Setelah menumbangkan Tuan Tua, James mengira semuanya sudah selesai. Namun, di akhir hidupnya, pria itu justru mengungkapkan kebenaran yang tak pernah James duga.
Dalang di balik runtuhnya keluarga James bukanlah Tuan Tua, melainkan Keluarga Brook yang asli.
Pengakuan itu mengubah arah perjalanan James. Ia sadar ada musuh yang lebih besar—dan lebih dekat—yang harus ia hadapi.
Belum sempat ia menggali lebih jauh, kemunculan lelaki tua secara tiba-tiba:
Edwin Carter, penguasa Pulau Scarlett yang ternyata adalah ayah kandung Sophie.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
YAMI!!
Ruang Tamu
"Kau boleh pergi ke mana saja, Nak. Mama tidak akan pernah menghentikanmu. Aku tidak berhak mengikatmu—kau sudah menjadi pria dewasa dan bertanggung jawab sekarang. Satu-satunya hal yang penting... tolong, kembalilah ke rumah padaku."
Ekspresi James berubah. Dia sedikit mencondongkan tubuh ke depan, suaranya tenang. "Mama, aku akan selalu kembali padamu. Aku janji."
Sophie tersenyum, meski matanya tampak sedikit berkaca-kaca. "Kau bilang tadi akan pergi ke mana?"
"Austin," jawab James.
Senyumnya melebar. "Itu tempat yang indah. Jangan hanya mengubur dirimu dalam pekerjaan. Nikmati waktumu juga."
Dari samping, Julian menyahut dengan suara tenangnya. "Dan hubungi kami kalau kau memiliki waktu luang."
James mengangguk, senyum tipis menarik sudut bibirnya. "Aku akan melakukannya."
Sophie bersandar ke belakang, mengusap tangannya di pangkuan seolah ingin meredakan emosi. "Selamat malam, sayang. Sekarang istirahatlah. Austin jauh."
"Selamat malam, Mama. Selamat malam, Ayah."
Pagi
Matahari terbit cerah. Dengan tas yang sudah dikemas, James melambaikan tangan perpisahan saat Sophie dan Julian berdiri di ambang pintu. Chloe dan Felix mengintip dengan mata mengantuk dari belakang Mama mereka, tangan mengusap mata, tetapi mereka tetap melambaikan tangan.
James mengangkat tangan membalas, lalu berbalik menuju mobil yang menunggu.
Tak lama kemudian, ia sudah berada di bandara. Di gerbang keberangkatan, Sayaka sudah berdiri di sana.
James mendekat, bibirnya melengkung membentuk senyum ringan. "Ohayo, Sayaka."
Dia meliriknya, bibirnya membentuk senyum paling kecil. "Selamat pagi, James."
Bersama-sama, mereka memasuki bandara.
"Jam berapa penerbangan kita?" tanyanya setelah sejenak.
James mengangkat alisnya. "Apakah kau masih ada yang harus dilakukan di sini?”
Sayaka menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak... hanya bertanya."
"Kalau begitu kita berangkat sekarang."
"Eh?" Matanya sedikit membesar.
James menyeringai, sedikit terhibur. "Ayo kita pergi."
Jet pribadi mewah itu menunggu di landasan. Tanpa ragu, mereka naik.
Di dalam, kursi kulit dan kayu mewah. Mesin menderu lembut, dan jet itu terangkat.
Sayaka duduk diam, pandangannya terpaku ke jendela, bibirnya terkatup rapat. Keheningan merentang di antara mereka.
James bersandar, satu alis terangkat. "Kenapa kau begitu diam?"
Dia ragu sejenak, lalu mengaku lirih, "Aku belum pernah terbang dengan pesawat pribadi sebelumnya..."
James tertawa, "Yah, semuanya ada pertama kalinya."
Sayaka menoleh, menangkap senyum santainya.
..
Citadel City — Perusahaan Utama ACE
Diane melangkah cepat masuk ke kantor Silvey, sebuah map di tangannya. "Nona muda," dia memulai dengan suara direndahkan, "Tuan Kyle sudah kembali."
Silvey, yang bersantai di kursinya sambil memegang tablet, mengangkat pandangan perlahan. "Kapan?"
"Mungkin tadi malam," jawab Diane hati-hati. "Aku tidak bisa memastikan. Tapi dia menggantikan seluruh detail keamanannya."
Silvey memiringkan kepala, alisnya menyempit. "Apakah itu hal yang mengkhawatirkan?"
"Tidak dengan sendirinya," akui Diane. "Tapi perubahannya mendadak. Dan tim keamanan barunya—mereka bukan orang lokal. Dari penampilan dan disiplin mereka, aku akan mengatakan kalau mereka orang Porue. Mungkin mantan militer."
