Dikhianati dan dijebak oleh suami dan kekasih gelapnya, seorang wanita polos bernama Megan secara tak terduga menghabiskan malam dengan Vega Xylos, bos mafia paling berkuasa di dunia malam. Hingga akhirnya, dari hubungan mereka malam itu, menghasilkan seorang putra jenius, Axel. Tujuh tahun kemudian, Vega yang terus mencari pewarisnya, tapi harus berhadapan dengan Rommy Ivanov, musuh lamanya, baru mengetahui, ternyata wanita yang dia cari, kini telah dinikahi musuh besarnya dan berniat menggunakan kejeniusan Axel untuk menjatuhkan Kekaisaran Xylos. Bagaimana Vega akan menghadapi musuh besarnya dan apakah Megan dan putranya bisa dia rebut kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18: Pertarungan di Ambang Pintu
Gonggongan anjing di kejauhan kini tidak lagi terdengar seperti anjing tetangga yang kesepian. Itu adalah gonggongan yang penuh kepanikan, diikuti oleh suara mendesis dan hentakan berat yang teredam, suara yang familiar bagi Megan, suara yang pernah ia dengar delapan bulan lalu di klub malam mengerikan itu: suara konflik yang terbungkus rapi, cepat, dan brutal.
Megan membeku di depan kompor. Perutnya yang besar membuatnya sulit bergerak cepat, tetapi naluri bertahan hidupnya menjerit. Ia tahu, di dunia tempat ia melarikan diri, suara seperti itu berarti kematian atau penangkapan. Ia mematikan api, mengambil pisau dapur yang tumpul, dan bergerak perlahan menuju jendela kayu kecil yang ditutupi tirai kumal.
Di luar, dalam kegelapan yang pekat, pertempuran yang dipesan oleh Rommy dan Vega baru saja dimulai. Tim nirlaba Rommy, yang dipimpin oleh seorang mantan intelijen, mencoba menyelinap melalui pagar kayu yang rapuh, membawa amplop berisi uang dan janji manis. Mereka beroperasi tanpa senjata api, mengandalkan bujukan.
Namun, ‘The Phantom Hunters’ yang dikirim Vega tidak bermain dengan janji manis. Mereka datang untuk mengambil, bukan merayu. Dipimpin oleh Leo, tim kecil elit ini bergerak seperti bayangan yang dilengkapi teknologi termal. Mereka melihat tim Rommy bahkan sebelum tim Rommy menyentuh tanah peternakan.
“Vega Xylos tidak pernah membiarkan tikus kecil mengais sisa makanannya,” bisik Leo melalui komunikatornya, matanya terpaku pada scope senapan. “Aksi non-fatal. Lumpuhkan dan ikat. Jangan sampai ada suara yang didengar oleh target utama.”
Seketika, hutan kecil di belakang rumah peternakan menjadi medan pertempuran bisu. Tim Rommy, yang tidak siap menghadapi kekerasan langsung, ambruk satu per satu di bawah serangan gas bius presisi dan pukulan cepat yang mematikan. Hanya dalam waktu kurang dari lima menit, enam anggota tim Rommy terkapar tak berdaya di rerumputan basah, mobil hitam mereka ditinggalkan di jalan desa.
Di Zurich, Vega mendengarkan laporannya melalui sambungan satelit yang aman. “Status?” tuntut Vega.
“Semua musuh dilumpuhkan, Tuan. Tidak ada korban fatal. Target utama, kami mendeteksi pergerakan di dalam rumah. Dia terbangun,” lapor Zeno, yang kini mengawasi dari pusat komando.
“Leo, masuk dan amankan. Cepat. Jangan sampai ada drama. Ingat, dia dalam kondisi rapuh,” perintah Vega, suaranya mengandung campuran amarah dan kekhawatiran yang jarang terjadi.
Leo dan dua anggota timnya bergerak cepat. Mereka tahu pintu depan akan terkunci. Leo, dengan tendangan terukur yang terlatih, menghancurkan kunci gembok sederhana di pintu belakang. Suara kayu retak itu, meskipun singkat, cukup keras untuk didengar Megan.
Megan tersentak. Rasa takutnya kini berubah menjadi teror murni. Ini bukan perampok. Ini adalah orang-orang yang terlatih. Ia menyadari bahwa ia telah ditemukan, dan yang menemukannya pastilah orang-orang yang berhubungan dengan malam naas itu.
Ia terhuyung-huyung ke kamar tidur kecilnya, tempat ia menyimpan tas berisi beberapa pakaian dan sisa uang tunai yang sangat sedikit. Ia harus pergi, sekarang.
Tepat ketika Megan meraih kenop pintu kamar, pintu itu terbuka paksa. Berdiri di ambang pintu adalah seorang pria bertubuh besar dengan seragam serba hitam yang dilengkapi rompi taktis. Wajahnya tertutup topeng, tetapi matanya yang dingin memancarkan otoritas yang tak terbantahkan.
Leo melihat Megan. Wanita itu tampak jauh lebih rentan daripada deskripsi dalam laporan Vega—perutnya membesar, wajahnya pucat, dan di tangannya, ia memegang pisau dapur tumpul dengan gemetar.
“Nona Megan,” suara Leo dalam, tanpa emosi. “Jangan bergerak. Kami tidak akan melukaimu, atau pewaris Xylos.”
Mendengar kata ‘Xylos’, pisau itu jatuh dari tangan Megan. Itu adalah konfirmasi terburuk yang bisa ia dapatkan. Vega telah menemukannya. Pria dingin yang menganggapnya sebagai barang, telah mengirim anjingnya untuk merebutnya kembali.
