kunang buatan manusia. Angin malam menyentuh dedaunan, membuatnya berbisik pelan—srrr… srrr…—ritme yang menenangkan… sekaligus menyayat.

Di luar jendela kamar lantai dua, Catalina berdiri berjinjit.

Tubuh kecilnya belum cukup tinggi.

Ia mendorong sebuah kursi kayu pelan-pelan—krrk… krrrk…—takut membangunkan siapa pun. Kedua tangannya bergetar sedikit saat ia naik, telapak kakinya menapak hati-hati di permukaan kursi.

“A—aduh…”

Ia berhasil berdiri.

Dari sana, langit terbentang luas.

Bintang-bintang berkilauan, tak terhitung jumlahnya—berpendar, berdenyut, seolah hidup. Gugusan cahaya itu terasa terlalu indah untuk dunia yang Catalina kenal… dunia yang kelak akan runtuh.

Matanya memantulkan cahaya langit.

Namun dadanya… retak.

"Waktuku masih lama…"

"Tapi…"

Ia mengangkat tangan kecilnya, jari-jarinya terbuka, seolah ingin menggenggam satu bintang.

“…apakah aku siap?” bisiknya lirih.

Suaranya nyaris hilang ditelan angin.

“Aku… aku nggak mau…”

“Mereka semua… mati…”

Gambar-gambar itu melintas.

Shinn—tersenyum di lorong sekolah.

Shinn—wajahnya merah saat Catalina menyatakan cinta di masa SMA.

Shinn—dan lalu… kosong.

Kematian itu belum datang dalam mimpinya.

Belum diberi wajah.

Belum diberi suara.

Dan justru karena itulah… lebih menakutkan.

Air mata jatuh.

Satu.

Dua.

Menetes ke punggung tangannya—plok…

“Catalina sayang…”

Suara itu datang dari belakang.

Catalina tersentak—bahunya bergetar—dan hampir kehilangan keseimbangan.

“H—hah?!”

Ia buru-buru mengusap matanya dengan punggung tangan, berbalik cepat.

Leon berdiri di sana, mengenakan piyama rumah sederhana. Rambutnya sedikit acak-acakan, tapi matanya hangat dan tajam, seperti biasa.

“Belum tidur?” tanyanya lembut.

“Nak… udah malam.”

Catalina mematung sepersekian detik.

Lalu kedua tangannya terulur spontan.

“Papi…”

Leon tersenyum kecil, langsung menggendongnya.

Tubuh kecil itu terasa ringan—terlalu ringan untuk beban yang ia pikul.

“Kok belum tidur?” Leon mengusap punggungnya pelan—usap… usap…

“Besok sekolah, kan?”

Catalina menyandarkan kepala ke dada Leon.

“Papi…”

“Aku cuma mau lihat bintang.”

Ia mendongak sedikit, tersenyum kecil—rapuh.

“Soalnya… bintang itu cantik.”

“Sama kayak mami.”

Leon terkekeh pelan.

“Dasar anak papi.”

Namun senyumnya memudar.

Karena ia melihatnya.

Sisa air di sudut mata Catalina.

“Nak…?”

“Kamu habis nangis?”

Catalina cepat-cepat menggeleng.

“N—nggak kok!”

“Cuma… bulu mata aku panjang…” katanya cengengesan kecil.

“Masuk ke mata… hihi…”

Tawa kecil itu… tidak sampai ke mata.

Leon diam.

Ia pernah melihat air mata seperti ini.

Air mata Andras—saat perang terakhir.

Air mata yang jatuh bukan karena sakit, tapi karena kehilangan yang belum bisa diucapkan.

Leon menghela napas pelan.

“Nak,” katanya hati-hati.

“Papa mau tanya…”

Catalina menegang sedikit di pelukannya.

“Kalau kamu punya kekuatan,” lanjut Leon.

“Hal pertama yang ingin kamu lakukan… apa?”

Catalina terdiam lama.

Angin malam menyentuh rambutnya—fsss…

“Aku…”

“Aku cuma mau…”

Ia menatap langit lagi, lewat jendela.

“…mengubah masa depan.”

“Biar jadi lebih baik.”

Leon berkedip.

“Tanpa musuh,” lanjut Catalina.

“Tanpa permainan takdir.”

Kata itu keluar begitu alami dari mulut anak lima tahun—

dan membuat Leon terdiam kaku.

“Takdir…?” ulangnya pelan.

“Apa maksudmu, nak?”

Catalina buru-buru tertawa kecil—dipaksakan.

“Ih papi!”

“Mana tau di masa depan ada yang bikin kita semua harus perang lagi!”

Ia mengangkat bahu kecilnya.

“Aku sebenernya nggak mau…”

“Tapi kalau terjadi…”

“Aku harus lebih kuat, iya kan?”

“Hihi…”

Leon memejamkan mata sesaat.

Lalu tersenyum—senyum pahlawan yang sudah terlalu sering mengantar orang ke medan perang.

“Kamu benar,” katanya pelan.

“Putri kecil papi yang cantik…”

“Kamu harus lebih kuat.”

“Supaya orang-orang di sekelilingmu…”

“…tidak mati.”

Kata itu jatuh terlalu tepat.

Catalina membeku.

“…I—iya, Papi,” jawabnya akhirnya, suaranya kecil.

“Aku juga harus lebih kuat…”

“Sama seperti papi dan mami.”

Leon memeluknya lebih erat—erat… tapi lembut—lalu mengusap rambut panjang bergelombang putih dengan gradasi pink itu dari belakang.

Di dalam hati Catalina:

"Di masa depan…"

"Aku tidak akan merasakan pelukan ini lagi."

"Izinkan aku…"

"Sebentar saja merasakan nya..."

Air mata kecil kembali keluar—diam-diam—dan tubuhnya melemas.

Tidur.

Leon menyadarinya.

Ia berjalan masuk ke kamar—tap… tap…—menutup jendela perlahan—klik…—meletakkan Catalina di kasur, menyelimutinya dengan hati-hati, seolah takut membangunkannya.

Leon berdiri di samping ranjang.

Menatap wajah tidur itu lama.

“Nak…”

“Papi nggak tau apa yang kamu pikirkan.”

“Tapi kamu… sangat berbeda dari anak-anak seusiamu.”

Ia menelan ludah.

“Maaf… papi belum bisa mengerti.”

“Tapi air mata itu…”

“Itu air mata yang sudah melihat kehancuran.”

Leon mengusap kepala Catalina pelan.

“Dunia sekarang aman.”

“Khaou sudah kalah.”

“Tapi…”

“Papi akan selalu di sampingmu.”

“Sampai kamu dewasa.”

“Sampai kamu memilih hidupmu sendiri.”

“Sampai kamu mencintai seseorang.”

Ia membungkuk, mencium kening Catalina—kecup.

“Selamat malam…”

“Putri kecil papi.”

“Semoga mimpimu indah.”

Lampu kamar diredupkan.

Dan di balik tidur seorang anak kecil…

sebuah dunia sedang menunggu untuk diselamatkan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!