Dibuang oleh ibu, dipertemukan oleh takdir, dan diakhiri oleh waktu.
Hidup Angkasa mungkin singkat,
tapi cintanya… abadi dalam setiap detak jantung yang ia tinggalkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Secepatnya
…suamimu.”
Dua kata itu jatuh ke dalam keheningan kamar 702 seperti batu yang dilempar ke danau beku. Tidak ada riak, hanya retakan sunyi yang merambat ke segala arah, mengancam akan menghancurkan permukaan tipis ketegaran yang tersisa. Lila berdiri mematung, botol air mineral di tangannya terasa sedingin es, mengancam akan tergelincir dari genggamannya yang tiba-tiba lemas. Otaknya berputar, mencoba menyambungkan kalimat itu dengan semua realitas kejam yang telah mereka hadapi, tetapi hasilnya tetap sama, absurd, menyakitkan, dan entah kenapa, begitu indah.
“Apa?” bisik Lila, suaranya nyaris hilang ditelan bunyi teratur monitor EKG Gilang.
Bunyi bip… bip… bip… itu, yang biasanya menjadi musik latar kehidupan, kini berubah menjadi detak jam kematian yang menghitung mundur sisa waktu mereka.
Gilang, yang masih duduk di tepi ranjang Angkasa, mengangkat kepalanya. Wajahnya yang basah oleh air mata kini menampilkan ekspresi kebingungan total.
“Suami? Kak… kalian ngomongin apa, sih?”
Angkasa tidak melepaskan tatapannya dari Lila. Ada ketenangan di matanya yang menakutkan, kedamaian seseorang yang telah melihat garis finis dan tidak lagi takut untuk berlari ke arahnya.
“Aku serius, La. Aku mau seminggu ini nyata. Bukan sebagai pasien dan perawat. Bukan sebagai dua orang yang terperangkap takdir. Aku mau kita menjalaninya sebagai suami dan istri.”
Lila menggelengkan kepalanya dengan gerakan patah-patah. Sebuah penolakan refleksif yang keluar dari logikanya sebagai seorang perawat, sebagai seorang wanita yang waras.
“Jangan gila, Mas. Kamu lagi sakit parah. Kita semua lagi… lagi kacau.” Napasnya tersengal, seolah udara di ruangan itu tiba-tiba menipis.
“Menikah? Untuk apa? Supaya aku bisa jadi janda dalam seminggu? Kamu sadar nggak sih apa yang kamu minta?”
Pertanyaan itu tajam dan penuh luka, tetapi Angkasa menerimanya tanpa gentar.
“Justru karena aku sakit. Justru karena waktuku tinggal seminggu,” balasnya lembut, namun nadanya tak tergoyahkan.
“Aku nggak mau pergi sebagai Angkasa si anak panti, si penderita anemia aplastik yang sebatang kara. Aku mau pergi sebagai suamimu.”
Genggamannya pada jemari Lila mengerat, sekuat yang tenaganya izinkan.
“Selama ini, hidupku nggak punya nama, La. Nggak ada keluarga, nggak ada akar. Aku cuma… Angkasa. Tapi kalau aku pergi sebagai suamimu, aku punya status. Aku punya seseorang. Aku punya keluarga.” Ia tersenyum, senyum paling getir dan paling tulus yang pernah Lila lihat.
“Aku mau di nisan nanti, namaku bukan cuma Angkasa. Tapi Angkasa, suami tercinta dari Lila. Aku mau Gilang, secara teknis, jadi adik iparku. Kita jadi keluarga sungguhan, walau cuma sesaat.”
Permintaan itu bukan lagi sebuah lamaran romantis. Itu adalah sebuah testamen. Pernyataan terakhir dari jiwa yang lelah mencari tempat berpulang.
Lila menatap pria di hadapannya. Pria yang semakin kurus, yang kulitnya sepucat dinding rumah sakit, tetapi jiwanya bersinar lebih terang dari sebelumnya. Hatinya terbelah dua. Satu sisi menjerit, memberontak pada ide gila ini. Menikah hanya untuk berpisah selamanya? Mengucapkan janji suci yang masa berlakunya lebih pendek dari masa garansi barang elektronik? Itu adalah penyiksaan.
Tetapi sisi hatinya yang lain… sisi itu berbisik dengan suara yang berbeda. Ini bukan tentang dirinya. Ini bukan tentang rasa sakitnya menjadi janda atau kesedihannya di masa depan. Ini tentang Angkasa. Tentang memberikan satu-satunya hal yang tidak pernah ia miliki seumur hidupnya: sebuah identitas, sebuah tempat, sebuah kepemilikan. Memberinya akhir yang utuh untuk sebuah kehidupan yang selalu terpecah belah.
