Di tengah duka yang belum usai, tahta digital Sasha mulai retak. Kematian sang kekasih, Bara, yang seharusnya menjadi akhir dari sebuah cerita cinta, justru menjadi awal dari mimpi buruknya. Sebagai CEO tunggal super-aplikasi raksasa Digital Raya, ia tak punya waktu untuk meratap. Dari ruang rapat yang dingin, keluarga yang seharusnya menjadi pelindung kini menjelma menjadi predator, mengincar mahakarya yang mereka bangun bersama.
Namun, ancaman tidak hanya datang dari dalam. Saat serangan siber global mengoyak benteng pertahanan DigiRaya, Sasha terpaksa bersekutu dengan sosok yang paling ia hindari: Zega, seorang peretas jenius yang sinis dan memandang dunianya dengan penuh kebencian. Aliansi penuh percik api ini menyeret mereka ke dalam labirin digital yang gelap.
Di antara barisan kode dan serangan tak kasat mata, Sasha menemukan sesuatu yang lebih mengerikan: serpihan kebenaran yang sengaja ditinggalkan Bara. Sebuah bisikan dari balik kubur yang mengisyaratkan rahasia kematiannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 Telah Di tunggu...
Bayangan raksasa itu tumbuh dengan cepat, membelah kegelapan seperti pisau baja yang disinari bulan sabit. Logo Express Teknologi yang menyala, simbol keangkuhan global dan pengejaran tanpa ampun, terasa seperti lampu sorot yang diarahkan langsung ke jiwa Sasha. Mereka tidak hanya menghadapi perusahaan; mereka menghadapi mesin perang digital.
“Sial, itu bukan kapal patroli,” desis Zega, menarik Sasha lebih erat di bawah terpal basah. Rasa dingin air laut tidak mampu meredam panas yang memancar dari tubuh mereka yang berdekatan. “Itu kapal pesiar keamanan kelas atas. Mereka punya sonar, sensor termal, dan mungkin drone udara.”
Nelayan tua itu panik. Ia mematikan mesin, membiarkan perahu mereka terapung perlahan, berharap kegelapan akan menyembunyikan mereka. “Kita tidak bisa melaju. Mereka terlalu cepat. Mereka akan melindas kita!”
“Terlalu terlambat untuk bersembunyi di air,” kata Sasha, suaranya kembali tegar. CEO itu sudah menghilang, digantikan oleh seorang buronan yang putus asa. Ia melongok dari bawah terpal. Kapal Express Teknologi itu berjarak kurang dari satu mil laut, dan kecepatannya gila. Dalam dua menit, mereka akan berada dalam jangkauan visual.
Zega merogoh saku celana kargonya yang basah kuyup. Ia mengeluarkan sebuah benda kecil, hitam, dan ramping, yang tampak seperti pena tebal. “Ini satu-satunya cara.”
“Apa itu?” tanya Sasha.
“ECM—Electronic Countermeasure. Alat kecil yang kubuat saat aku bosan di asrama dulu. Aku bisa meniru sinyal kapal nelayan lain yang sedang melaju. Tapi aku harus membuang perahu ini dulu. Jika mereka melihat kita, mereka tidak akan tertipu.” Zega menoleh kepada nelayan tua itu. “Bapak harus putar balik sekarang, dengan kecepatan penuh, ke arah berlawanan. Jika Bapak tetap di sini, Bapak akan menjadi sasaran.”
Nelayan itu, matanya membelalak ketakutan, tidak perlu disuruh dua kali. Ia menyalakan mesinnya lagi, memutar haluan perahu kecil itu 180 derajat, dan melaju kembali ke arah pulau dengan kecepatan maksimal.
“Siap, CEO Sasha?” Zega menatap matanya, memegang ransel berisi laptop Bara di satu tangan dan alat ECM di tangan lainnya. Mereka berdiri di tepi perahu, siap melompat.
“Aku sudah melewati terowongan bawah air. Aku siap untuk apa pun,” jawab Sasha, memberinya senyum yang memancarkan kepercayaan penuh. Kepercayaan ini bukan lagi formalitas kerja, melainkan pengakuan bahwa hidup mereka bergantung pada sinkronisasi total.
Kapal besar itu mendekat, lampu sorotnya mulai menyapu permukaan air. Cahaya putih terang itu menari-nari di gelombang, mencari mangsa.
“Sekarang!” Zega berteriak. Mereka melompat.