“Kau… kalian siapa?” Megan berbisik, suaranya serak karena ketakutan yang mencekik.
“Kami adalah orang-orang yang dikirim oleh suamimu, Nona,” jawab Leo, melangkah lebih dekat. “Kami datang untuk mengklaim aset yang hilang. Sekarang, tinggalkan pisau itu dan ikutlah dengan kami. Kami memiliki pesawat yang menunggu untuk membawamu ke tempat yang aman.”
“Aku tidak punya suami! Aku tidak akan ikut denganmu!” Megan mundur, punggungnya menyentuh dinding kamar. Ia mencoba menyembunyikan perutnya di balik tangannya yang gemetar, seolah-olah gerakan itu bisa menyembunyikan keberadaan Axel.
Leo mengeluarkan foto yang dicetak rapi, gambar termal yang diambil dari udara, gambar perutnya yang membesar. “Kami tahu semuanya, Nona. Tuan Vega sangat jelas. Kehidupanmu dan anakmu terancam. Pria yang tadi mencoba mendekatimu adalah Rommy Ivanov. Dia adalah musuh bebuyutan Tuan Vega, dan dia hanya ingin menggunakanmu sebagai alat tawar.”
Megan menatap foto itu, hatinya mencelos. Bahkan di tempat terpencil ini, ia tidak aman. Kedua sisi konflik global ini memburunya. Ia sadar, ia tidak lari dari satu masalah, tetapi masuk ke dalam konflik yang lebih besar.
Leo mendekat lagi, tatapannya kini jatuh pada pergelangan tangan Megan. Meskipun Megan mengenakan sweter longgar, goresan bulan sabit yang diingat Vega terlihat samar di pergelangan tangannya. Leo membenarkan identitasnya.
“Kau harus ikut dengan kami, Nona. Tuan Vega menunggu,” ujar Leo, mencoba meraih lengan Megan.
Dalam keputusasaan yang meluap, Megan menemukan kekuatan yang tidak ia ketahui ia miliki. Kekuatan yang muncul karena janin di dalam dirinya. Ia menepis tangan Leo dan berteriak, “Pergi! Aku tidak akan kembali padanya! Dia meninggalkanku! Dia tidak punya hak atas diriku atau anak ini!”
Leo menghela napas sabar, seolah berurusan dengan anak kecil yang merajuk. “Hak atau tidak, itu bukan urusanku, Nona. Tuan Vega telah mengambil keputusan. Kau adalah miliknya, dan apa yang menjadi miliknya tidak pernah diserahkan kepada orang lain, apalagi kepada Rommy.”
Tiba-tiba, dari kegelapan di luar rumah, terdengar suara tembakan tunggal yang tajam. Bukan dari tim Vega, yang hanya menggunakan gas bius. Tembakan itu menembus jendela kamar tidur dan mengenai dinding di sebelah kepala Leo.
“Sialan! Ada tim ketiga!” seru Leo, menarik Megan secara paksa ke lantai, tubuh besarnya melindungi Megan dari kemungkinan tembakan kedua. “Zeno, kita diserang! Ada penembak jitu!”
Megan terengah-engah, tubuhnya yang berat tertekan ke lantai kayu yang dingin. Ia merasakan ketakutan Leo, ketakutan yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang tahu bahwa mereka sedang menghadapi bahaya yang setara atau lebih besar dari diri mereka sendiri.
“Siapa yang menembak?” tanya Megan, suaranya kini tidak lagi takut, tetapi penuh kebingungan.
Leo menarik Megan lebih dekat, napasnya terdengar cepat. “Tidak peduli siapa. Mereka tidak akan mendapatkanmu. Kau adalah harta karun Vega Xylos yang paling berharga.”
Di Zurich, Vega mendengarkan kekacauan itu. Suara tembakan. “Zeno, siapa yang berani ikut campur?”
“Tuan, itu adalah tembakan penembak jitu profesional. Bukan Rommy. Rommy tidak menggunakan kekerasan di Indonesia. Ini adalah pesan, sebuah peringatan,” analisis Zeno.
“Peringatan dari siapa?” Vega mencengkeram tepi mejanya, amarahnya meledak tak terkendali. Ia telah mengalahkan Rommy, hanya untuk mendapati targetnya diserang oleh pihak ketiga yang tak dikenal.
Di lantai peternakan yang kotor, Leo mendesak Megan. “Kita harus keluar. Sekarang, atau kita mati di sini.”
Megan, didorong oleh naluri keibuannya, akhirnya menyerah pada ancaman yang paling nyata. Ia mengangguk. Leo segera menggendong Megan yang hamil besar di punggungnya, berlari cepat menuju pintu yang sudah rusak, meninggalkan peternakan yang tenang itu dalam bayangan konflik global yang baru saja pecah.
Saat Leo membawa Megan keluar, sebuah bayangan hitam melintas di kegelapan. Itu adalah helikopter tanpa identitas, terbang rendah, mengikuti jejak mereka. Tim Vega berhasil merebut Megan, tetapi kini mereka harus bertarung di udara. Pertarungan untuk merebut Megan dan pewaris Xylos baru saja beralih ke level yang lebih mematikan.
“Tahan, Nona!” teriak Leo, saat ia melompat ke belakang kendaraan tempur ringan yang menunggu. Megan hanya bisa memejamkan mata, merasakan adrenalin yang membakar tubuhnya. Ia tahu, ia telah beralih dari satu tawanan ke tawanan berikutnya, tetapi setidaknya, ancaman Rommy, ancaman bujukan, telah dihindari. Namun, ancaman kepemilikan mutlak dari Vega Xylos, kini dimulai.
"Siapa yang memburu kami lagi?"