Silvey meletakkan tablet dengan bunyi klik, bibirnya melengkung membentuk senyum samar yang sulit dibaca. "Apa yang sedang ia mainkan?"
Diane menggelengkan kepalanya. "Tidak tahu. Tapi pagi ini dia langsung menuju ACE Finances. Aku rasa dia... serius kali ini."
Ruangan itu tenggelam dalam keheningan.
Lalu Silvey bersandar kebelakang, menyilangkan kaki, matanya berkilat dengan tawa. "Tidak masalah dengan itu. Biarkan dia bermain-main."
Diane sedikit mengernyit.
Silvey melanjutkan, "ACE Finances mungkin berkontribusi besar bagi nama keluarga, tapi itu tetap tidak menentukan siapa yang memimpin keluarga. Bagian itu—" ia mengetuk meja pelan, "—masih belum ditetapkan."
BANDARA
Pesawat mendarat mulus di Haneda, ban berdecit singkat sebelum pesawat melambat di landasan. Dalam waktu satu jam, James dan Sayaka melangkah keluar ke udara Austin yang sejuk.
Sayaka menyesuaikan tali tas kecilnya. "Dari sini, kita perlu helikopter untuk mencapai pulau klan. Aku akan menghubungi orang-orangku untuk lokasi penjemputan."
James menggelengkan kepalanya ringan. "Belum. Berikan aku dua jam untuk menyelesaikan beberapa urusan di sini. Ikutlah denganku."
Dia memiringkan kepalanya, bingung, tetapi mengangguk patuh. "Baik."
Mereka bergerak menuju area penjemputan. Hampir bersamaan, sebuah sedan hitam ramping berhenti di depan mereka.
Sopirnya turun—seorang pria bersetelan gelap. Dia membungkuk sedikit. "Tuan Brook, aku Satoshi. Ini kendaraan Anda."
James membalas dengan anggukan. "Hai, Satoshi."
Mereka masuk ke kursi belakang. Sayaka, diam namun penasaran, mengikuti di belakang.
Setelah pintu tertutup, sopir itu menyesuaikan kaca spion. "Ke mana, Tuan?"
Suara James tenang. "Ryūsui Dōjō."
"Dimengerti. Kita berangkat sekarang."
Sayaka menoleh padanya, keningnya sedikit berkerut. "Sebuah dōjō?"
James meliriknya, bibirnya melengkung membentuk senyum tipis. "Aku punya seorang teman di sana. Tidak akan lama. Setelah itu kita akan pergi. Hubungi klanmu sementara ini, minta lokasi penjemputan.”
Sayaka ragu sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah." Dia mengeluarkan ponselnya, jari-jarinya bergerak cepat, sebuah pesan singkat terkirim.
Kota melintas kabur di balik jendela—jalan-jalan sibuk, papan iklan tak berujung, arus manusia yang bergerak dengan tujuan.
Akhirnya, mobil melambat dan berhenti di sebuah jalan sepi yang tersembunyi.
Satoshi menoleh. "Kita sudah sampai, Tuan."
James dan Sayaka turun.
"Aku akan menunggu di sini," tambah Satoshi. "Silahkan selesaikan urusan Anda."
"Terima kasih, Satoshi," kata James singkat.
Pandangan Sayaka tertuju pada papan kayu kecil yang tergantung miring di atas gerbang. Tulisannya, meski sudah pudar: Ryūsui Dōjō.
Tempat itu sederhana, hampir tak mencolok di antara dinding beton kota. Namun melangkah melewati pintu geser terasa seperti memasuki dunia lain.
Udara langsung berubah—lebih sejuk, lebih sunyi, membawa aroma samar kayu cedar dan tikar tatami.
Sepatu-sepatu tersusun rapi di area masuk, rak rendah menunggu para pengunjung meletakkan alas kaki mereka. Di baliknya terbentang aula latihan.
Lentera kertas tergantung di sepanjang dinding, menerangi gulungan kaligrafi. Pedang Kayu Bokken tersusun rapi di rak di satu sisi, sementara di dinding seberang tergantung tombak dan tongkat, masing-masing terawat dan mengilap meski telah berumur.
Di ujung ruangan berdiri sebuah kuil kecil, dengan wadah dupa dan sebuah potret pendiri dōjō yang tergantung. Jejak samar asap kayu cendana masih menggantung di udara.
Bibir Sayaka sedikit terbuka saat ia memandang sekeliling, suaranya nyaris berbisik. "Rasanya... hidup."
