Hana Hafizah menjadi perempuan paling tidak beruntung ketika ayah dan ibu memintanya untuk menikah, tetapi bukan dengan lelaki pilihannya. Ia menolak dengan tegas perjodohan itu. Namun, karena rasa sayang yang dimilikinya pada sang ayah, membuatnya menerima perjodohan ini.
•••
Gadibran Areksa Pratama. Dosen muda berumur 27 tahun yang sudah matang menikah, tetapi tidak memiliki kekasih. Hingga kedua orang tuanya berkeinginan menjodohkannya dengan anak temannya. Dan dengan alasan tidak ingin mengecewakan orang yang ia sayangi, mau tidak mau ia menerima perjodohan ini.
•••
“Saya tahu, kamu masih tidak bisa menerima pernikahan ini. Tapi saya berharap kamu bisa dengan perlahan menerima status baru kamu mulai detik ini.”
“Kamu boleh dekat dengan siapapun, asalkan kamu tahu batasanmu.”
“Saya akan memberi kamu waktu untuk menyelesaikan hubungan kamu dengan kekasih kamu itu. Setelahnya, hanya saya kekasih kamu. Kekasih halalmu.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RahmaYusra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Kekasih Halalmu – Iya?
Hana tahu Galang bukan yang laki-laki baik saat mereka pertama kali saling mengenal. Tetapi dirinya juga yakin kalau Galang sudah berubah sejak mereka mulai serius untuk memulai hubungan. Hal itu selalu menjadi pegangan Hana sehingga hubungan mereka bisa bertahan hingga tiga tahun ini.
Namun di sisi lain, hal itu justru sangat mudah dibuat goyah, ketika papanya secara tidak langsung mengatakan kalau Galang sama sekali belum berubah.
Bahkan lebih parah.
Papa bahkan dengan berani mengambil keputusan untuk menjodohkannya dengan anak dari sahabatny dengan alasan mereka sudah dijodohkan sejak kecil. Sangat tidak masuk akal. Tetapi itulah yang terjadi.
Kemudian entah mendapat ide dari mana, Hana dengan berani mengajak Dibran bertemu dan berbicara empat mata. Hana menghela napasnya sejenak, lalu menatap Dibran yang masih sibuk dengan ponselnya.
“Mas menerima perjodohan ini?”
Jemari Dibran berhenti ketika melanjutkan kegiatan membuka pesan e-mail dari beberapa mahasiswa yang mengirimkan tugas padanya. Dibran mengangkat kepala dan langsung menatap mata hitam pekat milik Hana yang nampak bersinar karena cahaya senja. Baru kali ini perempuan itu menatap dirinya begitu lurus seperti ini.
Sejenak, Dibran hanya terdiam sambil terus menatap Hana dengan tatapan datar namun dalam. Hana juga ikut menatap Dibran menuntut sebuah jawaban. Hingga beberapa menit kemudian, Dibran menundukkan kepalanya sambil menyimpan ponsel ke saku celana miliknya.
Sambil menghela napas perlahan Dibran mengatakan sesuatu pada perempuan yang duduk dihadapannya.
“Kamu menerima perjodohan ini?” sayangnya Dibran tidak memberikan jawaban. Pria matang itu malah membalikkan pertanyaan membuat Hana mengernyit tidak suka.
“Saya bertanya lebih dulu.”
“Salah jika saya menanyakan hal yang sama?”
Hana memejamkan matanya sejenak menahan kekesalan, kemudian menghembuskan napas pendek.
Baiklah, ia sedang tidak ingin berdebat saat ini. Lebih baik dijawab saja pertanyaan itu.
“Sebelumnya saya mau minta tolong.” Hana berkata dan Dibran nampak tertarik dengan hal itu.
“Saya yakin Mas pasti udah tau hal apapun tentang saya.”
“Nggak.”
Hana nampak tidak percaya. “Mas becanda?”
“Saya terlihat sedang becanda?”
Entah sudah helaan keberapa yang Hana lakukan, tapi laki-laki didepannya ini memang sangat-sangat menguras tenaganya.
“Galang, dia. pacar. saya. Dan kami udah pacaran tiga tahun. Hubungan kami baik-baik, aja. Papa sama Mama juga suka sama Galang. Tapi ... tiba-tiba mereka berubah sejak beberapa bulan ini. pandangan mereka berubah sama Galang.”
“Karena?”
“Papa cuma bilang, Galang ... dia baik. Tapi Papa nggak mau kalau aku sama Galang sampai bersama.”
Dibran mengangguk pelan. “Jadi apa yang bisa saya bantu?”
“Bantu saya selidiki Galang.”
“Permisi, Mbak, Mas.”
Dibran dan Hana menoleh saat suara pramusaji terdengar. Hingga saling tatap itu langsung menghilang. Keduanya tersenyum dan mengangguk seadanya dan mengucapkan terimakasih.
“Oke, saya akan bantu kamu.”
Hana kembali akan bersuara ketika telapak tangan Dibran terangkat ke wajahnya. “Kita lanjutkan nanti, makan dulu.”
Hana terlihat keberatan tetapi sepertinya laki-laki ini tipe orang yang tidak ingin banyak bicara didepan makanan, maka dari itu, Hana memilih menurut.
Mereka pun mulai menyantap makanannya dalam keheningan. Ya, memang hening, karena keduanya terlihat begitu lahap saat menyuapkan satu persatu makanan itu ke mulut mereka. Kelihatannya saja. Sebab Hana sendiri belum bisa merasakan kenyamanan sebelum semuanya selesai ia katakan.
Satu hal yang ingin ia katakan pada Dibran sudah selesai. Tinggal satu lagi.
