NovelToon NovelToon
My Hazel Director

My Hazel Director

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Teen School/College / Cinta pada Pandangan Pertama / Romantis
Popularitas:650
Nilai: 5
Nama Author: redberry_writes

Ketika Victoria “Vee” Sinclair pindah ke Ashenwood University di tahun terakhirnya, ia hanya ingin belajar dari sutradara legendaris Thomas Hunt dan membuktikan mimpinya. Tapi segalanya berubah saat ia bertemu Tyler Hill, dosen muda yang dingin, sekaligus asisten kepercayaan Thomas.

Tyler tak pernah bermaksud jatuh hati pada mahasiswanya, tapi Vee menyalakan sesuatu dalam dirinya, yaitu keberanian, luka, dan harapan yang dulu ia kira telah padam.

Di antara ruang kelas dan set film, batas profesional perlahan memudar.
Vee belajar bahwa mimpi datang bersama luka, dan cinta tak selalu mudah. Sementara Tyler harus memilih antara kariernya, atau perempuan yang membuatnya hidup kembali.

Sebuah kisah tentang ambisi, mimpi, dan cinta yang menyembuhkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon redberry_writes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 30 - Hari Terakhir Syuting

Vee

Derek adalah asisten sutradara sekaligus production manager terbaik sejauh ini. Aku datang pagi-pagi sekali, saat udara masih dingin dan bau debu set yang tertinggal dari hari sebelumnya masih menggantung, tapi Derek sudah di sana, berdiri dengan dua gelas kopi di tangan.

“Kalau aku jadi sutradara terkenal nanti, aku akan membawamu ke mana pun jadi asistenku,” ujarku sambil menerima kopi darinya.

Ia menatapku dengan senyum menyebalkan. “Entahlah, mungkin aku duluan yang terkenal.” Aku terkekeh. Tipikal Derek.

Aku mulai mengecek ulang semua hal—naskah, properti, hingga footage kamera sejauh ini. Hari terakhir, tidak boleh ada satu momen pun yang terlewat. Beberapa menit kemudian Liam datang, lewat begitu saja tanpa menatapku.

Derek mengikuti arah pandanganku. “Kamu harus bicara dengannya,” katanya pelan.

Aku mengangguk, menaruh clipboard, lalu menyusul Liam ke ruang makeup.

Ia sedang berganti pakaian ketika aku masuk. Ia tersenyum kecil, gugup tapi berusaha santai. “Ngobrol yuk,” ujarku. Ia mengangguk, dan kami duduk berdampingan.

“Aku sudah bicara sama Sophie semalam,” katanya duluan.

Aku menatapnya. “Lalu?”

“Aku tahu adegan ini wajar untuk aktor, tapi aku belum pernah melakukannya. Di depan kamera maksudku. Jadi aku agak tegang.” Ia menarik napas panjang. “Sophie sudah setuju, tapi dia nggak mau ada di lokasi saat adegan ini diambil.”

Aku mengangguk pelan. “Baiklah, aku akan buat adegan ini diambil lebih intimate untuk kalian, jadi hanya yang berkepentingan saja yang bisa melihatnya. Siapkan dirimu untuk hari ini, ya. Jangan terlalu dipikirkan.” Aku menepuk bahunya sebelum pergi.

Saat keluar dari ruang makeup, aroma pizza menyambutku, dan kemudian aku melihatnya. Tyler. Rambutnya kini diikat kembali dengan rapi seperti dulu, membawa beberapa kotak besar.

Thomas dan Elara berjalan di belakangnya.

“Untuk pagi ini,” kata Tyler ringan. “Masih ada lasagna dan garlic bread nanti siang.” Nada suaranya tenang, tapi dingin. Ia tidak menatapku, hanya meletakkan kotak-kotak itu di meja istirahat dan berlalu.

Elara menghampiriku dan langsung memeluk dengan antusias. “Aku bangga banget sama kamu, Vee,” katanya sambil tersenyum hangat.

Di sisi lain, Chloe yang sedang mengatur kamera berteriak, “Oh my God, pizza di pagi hari? Aku resmi jatuh cinta pada proyek ini!”

Studio ramai kembali, dipenuhi suara tawa, langkah kaki, dan gesekan kabel. Thomas mulai berkeliling memeriksa posisi kamera dan pencahayaan—hal yang sebenarnya sudah kuperiksa dua kali. Aku menahan tawa kecil melihatnya. Siapa yang perfeksionis sekarang?

Sophie dan Liam duduk di pojok ruangan, membaca naskah yang mungkin sudah mereka hafal di luar kepala. Aku menarik napas panjang, menatap set di depan. Hari terakhir. Semua akan berakhir hari ini.

“Semua siap?” seruku. “Oke—everybody stand by. Roll, and… action!”