Air laut yang dingin menelan mereka. Sasha segera mengikuti Zega yang sudah berenang menjauh dari perahu nelayan yang kini menjadi umpan. Mereka menyelam sedalam mungkin, menggunakan momentum lompatan mereka, menjauh dari jalur kapal Express Teknologi.
Di bawah air, dunia menjadi senyap dan bergetar. Sasha bisa merasakan dengungan mesin kapal raksasa itu di tulang dadanya, getaran sonik yang memekakkan. Ia berenang mengikuti bayangan Zega, menahan napas sampai paru-parunya terasa akan meledak.
Ketika mereka akhirnya muncul ke permukaan, hanya menyisakan hidung dan mata, kapal Express Teknologi sudah berada tepat di samping mereka. Itu adalah pemandangan yang menakutkan—lambung baja hitam yang menjulang tinggi, ombak buatan yang diciptakannya menghantam mereka dengan keras. Kapal itu bergerak sangat cepat, menciptakan semburan air yang membuat mereka terombang-ambing seperti boneka kain.
Sasha tersentak ketika sebuah senter kuat dari geladak kapal menyapu permukaan air, nyaris mengenai wajahnya. Jantungnya berdetak kencang.
Zega menariknya ke bawah lagi, hingga mereka hanya berpegangan pada sisa-sisa napas. Dalam kegelapan dan kekacauan, Zega menekan tombol pada alat ECM-nya. Ia harus melakukannya di bawah air agar sinyalnya tidak terdeteksi oleh radar yang lebih sensitif di geladak kapal.
Zega melepaskan Sasha sebentar, mendorong ECM itu ke permukaan air, dan segera menyelam lagi, kembali meraih tangan Sasha.
Saat kapal itu melewati mereka, menciptakan pusaran air yang kuat, Zega menyalurkan instruksi non-verbal: *bertahan*. Mereka berdua berpegangan erat, air dingin memisahkan tetapi ancaman menyatukan mereka. Zega menahan tubuh Sasha, membiarkan tubuhnya yang lebih besar menahan dampak gelombang kapal.
Sasha merasakan kulitnya tergores oleh tali jaket pelampung Zega. Keintiman yang dipaksakan oleh bahaya ini jauh lebih intens daripada ciuman mereka di bawah terpal. Itu adalah kontak fisik yang murni tentang kelangsungan hidup, dan ironisnya, di momen inilah Sasha merasa paling hidup, dan paling terhubung dengan Zega.
Kapal Express Teknologi itu melesat melewatinya, melanjutkan pengejaran ke arah perahu nelayan yang baru saja berputar balik. Zega’s ECM telah bekerja, menipu sensor kapal besar itu, membuat mereka percaya bahwa sinyal panas dan jejak perahu yang mereka lacak telah kabur ke arah yang salah.
Setelah kapal itu menjadi titik kecil di kejauhan, Zega dan Sasha muncul kembali, terengah-engah, terbatuk-batuk mengeluarkan air laut.
“Sialan,” Zega mengumpat, suaranya serak. Ia membuang ECM yang kini tak berguna itu ke laut. “Itu terlalu dekat. Mereka tidak akan tertipu lama.”
Sasha berusaha mengatur napasnya. Air mata dan air laut bercampur di wajahnya. “Kita selamat. Terima kasih, Jaka.”
“Jangan berterima kasih,” Zega memotong, menariknya ke pelukan darurat. Mereka terapung di tengah lautan, hanya beberapa ratus meter dari garis pantai Lombok yang tampak seperti garis hitam tak berujung. “Kita baru saja memulai. Kita harus naik ke darat sebelum fajar. Mereka pasti akan mengirimkan drone pengintai begitu sinyal palsuku berhenti.”
Sasha mengangguk. Dia memeluk leher Zega, merasakan kekuatan otot-ototnya yang berjuang melawan gelombang. “Bagaimana kita bisa sampai ke Bali? Kita tidak punya uang tunai, tidak ada identitas yang aman. Kita buronan yang baru saja berenang dari pulau terpencil.”
“Aku punya koneksi di Lombok. Itu bagian dari rencana pelarian awal, sebelum kita tertangkap di pulau itu,” jelas Zega. “Kita akan menuju Mataram. Ada teman lama, seorang tukang reparasi kapal yang berutang budi padaku. Dia bisa membantu kita mendapatkan kapal yang lebih cepat, atau setidaknya menyembunyikan kita sampai Konferensi Teknologi Global dimulai di Bali.”
Mereka mulai berenang perlahan menuju pantai. Air laut yang dingin, namun kehadiran Zega yang stabil di sisinya, memberi Sasha kekuatan. Mereka berenang berdampingan, ransel Bara mengapung di antara mereka, satu-satunya bukti digital dari konflik global ini.