Sesekali Hana menoleh pada Dibran yang sangat lahap, tapi hal itu justru menjadi booomerang padanya. Sebab Hana malah terpaku pada hamba Allah didepanya ini.
Tampan!
Eh? Dengan segera Hana menggelengkan kepalanya saat pemikiran aneh itu menyeruak di kepala dan terucap oleh hatinya. Tetapi bukannya laki-laki ini memang tampan? Lalu apa masalahnya?
Dia juga bakal jadi tunangannya, bukan? Apa salah punya pemikiran itu?
Eh?
Aihh!
Lagi! Hana lagi-lagi menggelengkan kepalanya. Sedikit memukul kepalanya dengan kepalan tangan. Ia pun meminum air putih yang ada di sampingnya hingga setengah gelas.
Kelakuan Hana ini membuat Dibran yang melihatnya sedikit merasa heran. Keningnya mengkerut. “Ada apa?” tanyanya.
“Hm?” Hana mendongak lalu menggeleng cepat. Kemudian kembali melanjutkan makannya. Dibran juga begitu, setelah mengedikkan bahunya ia juga kembali melahap makanannya.
Rooftop restaurant ini yang tadinya hanya berisi mereka berdua, sekarang sudah mulai ramai karena pengunjung makin banyak. Kaum muda yang paling mendominasi bagian ini. Ya. Tentu saja. Selain sangat indah dan bagus, tempat ini memang dijadikan si pemilik restoran untuk anak-anak muda. Lebih tepatnya sebagai tempat bersantai, lalu dilantai bawah lebih terkesan untuk sesuatu yang lebih formal. Untuk makan malam, rapat, pertemuan keluarga dan lainnya.
Sebab itulah, tempat ini didominasi oleh kaum muda. Toh, ini memang untuk mereka.
Dibran menyudahi makanannya terlebih dahulu. Kemudian disusul oleh Hana yang juga sudah menghabiskan semua makanannya. Mereka minum kemudian sejenak menatap kehamparan langit yang sedang bagus. Matahari yang hampir terbenam, sehingga menampilkan golden hour yang menakjubkan.
Sejenak, dua insan itu fokus pada apa yang sedang mereka lihat. Hingga tanpa sadar menghasilkan senyuman yang mengisyaratkan rasa syukur karena bisa melihat sebuah keajaiban yang seperti ini.
Mereka duduk berhadapan, sehingga saat Dibran memalingkan wajah terlebih dahulu secara tidak sengaja melihat Hana yang masih tersenyum. Dibran terpana. Jika Golden hour menakjubkan, maka makhluk Allah yang sedang duduk dihadapannya sambil tersenyum seperti itu sangat mengagumkan.
Tersadar, Dibran akhirnya berdehem. Yang juga berhasil membuat Hana sadar. “Ada lagi?”
Habis sudah ternyata waktu Hana untuk menikmati pemandangan yang sangat menakjubkan itu. Selesai makan lalu menikmati udara sore disertai golden hour bersama hamparan gedung-gedung pencakar langit begini terlihat begittu tenang. Sudah lama juga rasanya Hana tidak merasakan hal ini.
Senyumnya terkembang dengan sangat manis sambil membayangkan hal-hal indah yang pernah ia alami
selama hidupnya.
“Menurut Mas, saya harus ngapain?”
Sambil terus memandangi matahari yang hampir hilang dibalik salah satu gedung tinggi itu, Hana melontarkan pertanyaan yang tidak dijawab oleh Dibran.
Lelaki itu hanya mengerutkan kening tanpa berniat menjawab.
Sebelum melanjutkan perkataannya, Hana menarik napas pendek. “Saya anak tunggal dari kecil juga sering ditinggal pergi karena Papa sama Mama ada kesibukan lain, tapi jujur, saya nggak pernah kehilangan kasih sayang mereka.”
Hana mulai mengingat hal-hal manis dalam hidupnya. “Mereka beliin saya mainan, nemenin saya tiap mau tidur, antar-jemput sekolah, liburan bareng juga sering. Pokoknya saya nggak kehilangan sosok mereka walaupun keduanya sibuk ke sana-sini. Apapun yang mereka mau saya turuti, saya juga jarang minta sesuatu yang berlebihan ke mereka.”
Tiba-tiba mata Hana berubah meredup. Tidak lagi nampak ceria. “Tapi kok ini, berat banget ya, Mas? Tiba-tiba banget permintaan mereka susah banget buat aku turuti?”
Hana lalu menatap Dibran.
“Mas menerima perjodohan ini?” lagi pertanyaan yang sama yang diajukan oleh Hana. Hal yang paling ingin ia ketahui. Apakah laki-laki ini menerima perjodohan ini?
Dibran berdehem karena kaget tiba-tiba Hana menatapnya begitu intens. Ia mengambil minum untuk menghilangkan jejak salah tingkahnya. Sial!
Apakah ia ketahuan sedang memperhatikan perempuan itu?
Sial, sial, sial!
Kenapa Hana terlihat sangat cantik saat dia sedang melamun?!
“Kamu sendiri?” tanyanya setelah berhasil mengendalikan diri.
Hana menggeleng sambil menghela pelan. “Saya bingung.”
“Kamu boleh menolak perjodohan ini kalau kamu tidak suka. Saya tidak akan memaksa. Lagi pula orang tua kita sudah menyerahkan keputusan ini pada kita. Jadi apapun hasilnya nanti, seharusnya sudah mengerti.”
“Mas sendiri?”
Dibran sekali lagi memperhatikan perempuan cantik dihadapannya. Lalu mengatakan, “Tidak ada salahnya mengikuti permintaan orang tua.”
***