Kirana harus menerima kenyataan bahwa calon suaminya meninggalkannya dua minggu sebelum pernikahan dan memilih menikah dengan adik tirinya.
Kalut dengan semua rencana pernikahan yang telah rampung, Kirana nekat menjadikan, Samudera, pembalap jalanan yang ternyata mahasiswanya sebagai suami pengganti.
Pernikahan dilakukan dengan syarat tak ada kontak fisik dan berpisah setelah enam bulan pernikahan. Bagaimana jadinya jika pada akhirnya mereka memiliki perasaan, apakah akan tetap berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tujuh
Pagi itu udara terasa lembap, sisa hujan dini hari masih menggantung di dahan-dahan pohon mangga di halaman depan rumah Kirana. Langit berwarna abu muda, seperti sedang menahan matahari agar tidak muncul terlalu cepat. Semua terasa sunyi, kecuali suara samar kendaraan lewat di jalan raya yang tidak pernah benar-benar tidur.
Kirana berdiri di depan cermin kecil di sudut kamarnya. Matanya bengkak. Benar-benar bengkak. Ia mengusap kelopak matanya dengan ujung jari yang sudah dingin karena AC kamar, tapi bengkaknya tetap tidak berkurang. Pipinya memerah, ada garis samar bekas tamparan Papa yang tidak mau hilang walau sudah ia kompres dengan handuk dingin semalaman.
Rambutnya ia ikat setengah, setengah lagi dibiarkan jatuh. Ia merapikan kerah blouse birunya yang sedikit kusut. Di bawah mata, ia tap sedikit concealer murahan yang warnanya agak keabu-abuan, tapi tidak apa. Hari ini, ia tidak peduli terlihat cantik atau tidak. Berhasil terlihat berfungsi saja sudah prestasi besar.
Ia menatap bayangannya sekali lagi sebelum bergumam pelan, “Semangat, Kirana. Selesaiin hari ini. Satu hari lagi. Satu napas lagi.”
Ia menghela napas panjang, mengambil tas kanvasnya, dan berdiri. Saat membuka pintu kamar, suara ribut semalam sudah tidak terdengar. Rumah terasa kosong, sepi, tapi bukan sepi yang menenangkan. Lebih seperti sepi setelah badai yang bikin daun-daun berserakan.
Papa mungkin sudah pergi kerja. Mama dan Tissa entah di mana. Tidak satu pun yang mengucapkan selamat pagi, atau sekedar menyapa. Tidak ada yang mengetuk pintu kamarnya untuk memastikan ia baik-baik saja setelah kejadian semalam.
Kirana tidak menunggu itu. Tidak menaruh harapan. Ia tahu betul, harapan adalah hal yang paling sering dipatahkan oleh orang-orang di rumah ini.
Ia berjalan keluar rumah sambil mengencangkan tali tasnya, menuruni tiga anak tangga kecil, dan membuka pintu pagar besi yang sudah agak berkarat.
Jalanan belum terlalu ramai. Angkot melintas pelan, dan beberapa mahasiswa dengan ransel tebal berjalan berkelompok menuju halte terdekat.
Kirana menarik napas panjang dan mulai berjalan ke halte. Setiap langkah membuat tubuhnya terasa lebih ringan, seakan rumah itu tidak bisa lagi memegang pergelangan kakinya. Setidaknya, kampus selalu jadi tempat ia bisa bernapas.
Bus kampus berhenti dengan suara gesekan rem yang khas. Kirana naik, memilih duduk di kursi dekat jendela. Ia menyandarkan kepala sebentar. Hari ini jadwalnya padat, data mahasiswa baru harus selesai, ada rapat kecil dengan bagian akademik, dan tentu saja email panjang dari ketua program studi yang selalu menulis seperti sedang memarahi orang.
Setidaknya, semua itu lebih mudah ditangani dibanding keluarganya.
Bus melambat ketika memasuki area Universitas Arta Wijaya, universitas swasta ternama yang terkenal mahal dan banyak mahasiswanya yang anak pejabat atau pengusaha.
Gerbang depan tinggi dengan besi hitam dan logo emas. Gedung-gedung fakultas tertata rapi, dipenuhi pohon ketapang yang rindang.
Kirana selalu suka masuk kampus ini pagi-pagi. Udara lebih segar, belum banyak orang, dan suasana selalu terasa seperti lembar kertas baru.
Namun hari ini, saat ia turun dari bus, sebuah suara yang sangat familiar membuat langkahnya berhenti seketika.
“Mbak Kirana?” Kirana menoleh otomatis.
Dan di sana, berdiri dengan ransel hitam besar, kaus abu, jaket denim, dan rambut sedikit berantakan karena angin, Samudera.