James melangkah maju, tapi tiba-tiba seorang pria berpakaian gi putih melangkah maju dari sisi jauh aula dengan ekspresi tajam. Percakapan samar di dōjō langsung mereda saat ia mendekat.
"Ini bukan tempat untukmu, orang asing," katanya dengan blak-blakan, nadanya terdengar meremehkan. "Ryūsui Dōjō hanya mengajar mereka yang memiliki akar di tanah ini."
Matanya melirik ke arah Sayaka, menyempit. "Dia mungkin bisa bergabung... tapi dia harus membuktikan dirinya terlebih dahulu."
Bibir James melengkung membentuk tawa kecil. "Percayalah, kau tidak ingin macam-macam dengannya. Aku tidak datang kesini untuk pelajaran. Aku ingin bertanya sesuatu padamu."
Pria itu mendengus. "Benarkah? Lucu sekali." Dia mengibaskan tangan. "Salah satu dari kalian—maju. Jika dia lulus, mungkin baru aku akan mendengarkan ‘pertanyaanmu’."
Seorang murid muda melangkah maju, membungkuk cepat sebelum mengambil posisi di tengah tatami.
Sayaka melirik James, matanya mencari kepastian.
Dia memberinya satu anggukan.
Posturnya berubah seketika. Ketenangan berubah menjadi fokus tajam.
Murid itu menerjang. Dalam sekejap mata, tubuh Sayaka berputar, tangannya menyambar seperti ular berbisa. Anak laki-laki itu terhempas keras ke lantai sebelum siapapun sepenuhnya menyadari apa yang terjadi. Desah kaget merambat di ruangan.
James kini tertawa keras, menggelengkan kepala. "Sudah kubilang."
Para murid yang tadi berbisik-bisik kini terdiam, menatap dengan mata terbelalak. Bahkan pria berpakaian gi itu tampak membeku, ketidakpercayaan jelas di wajahnya.
Nada James menajam, "Sekarang. Jawablah pertanyaanku. Di mana Rei? Aku ingin bertemu dengannya."
Pria itu menegakkan tubuh, berusaha memulihkan wibawanya. "Sensei sedang sibuk. Datanglah besok."
Senyum James memudar. Dia melangkah maju, "Benarkah? Baiklah. Bertarunglah denganku. Jika kau menang, aku akan pergi dengan tenang. Tapi jika kau kalah... kau akan memanggil Rei ke sini. Sekarang."
Udara dōjō menegang. Tantangannya jelas.
Para pria berpakaian gi itu meledakkan tawa keras yang mengejek.
"Kau pikir, orang asing sepertimu, bisa mengalahkanku di tanahku sendiri? Aku akui dia sangat berbakat—dia memang pantas berada di sini. Tapi kau? Lemah. Kau bahkan tidak akan bisa menyentuh sehelai rambutku."
Bisik-bisik pecah di antara para murid yang berjajar di sepanjang dinding.
"Apakah orang asing ini gila?"
"Dia akan dipatahkan tulangnya."
"Yami-san bahkan tak perlu bersusah payah."
James memiringkan kepala sedikit, seringai menarik sudut bibirnya. "Benarkah?"
Gumaman semakin riuh. Menantang Yami di sini adalah hal yang tak terpikirkan.
Yami—murid senior Ryūsui Dōjō. Dia adalah kebanggaan ditempat itu, murid paling berbakat di bawah Sensei Rei. Kecepatan dan kekuatannya melegenda di antara murid-murid muda, dan kepercayaan dirinya mutlak.
Yami melangkah maju, menggerakkan bahunya, pakaian gi nya berdesir lembut. Kehadirannya membuat para murid sedikit menundukkan kepala saat ia lewat.
"Namaku Yami," dia mendeklarasikan, suaranya bergaung dengan kebanggaan. "Siapa namamu, orang asing?"
Senyum James tak pudar. "Panggil aku James."
Yami menyeringai. "Baiklah, James. Begini kesepakatannya. Jika kau masih bisa berdiri setelah menerima dua pukulan dariku, kau menang."
Kepercayaan diri dalam nadanya tak tergoyahkan, seperti batu.
James mengangkat bahu ringan, suaranya tenang. "Hm. Baiklah. Mudah bagiku."
Jawaban santai itu membuat urat di pelipis Yami menonjol. Kepalan tangan nya mengencang, napasnya tajam lewat hidung.
"Kita mulai," geram Yami, melangkah ke dalam arena.
Para murid condong ke depan, mata terbelalak, menanti benturan.
James hanya memutar bahunya sekali, senyumnya tetap tenang, nyaris terhibur.
Semangat buat Author..