Beberapa jam kemudian, ketika langit timur mulai memerah, mereka berhasil mencapai pantai Lombok yang terpencil. Pantai itu berbatu, dikelilingi oleh hutan bakau yang lebat. Mereka merangkak keluar dari air, tubuh mereka gemetar karena kedinginan dan kelelahan. Mereka bersembunyi di balik akar-akar bakau, lumpur menyelimuti mereka.
Zega membalikkan badan, memandang Sasha. Ia meraih pinggang Sasha, menariknya mendekat, tidak peduli dengan lumpur dan pasir yang menempel. Dalam pandangan mata Zega, Sasha melihat campuran kelegaan yang mendalam dan keputusasaan yang pahit.
“Sasha,” bisik Zega, suaranya penuh tekanan. “Aku seharusnya membawamu pergi jauh dari semua ini, ke tempat yang aman.”
“Kita aman sekarang,” balas Sasha, mengangkat tangannya untuk membelai rambut Zega yang basah. “Kita telah melarikan diri dari pembunuh tunanganku, dan kita masih memegang rahasia terbesar DigiRaya. Kita berhasil, Jaka. Kita tim.”
Zega menundukkan kepalanya, mencium Sasha lagi. Ciuman ini berbeda dari yang sebelumnya. Lebih lambat, lebih dalam, sebuah penegasan emosional setelah melewati ambang kematian. Rasa asin di bibir mereka bercampur dengan janji diam untuk saling melindungi.
Ketika bibir mereka akhirnya berpisah, mereka duduk bersandar pada akar bakau, mencoba menghangatkan diri. Sasha membuka ransel Bara, memeriksa laptop. Ajaibnya, laptop itu, yang dilapisi bahan tahan air khusus oleh Bara, masih kering.
“Kita harus menyalakan ini. Aku harus memastikan bahwa data *Final Code* masih utuh,” kata Sasha.
Zega mengangguk, mengeluarkan sebuah perangkat pengisian daya darurat kecil dari sakunya. Mereka menghubungkan laptop Bara dan menyalakannya.
Layar laptop menyala dalam kegelapan subuh, memancarkan cahaya biru yang menerangi wajah lelah mereka. Sasha memasukkan kata sandi, dan segera, ia melihat file enkripsi yang mereka cari: ‘Project Chimera - Final Audit’.
Sasha menghela napas lega. “Masih di sini. Bukti Bara dikhianati dan bukti keterlibatan Hadi dalam pembunuhan itu. Semuanya.”
Zega mendekat, melirik layar. “Kita punya amunisi. Tapi kita harus menunggu sebentar di sini. Fajar sudah tiba.”
Tiba-tiba, dari kegelapan hutan bakau di belakang mereka, terdengar suara gemerisik ranting dan suara langkah kaki yang berat. Langkah itu tidak seperti langkah orang biasa. Lebih terukur, lebih terlatih.
Mereka berdua membeku, menatap ke arah hutan yang gelap.
“Bukan Express Teknologi. Mereka terlalu kasar,” bisik Zega, tangannya meraih batu tajam di sebelahnya. “Ini seperti tim lokal. Mungkin Paman Hadi membayar tim keamanan pribadi untuk melacak kita ke Lombok.”
Tiga sosok muncul dari bayangan. Mereka bukan tentara bayaran berseragam taktis, melainkan pria berbadan besar dengan pakaian kasual, tetapi mata mereka tajam dan gerakan mereka mematikan. Salah satu dari mereka memegang radio.
“Sudah kuduga, mereka tidak pergi jauh,” kata pemimpin tim, menyeringai, matanya tertuju pada laptop yang menyala di tangan Sasha. “CEO Sasha. Paman Hadi mengirim salamnya. Kami akan mengambil laptop itu, dan mengembalikanmu ke Jakarta untuk diinterogasi.”
Sasha dan Zega saling pandang. Mereka baru saja selamat dari pengejaran berskala global di tengah laut, hanya untuk terjebak lagi di pantai terpencil oleh tim keamanan domestik yang cerdik. Mereka tidak punya senjata, hanya satu laptop berisi kebenaran yang mematikan.
“Tutup laptopnya, Sasha. Dan lari!” Zega mendorongnya, lalu melompat ke depan, melemparkan dirinya ke arah pria bersenjata terdekat, menggunakan tubuhnya sendiri sebagai perisai untuk mengulur waktu.
" Cepat Lari, Sasha..."