Ia melirik Gilang. Adiknya menatap mereka berdua dengan mata yang kini mulai mengerti. Di sana tidak ada lagi kebingungan, hanya kesedihan mendalam dan kekaguman yang meluap. Gilang melihat Angkasa bukan sebagai orang sakit yang putus asa, melainkan sebagai ksatria yang sedang memilih sendiri pedang untuk pertarungan terakhirnya.
“Kak…” panggil Gilang pelan, suaranya serak.
“Lakuin aja apa yang Kak Angkasa mau.”
Lila kembali menatap Angkasa. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya luruh, mengalir deras tanpa isak. Ia melihat seluruh perjalanan mereka dalam sekejap, pertemuan canggung di kamar ini, persahabatan yang tumbuh di antara bau disinfektan, cinta yang mekar di tengah keputusasaan, dan kini, sebuah permintaan untuk meresmikan tragedi mereka.
Bagaimana bisa ia menolak? Bagaimana bisa ia membiarkan pria yang telah memberinya begitu banyak cinta pergi dengan tangan hampa? Ketakutannya sendiri terasa begitu kecil dan egois dibandingkan dengan permintaan terakhir Angkasa.
Dengan langkah pelan, ia mendekati ranjang. Ia meletakkan botol air di nakas, lalu duduk di samping Gilang, menghadap Angkasa. Ia meraih tangan pria itu dengan kedua tangannya, merasakan betapa dingin dan rapuhnya jemari itu.
“Oke,” bisik Lila, suaranya bergetar tetapi tegas.
“Kita lakukan.”
Angkasa menahan napas. Matanya berkaca-kaca.
“Kita menikah,” lanjut Lila, menatap lurus ke dalam mata Angkasa, mencoba menyalurkan seluruh sisa kekuatannya.
“Tapi kamu janji… kamu akan jadi suami terbaik yang pernah ada di dunia ini, meskipun cuma untuk sebentar.”
Angkasa mengangguk cepat, air matanya akhirnya jatuh.
“Aku janji, La. Aku janji.”
“Bagus,” kata Lila sambil mencoba tersenyum di antara air matanya. Ia mengusap pipi Angkasa dengan punggung tangannya.
“Jadi… bagaimana caranya? Kita nggak punya surat-surat. Kita nggak punya apa-apa.”
“Kita nggak butuh itu semua,” sahut Angkasa cepat, semangat baru menjalari suaranya yang lemah.
“Kita cuma butuh penghulu, saksi, dan janji. Aku sudah tanya perawat senior, ada staf kerohanian rumah sakit yang bisa menikahkan secara darurat.”
“Saksi?” ulang Lila.
Angkasa dan Lila sama-sama menoleh ke arah Gilang. Remaja itu langsung menegakkan punggungnya.
“Gue,” katanya mantap.
“Gue saksinya. Gue bakal jadi saksi terbaik.”
Sebuah tawa kecil yang sarat dengan air mata lolos dari bibir Lila.
“Keluarga kita aneh banget, ya?”
“Keluarga terbaik,” koreksi Angkasa. Ia meremas tangan Lila.
“Kalau gitu, kapan?”
“Secepatnya,” jawab Lila.
“Semakin cepat semakin baik. Besok?”
“Besok,” Angkasa mengangguk setuju.
“Kita nggak punya lusa, La.”
Kalimat itu menusuk, tetapi benar. Mereka tidak punya kemewahan waktu. Besok. Mereka akan menikah besok. Di rumah sakit ini. Dengan Gilang sebagai saksi. Dengan sisa waktu tujuh hari sebagai mas kawinnya. Di tengah keheningan yang kini terasa khusyuk, mereka bertiga saling berpegangan tangan, sebuah konstelasi kecil dari tiga bintang yang akan segera kehilangan cahayanya yang paling terang. Mereka adalah sebuah keluarga, dipersatukan oleh cinta dan dipisahkan oleh takdir.
Ilusi kebahagiaan yang aneh dan rapuh itu menyelimuti mereka selama beberapa saat. Mereka tidak berbicara, hanya saling menatap, mencoba mengukir momen itu dalam ingatan. Momen di mana mereka memutuskan untuk melawan takdir dengan cara paling gila: merayakannya.
Tepat saat Lila hendak membuka mulut untuk menanyakan detail lebih lanjut, sebuah suara memecah keheningan sakral mereka.
Tok. Tok. Tok.
Tiga ketukan di pintu kamar itu terdengar begitu keras, begitu tajam, begitu tidak pada tempatnya. Suara itu seperti palu godam yang menghantam dinding kaca tipis dunia kecil mereka.
Seketika, ketiganya membeku. Angkasa, Lila, dan Gilang serempak menoleh ke arah pintu kayu berwarna cokelat itu, napas mereka tertahan di dada.