Pria yang semalam mengantarnya pulang. Pria yang satu-satunya membela dia. Pria yang entah kenapa, membuat dadanya terasa seperti roller coaster setiap kali ia ingat tatapan mata pria itu.
Kirana mengerjap, memastikan ia tidak sedang berhalusinasi.
Samudera terlihat sama kagetnya. Tapi justru karena kaget itu, ekspresinya jadi lucu. Alisnya naik, mulutnya sedikit terbuka, lalu ia mengerutkan dahi, seperti sedang memproses informasi super rumit.
Beberapa detik kemudian, Samudera mendekat cepat.
“Mbak Kirana?” ulang Samudera, suaranya pelan tapi penuh sorot ingin tahu.
Kirana belum sempat menjawab ketika Sam tiba-tiba meraih pergelangan tangan Kirana.
Refleks tubuhnya langsung kaku.
“Eh ... Sam, ap ....”
“Kamu kenapa?” Samudera menatap wajah Kirana intens, melihat mata bengkaknya, melihat pipi kirinya yang masih merah samar. Tatapannya langsung mengeras. “Ada masalah di rumah?”
Suara Samudera terdengar seperti pria yang sudah siap kembali menyalakan motor dan pergi nyelametin seseorang tanpa mikir panjang.
Kirana menelan ludah. “Aku baik-baik aja,” jawabnya pendek.
Samudera mengerutkan dahi. “Yakin?”
Lalu, tanpa memperhatikan sekitar, ia menarik tangan Kirana sedikit menjauh dari gerbang, ke area dekat taman kecil di samping gedung administrasi. Gerakan itu cukup lembut, tapi jelas menunjukkan ia khawatir.
“Mbak Kirana … kamu ngikutin aku sampai ke kampus?” Samudera bertanya, suaranya rendah, tapi ada kecemasan yang jelas.
Kirana langsung memutar kepala ke arahnya dengan ekspresi super bingung. “Ngikutin kamu?”
“Ya.” Sam menunjuk dirinya sendiri. “Aku kuliah di sini, Mbak. Kamu datang ke sini ngapain? Pasti nyari aku, ya? Kamu butuh bantuan apa? Ada yang terjadi di rumah?”
Nada Samudera sungguh-sungguh. Sangat sungguh-sungguh. Benar-benar seperti seseorang yang siap maju kalau Kirana cuma bilang satu kata: “Tolong.”
Kirana spontan mengerutkan kening. “Kamu …” Ia menyilangkan tangan. “Kamu kuliah di sini?”
Sam menatapnya seolah itu fakta yang sangat jelas. “Ya.”
“Kamu mahasiswa sini?”
“Ya, Mbak.” Ia mengangkat alis. “Kenapa? Kamu kira aku apa? Tukang parkir kampus?”
Kirana memutar bola mata. “Ya mana aku tahu? Kamu tidak pernah bilang.”
“Kamu juga nggak bilang kamu kerja di sini,” balas Samudera cepat.
“Nah, itu dia.” Kirana menunjuk dirinya sendiri. “Aku memang ke sini buat kerja. Aku kerja di kampus ini, Samudera. Setiap hari.”
Sam terdiam. Mati gaya. Ia berkedip cepat, sekali, dua kali, tiga kali.
“Kamu .…” Ia menunjuk gedung administrasi besar berwarna krem. “Kerja di sini?”
Kirana mengangguk. “Iya.”
Samudera makin bingung. “Sebagai apa? Dosen?”
Kirana langsung ngakak pelan. “Sam, dari sisi mananya aku keliatan dosen?”
Samudera mengusap tengkuknya. “Ya … ya siapa tahu. Kamu kan keliatan pinter.”
Kirana mendecakkan lidah. “Aku staf administrasi, Sam.”
Sam lagi-lagi terdiam. Tapi kali ini ekspresinya berubah, bukan bingung, tapi lega. Sangat lega.
Seleganya orang yang baru sadar masalah besar ternyata cuma alarm kompor belum dimatikan.
“Oh .…” Sam mengangguk lambat. “Syukurlah.”
Kirana mengangkat alis tinggi-tinggi. “Syukurlah apa?”
Samudera menyeringai kecil. “Syukurlah kamu bukan dosen. Kalau kamu dosen, kamu bisa ngasih aku nilai jelek kalau aku bikin kesalahan.”
Kirana memutar mata lagi. “Aku bukan tipe pendendam.”
“Tapi kamu tipe ngegas kalau marah,” balas Sam cepat.
Kirana membuka mulut, tapi tidak jadi membantah. Karena … ya, dia benar.