\~\~\~

Tyler

Sejujurnya, aku tidak ingin datang hari ini. Tapi hari terakhir… aku tahu aku tidak akan memaafkan diriku sendiri kalau tidak melihatnya lagi.

Vee.

Ia berdiri di tengah hiruk-pikuk studio, mengarahkan semua dengan ketenangan yang nyaris tidak wajar. Alisnya berkerut setiap kali ada detail yang tidak sesuai keinginannya. Cara ia menggigit bagian dalam bibirnya setiap kali ragu—dulu, momen seperti itu selalu diakhiri dengan pertanyaannya kepadaku. Sekarang? Ia berjalan langsung ke Thomas. Dan aku hanya berdiri di pinggir ruangan, memperhatikannya.

Setelah 8 kotak pizza pagi ini, masih ada lasagna dan garlic bread dari Laura’s Kitchen untuk makan siang. Tugasku sederhana yaitu memastikan semua orang makan, bukan memastikan hatiku baik-baik saja.

Aku menatap ke arah ujung studio, dan melihat seseorang yang tidak seharusnya di sana—Wyatt. Sesungguhnya ia sangat mudah dilupakan, tidak ada hal yang menonjol tentang dirinya, selain hasil karyanya sangat buruk semester lalu, hingga dapat makian dari Thomas Hunt sendiri. Di proyek ini, ia berada di tim produksi, tapi tanpa tugas yang jelas hari ini. Ia menatap Vee dengan cara yang membuat bulu kudukku berdiri, ada kebencian di sana, atau mungkin rasa iri.

Saat pandangan kami bertemu, ia langsung memalingkan wajah dan pergi. Entah kenapa, perasaanku tidak enak.

Suara Vee memotong pikiranku.

“Untuk adegan terakhir, mohon yang tidak berkepentingan meninggalkan lokasi. Silakan menunggu di ruang istirahat—ada pizza dan lasagna dari Professor Hunt!” Suara itu bergema, tegas tapi hangat.

Satu per satu orang meninggalkan ruangan, hingga hanya tersisa Chloe dan Ava di kamera, dua aktor, dan… aku.

Aku tahu aku seharusnya ikut keluar. Tapi kakiku tidak mau bergerak. Vee menatapku sekilas, pandangan yang cepat, nyaris tak terlihat, tapi aku bisa merasakannya. Ia mungkin ingin memintaku pergi, tapi memilih diam. Dan diamnya itu… terasa lebih menyakitkan daripada kata-kata.

Ia memandu Liam dan Stella dengan nada lembut, tapi ada getar halus di suaranya—nervous, seperti dua aktornya. Aku memperhatikan sudut bibirnya menegang, tangannya gemetar halus saat memberi instruksi. Akhirnya aku melangkah maju.

“Ada dua kamera untuk wide dan close-up,” ujarku. Suaraku tenang, tapi terdengar di seluruh ruangan. “Kita ambil maksimal tiga kali. Kalau ekspresinya sudah cukup kuat, tak perlu lebih dari itu.”

Liam dan Stella mengangguk. Vee diam. Aku mendekat, dan entah kenapa, mataku langsung mencari matanya.

Aku menatap Vee. “Biar kuperlihatkan.” Tanganku meraih tangannya perlahan, menuntunnya ke tengah set.

“Liam, perhatikan. Tanganmu di pipi kirinya, tangan kananmu melingkari pinggangnya… seperti ini.” Aku memegang wajah Vee dengan lembut, tubuh kami bersentuhan. Ia terpaku, napasnya pelan, matanya menatap langsung ke dalam mataku.

“Stella, matamu lembut,” katanya tiba-tiba, suara bergetar namun tegas. “Menangislah kalau bisa. Lalu, Liam, hapus air matanya perlahan… sebelum menciumnya.” Ia menatapku lagi, dan untuk sepersekian detik dunia terasa berhenti. Adegan yang kami contohkan terasa terlalu nyata. Terlalu terasa seperti kami.

Aku melepaskannya perlahan, menunduk, pura-pura sibuk. Jantungku berdetak tak karuan. Aku tak perlu melihat wajahnya untuk tahu bahwa Vee juga sama terguncangnya denganku.

Aku mundur, memberi isyarat. “Oke. Take one… action.” Dan ketika kamera mulai berputar, aku menyadari satu hal, yaitu tak ada sutradara di dunia ini yang bisa mengarahkan rasa seperti yang kami miliki.

\~\~\~

Vee

Pertahananku runtuh saat Tyler mencontohkan adegan ciuman tadi. Kepalaku rasanya berdenyut, antara malu, bingung, dan sesuatu yang tidak mau kuakui di depan siapa pun. Untung saja itu adegan terakhir.

