Dibawah langit kerajaan yang berlumur cahaya mentari dan darah pengkhianatan, kisah mereka terukir antara cinta yang tak seharusnya tumbuh dan dendam masa lalu yang tak pernah padam.
Ju Jingnan, putri sulung keluarga Ju, memegang pedang dengan tangan dingin dan hati yang berdarah, bersumpah melindungi takhta, meski harus menukar hatinya dengan pengorbanan. Saudari kembarnya, Ju Jingyan, lahir dalam cahaya bulan, membawa kelembutan yang menenangkan, namun senyumannya menyimpan rahasia yang mampu menghancurkan segalanya.
Pertemuan takdir dengan dua saudari itu perlahan membuka pintu masa lalu yang seharusnya tetap terkunci. Ling An, tabib dari selatan, dengan bara dendam yang tersembunyi, ikut menenun nasib mereka dalam benang takdir yang tak bisa dihindari.
Dan ketika bunga plum mekar, satu per satu hati luluh di bawah takdir. Dan ketika darah kembali membasuh singgasana, hanya satu pertanyaan yang tersisa: siapa yang berani memberi cinta di atas pengorbanan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NurfadilaRiska, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Takdir Kita
Keesokan paginya, cahaya mentari perlahan menyusup ke sela-sela pegunungan Longfeng, menyinari Tempat pelatihan Militer Junwei Jun dengan warna keemasan yang tenang. Udara pagi terasa segar, seolah turut menghapus sisa hiruk-pikuk perayaan semalam.
Di dalam kamarnya, Jingnan terbangun lebih awal dari biasanya. Ia duduk sejenak di tepi ranjang, menyadari sesuatu yang jarang ia rasakan—tidurnya semalam begitu nyenyak, tanpa mimpi buruk, tanpa kegelisahan yang biasanya mengganggu.
Ia mengernyit pelan, lalu tersenyum tipis.
“Apa karena aku mabuk semalam gara-gara terlalu banyak menghabiskan arak?” gumamnya ringan.
Jingnan berdiri, merapikan pakaiannya. “Kalau tahu begitu, sejak dulu aku seharusnya minum arak saja sebanyak-banyaknya agar cepat tertidur,” katanya setengah bercanda, senyum tipis masih terukir di wajahnya.
Ia melangkah keluar kamar. “Aku akan mandi terlebih dahulu,” ujarnya pada dirinya sendiri.
“Setidaknya mulai sekarang aku tak akan kesulitan untuk tidur lebih awal lagi.”
......................
Sementara itu, di sisi lain tempat pelatihan, suasana pagi dipenuhi kesibukan. Weifeng, Wei Yu, dan Ling An membantu para prajurit membersihkan sisa-sisa pesta semalam. Meja dan bangku kayu diangkat ke tepi, peralatan makan dicuci, sementara beberapa prajurit sibuk menyapu tanah yang masih berbau arak dan daging panggang.
Tak lama kemudian, Mei Yin dan Jingyan datang. Tanpa ragu, Jingyan segera ikut membantu.
“Biar aku saja yang membersihkannya,” ucap Jingyan sambil meraih salah satu peralatan.
“Tidak, Putri, tidak perlu,” salah seorang prajurit segera menghentikannya dengan nada sungkan.
“Tidak apa-apa,” jawab Jingyan lembut. “Aku sendiri yang ingin membantu kalian.”
“Tidak perlu putri, itu tidak pantas untuk seorang putri,” sela Qingshan dengan senyum sopan.
“Tapi—”
Belum sempat Jingyan menyelesaikan kalimatnya, sebuah suara memanggilnya.
“Yanyan.”
Jingnan telah datang.
“Jiejie,” Jingyan tersenyum manis dan segera mendekat ke arahnya. Baru beberapa langkah berjalan di samping Jingnan, Jingyan menyadari sesuatu yang janggal. Ia menoleh ke belakang.
“Mei… eh, dia di mana?” tanyanya heran.
“Dia sudah di sana,” jawab Jingnan sambil menunjuk ke arah Mei Yin.
Tak jauh dari mereka, Mei Yin tampak sibuk mengamati berbagai senjata latihan—tombak, pedang, dan busur. Matanya berbinar penuh rasa ingin tahu, tangannya sesekali menyentuh gagang senjata dengan kekaguman polos.
“Jie,” ujar Jingyan sambil tersenyum kecil, “semalam Mei Yin bilang ia ingin menetap di sini bersamamu.”
Jingnan menghela napas kecil. “Aiss… kalau Mei Yin benar-benar tinggal di sini, apa tempat ini akan baik-baik saja?” katanya dengan nada kesal bercampur geli.
“Katanya kalau di sini ia bisa makan daging panggang sebanyak yang ia mau,” lanjut Jingyan, “sedangkan di istana ia harus menaati peraturan dan tata krama.”
“Itulah sebabnya aku selalu kembali ke sini,” ujar Jingnan sambil tersenyum.
“Di sini aku bebas melakukan apa pun, tanpa harus memikirkan aturan istana yang membosankan.”
Ia melirik Jingyan. “Yanyan, apa kau tidak bosan terlalu lama berada di dalam istana?”
Jingyan terdiam sejenak, lalu tersenyum. “Aku ingin menjawab iya… tapi juga ingin mengatakan tidak.”
“Mungkin karena aku sudah terbiasa dengan peraturan dan tata krama di sana,” lanjutnya sambil menatap langit biru yang terbentang cerah.
Jingnan ikut menatap langit. “Seandainya kita ditakdirkan menjadi rakyat biasa…dan hidup damai bersama keluarga,” katanya pelan.
Senyumnya memudar. “Mungkin ayah masih ada bersama kita.”
Air mata jatuh perlahan dari sudut matanya, namun ia segera menyekanya.
Jingyan menoleh, menatap kakaknya sejenak, lalu mengalihkan pandangan ke depan. “Ini takdir kita, Jie,” ucapnya lembut.
Ia tersenyum tipis. “Melihat Jiejie yang sekarang, ayah pasti sangat bangga. Jiejie berhasil membawa perdamaian bagi kerajaan-kerajaan sekutu kita.”
“Andai tidak ada perang di dunia ini,” lanjut Jingyan lirih, “dan hanya ada perdamaian… mungkin dunia akan setenang ini.”
Ia memandang para prajurit yang mulai berbaris rapi untuk pelatihan pagi ini.
“Dunia akan tenang, Yanyan,” jawab Jingnan. “Namun sebelum ketenangan itu tercapai, kita harus berperang. Jika tidak, tanah kita—bahkan kita sendiri—akan lenyap di tangan musuh.”
“Bukankah perang juga bisa merenggut nyawa kita, Jie?” tanya Jingyan pelan.
“Setidaknya,” jawab Jingnan tegas namun penuh beban, “dengan beberapa nyawa yang gugur, ribuan nyawa lainnya bisa hidup damai setelahnya.”
Jingyan terdiam.
Apa yang dikatakan kakaknya benar. Namun jauh di lubuk hatinya, Jingyan tetap membenci perang. Baginya, perang hanya membawa kehilangan—seperti ayah mereka, yang gugur secara tragis bertahun-tahun yang lalu.
Langit tetap cerah, dan angin tetap berhembus tenang—
namun hati manusia tak pernah benar-benar bebas dari takdirnya.
semangat teruslah aku dukung🔥❤️