Sam tersenyum tipis, mata cokelatnya menatap wajah Kirana dengan lebih lembut sekarang. “Tapi serius, kamu beneran nggak apa-apa?”
Kirana menarik napas, menunduk sebentar. “Aku baik,” jawabnya pelan. “Masih hidup. Masih bisa kerja. Itu udah cukup.”
Samudera ingin bertanya lagi, ia bisa lihat dari caranya menahan napas dan menggigit bibir bawah, tapi ia menahan diri. Seseorang memanggil dari kejauhan:
“Sam! Bro! Kelas lima menit lagi!”
Sam menoleh sambil melambaikan tangan pada dua teman cowok yang membawa tripod dan kamera, sepertinya dari jurusan seni multimedia atau perfilman, mengingat penampilannya.
Ia kembali ke arah Kirana. “Aku harus masuk kelas.”
Kirana mengangguk. “Pergilah. Nanti telat.”
Samudera memberi senyum kecil, hangat, tulus, seperti seseorang yang baru menemukan sesuatu yang ingin ia jaga. “Kalau kamu butuh apa-apa, kamu tahu harus hubungi siapa, kan?”
Kirana memijit pelipis. “Sam .…”
“Apa?”
“Jangan sok-sok kayak pahlawan.”
“Tapi memang kamu butuh pahlawan.”
Kirana terdiam. Ucapan itu sederhana. Tapi menyentuh titik di hatinya yang sudah lama membeku.
Sam kemudian mengangkat tangan, ragu-ragu. “Boleh aku .…” Ia tidak melanjutkan.
Hanya menyentuh ujung lengan Kirana sebentar, seperti mengkonfirmasi ia benar-benar ada dan baik-baik saja.
“Jaga diri,” ucap Samudera sebelum berbalik.
Kirana berdiri mematung, melihat Samudera berjalan menuju gedung kuliah sambil diributin teman-temannya.
Setelah beberapa detik, Kirana menghela napas panjang. Ia menyentuh pipinya sendiri.
“Ya Tuhan …,” gumam Kirana. “Kok bisa aku ketemu dia di sini?”
Di ruang administrasi kampus, suasananya seperti biasa, berkas menumpuk, printer merengek kesakitan, dan aroma kopi sachet menyebar ke seluruh ruangan. Kolega Kirana menyapa seperti biasa.
“Pagi, Kirana.”
“Pagi, Mbak Rika.”
“Kamu kelihatan capek banget,” komentar salah satu staf, Mbak Nindy.
Kirana tersenyum setipis mungkin. “Tidur telat.”
Nindy mengangguk paham, ia tipe tidak mau kepo kalau orang lain tampak lelah. “Kopi? Aku buatkan?”
Kirana agak terharu. Perhatian kecil seperti itu terasa sangat besar di hari seperti ini. “Boleh, Mbak. Makasih.”
Ia duduk, membuka laptop, lalu mulai bekerja seperti biasa. Namun pikirannya tidak sesederhana angka-angka di layar.
Ia masih memikirkan Samudera. Cara dia menarik tangan Kirana dengan yakin. Cara dia bertanya apakah ada masalah. Cara dia salah paham mengira Kirana sengaja nyari dia. Cara dia heboh sendiri karena panik.
Dan terutama … cara dia lega ketika tahu Kirana bukan dosen.
Satu kalimat bergema di kepala Kirana, “Kalau kamu butuh apa-apa, kamu tahu harus hubungi siapa.” Kalimat kecil, tapi terasa hangat. Hangat seperti selimut yang menutupi luka.
Jam 10 pagi, saat Kirana sedang mengetik data mahasiswa baru, pesan WhatsApp masuk.
"Mbak Kirana."
Kirana mengerutkan kening. Ia belum buka, tapi notifikasi berikutnya langsung muncul.
"Kamu udah sarapan?" tanya Samudera.
Kirana mengetik cepat. "Udah."
Detik berikutnya langsung dibalas Samudera "Beneran? Jangan bohong."
Kirana memutar bola mata. Anak ini kenapa sih cerewet banget? "Beneran, Sam. Aku sarapan. Roti sama teh."
Samudera membalas dalam 3 detik. "Oke. Good. Kalau kamu pingsan di kampus, aku juga yang repot."
Kirana spontan tersenyum tipis. Masih ada orang yang peduli. Walaupun bukan dari keluarganya. Walaupun baru mengenalnya dan mereka tidak sedekat itu. Tapi faktanya Samudera peduli. Dan itu cukup membuat hari Kirana terasa sedikit lebih ringan.
jatuh cinta .wa ea aa
ditunggu lanjutannya
mami pikirannya udah menjurus kesana🤭