Butuh tiga kali take seperti yang Tyler prediksi. Di take pertama, Liam terlalu kaku. Take kedua, Stella tidak bisa menangis, meski matanya sudah berkaca-kaca. Aku memisahkan mereka, menatap keduanya satu per satu, berbicara perlahan, mencoba memaksa mereka melupakan diri sendiri dan menjadi Vincent serta Claire. Dan akhirnya, di take ketiga, segalanya menyatu. Gerak tubuh, napas, air mata, dan ciuman itu… nyata. Cukup nyata hingga membuat semua orang di studio terpaku.

“Cut,” ucapku pelan, nyaris seperti bisikan. Ada jeda senyap sebelum semua tepuk tangan pecah. Aku menunduk, mencoba mengatur napas, sebelum akhirnya berbalik meninggalkan set. Langkahku menuju ruang istirahat terasa ringan untuk pertama kalinya dalam berminggu-minggu.

Begitu aku membuka pintu, suara riuh langsung menyambut. “That’s a wrap, everybody!” seruku keras, mengangkat tangan tinggi-tinggi.

Suara sorakan, tawa, dan tepukan tangan bergema di ruangan itu. Hampir dua bulan, dari audisi, latihan, syuting tanpa henti, hingga hari ini. Akhirnya selesai.

Masih ada editing, sound mixing, dan malam-malam panjang di depan komputer, tapi itu urusan nanti. Sekarang… ini adalah kemenangan kecil yang pantas dirayakan.

Ternyata Thomas membawa kejutan, sebotol champagne dingin di tangannya, dibantu Elara yang memegang gelas plastik penuh tawa. “Champagne untuk semua orang!” serunya.

Siraman champagne pertama mengenai Derek yang menjerit kecil, disusul Mila dan Chloe yang menari di tengah ruangan. Gelak tawa menggema, menular, sampai rasanya aku juga lupa akan semua stres yang pernah ada.

“Speech! Speech!”

Sorakan itu datang dari segala arah, dan aku memberi isyarat pada Thomas. Ia tertawa kecil, lalu berdiri perlahan. Gelas champagne di tangannya bergetar sedikit, tapi suaranya tetap hangat dan jelas.

“Well,” katanya, “aku tahu aku sudah tidak muda lagi. Tapi tidak ada yang lebih menyenangkan daripada melihat semangat seperti ini, semangat yang hanya dimiliki orang-orang yang benar-benar mencintai film.” Ia berhenti sejenak, pandangannya berkeliling ke seluruh ruangan sebelum akhirnya berhenti padaku. “Vee, terima kasih sudah memimpin proyek ini dengan hati dan keberanian. Kau membuatku bangga. Kalau ini memang film terakhir yang kutangani, aku senang karena disutradarai oleh seseorang sepertimu.”

Sorakan dan tepuk tangan memenuhi ruangan. Thomas hanya tersenyum, mengangkat gelasnya. “Sekarang, sebelum aku semakin sentimentil, ayo, dengarkan dari sutradara kita.”

Tawa dan tepuk tangan pecah, dan aku tahu momen itu akan terpatri lama di kepalaku. Aku mengambil giliran setelahnya, masih dengan sisa haru yang belum sempat hilang.

“Untuk semua kru—Production, Sound, Lighting, Camera, Script, dan Editing—Mila, setelah ini aku akan mengejarmu,” kataku, membuat semua orang tertawa. “Untuk Derek dan Naomi, Production Manager dan asisten sutradara. Untuk Professor Hill dan Professor Hunt… kami tidak akan ada di sini tanpa kalian.”

Aku mengangkat gelas tinggi-tinggi lalu berseru. “You guys are awesome!” Sorakan meledak, champagne menyembur, dan ruangan berubah jadi lautan tawa. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa ringan.

Sorakan menggema lagi, gelas-gelas beradu, champagne tumpah ke lantai, dan entah siapa yang menyalakan musik dari ponsel, tapi semua orang mulai menari.

Di tengah keriuhan itu, mataku tanpa sengaja menangkap sosok Tyler di sudut ruangan. Ia berdiri tenang, dengan senyum samar di wajahnya, memegang gelas tapi tidak meneguknya. Tatapan kami bertemu hanya sepersekian detik, cukup lama untuk membuatku kembali merasakan sesuatu yang sudah ku coba kubur. Lalu ia mengangguk kecil — hanya itu.

Aku mengangkat gelasku ke arahnya, tanpa kata. Dan kali ini, aku benar-benar tersenyum.

Setelah ini, aku pikir, mungkin… aku bisa tidur nyenyak untuk beberapa malam.

\~\~\~

1
Randa kencana
ceritanya sangat menarik
Abdul Rahman
Ceritanya asik banget thor, jangan lupa update terus ya!
Erinda Pramesti: makasih kak
total 1 replies
laesposadehoseok💅
Aku bisa merasakan perasaan tokoh utama, sangat hidup dan berkesan sekali!👏
Erinda Pramesti: terima kasih kak ❤️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!