Fresha seorang gadis lugu, kurang percaya diri yang viral mirip Sha Artis legend yang telah meninggal 20 tahun.
Setelah kacamata Fresha terlepas maka tanpa sadar Fresha jadi Sha, yang percayadiri , aura bintang dia mulai muncul.
Fresha bisa tahu masa lalu Sha Sangat Legenda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lingga Mn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagaimana cara agar Fresha menjadi Sha Seutuhnya?
Gea menggenggam tangan Bunda Fatma erat-erat, merasakan betapa rapuhnya tulang-tulang itu di balik kulit yang keriput. "Benar, Bunda. Kami yakin, se yakin-yakinnya, bahwa Fresha... adalah Sha. Bukan hanya mirip, bukan hanya kebetulan. Tubuhnya, jiwanya... semua adalah Sha."
Bunda Fatma masih terisak, air matanya membasahi pipi dan kerudungnya. "Tapi... tapi bagaimana mungkin? Jika Fresha adalah Sha, kenapa dia tidak mengenali Bunda? Kenapa dia tidak ingat rumah ini, desa ini, semua kenangan kita?"
Gea menghela napas panjang, suaranya bergetar menahan emosi. "Inilah yang paling menyakitkan, Bunda. Inilah yang membuat kami bingung dan takut. Tubuh dan jiwanya Sha, tapi ingatannya... ingatannya adalah Fresha. Dia hidup dengan jiwa Sha, tapi dia melihat dunia melalui lensa ingatan yang berbeda."
"Jadi, dia tetap tidak ingat?" bisik Bunda Fatma, suaranya nyaris tak terdengar. "Dia tetap tidak ingat bahwa dia adalah Sha, putri Bunda?"
Gea menggelengkan kepalanya perlahan, air matanya akhirnya tumpah membasahi pipinya. "Tidak, Bunda. Dia adalah Sha, tapi dia tidak tahu. Dia merasakan getaran jiwa Sha, tapi dia mengira itu adalah perasaannya sendiri. Dia adalah putri Bunda, tapi dia tidak mengenal Bunda sebagai ibunya."
"Lalu... apa yang akan kalian lakukan?" tanya Bunda Fatma, suaranya penuh keputusasaan. "Apa kalian akan membiarkannya hidup dalam kebingungan ini selamanya? Apa kalian akan merampas haknya untuk mengetahui siapa dirinya sebenarnya?"
Gea menggigit bibirnya kuat-kuat, merasakan sakit yang teramat sangat di hatinya. "Tidak, Bunda. Demi Tuhan, tidak. Kami tidak akan pernah melakukan itu. Tapi kami juga tidak bisa gegabah. Kami tidak bisa tiba-tiba datang padanya dan mengatakan, 'Hai, kamu sebenarnya adalah Sha yang sudah meninggal 21 tahun lalu!' Itu akan menghancurkannya, Bunda. Itu akan membuatnya gila."
"Lalu, apa yang kalian rencanakan?" tanya Bunda Fatma, nadanya sedikit melembut. "Apa yang akan kalian lakukan untuk membantunya mengingat? Apa yang akan kalian lakukan untuk mengembalikan Sha kepada Bunda?"
Gea mengusap air matanya dan menatap Bunda Fatma dengan tatapan penuh tekad. "Kami belum tahu pasti, Bunda. Tapi kami akan melakukan segala yang kami bisa. Kami akan mencari cara untuk membangkitkan ingatannya. Kami akan mencoba memicu kenangan-kenangan Sha yang mungkin masih terpendam di dalam dirinya. Kami akan melakukan apa pun untuk mengembalikan Sha kepada Bunda... tanpa menghancurkan Fresha."
"Bagaimana caranya?" tanya Bunda Fatma dengan nada cemas. "Bagaimana kalian bisa melakukan itu tanpa menyakitinya? Bagaimana kalian bisa mengembalikan Sha tanpa kehilangan Fresha?"
Gea menghela napas panjang dan menatap Bunda Fatma dengan tatapan penuh harap. "Kami tidak tahu, Bunda. Tapi kami percaya... kami percaya bahwa cinta Bunda, cinta kami semua, akan menjadi kunci untuk membuka pintu ingatan Sha. Kami percaya bahwa dengan cinta, kami bisa menyatukan Fresha dan Sha menjadi satu kesatuan yang utuh."
Tiba-tiba, suara ketukan di pintu memecah keheningan yang sarat emosi.
"Tok... tok... tok..." Ketukan itu terdengar ragu, seolah si pengetuk pun merasakan aura kesedihan yang menyelimuti ruangan itu.
Gea tersentak dan menoleh ke arah pintu, jantungnya berdebar kencang. "Siapa itu?" bisiknya, lebih pada dirinya sendiri daripada pada Bunda Fatma.
Bunda Fatma, dengan suara bergetar, menjawab, "Pasti Akbar... Dia pasti mendengar tangisan Bunda."
Gea berdiri dengan ragu dan berjalan menuju pintu. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum membuka pintu. Saat pintu terbuka, tampaklah Akbar berdiri di ambang pintu, wajahnya dipenuhi kekhawatiran.
"Gea..." ucap Akbar lirih, matanya langsung tertuju pada Bunda Fatma yang duduk di kursi rodanya, pipinya basah oleh air mata. "Aku mendengar... apa yang terjadi?"
Gea menatap Akbar dengan tatapan memohon. "Masuklah, Bang... Ini... ini tentang Fresha."
Akbar mengangguk pelan dan melangkah masuk ke dalam kamar. Ia langsung berlutut di samping kursi roda Bunda Fatma, meraih tangannya dengan lembut.
"Mama..." ucap Akbar dengan suara penuh kasih sayang, "Gea sudah menceritakan semuanya, kan? Jangan menangis, Ma... Kami di sini. Kami akan membantu Mama."
Bunda Fatma menggenggam tangan Akbar erat-erat, air matanya semakin deras mengalir. "Akbar... Mama takut... Mama takut kehilangan Sha... untuk kedua kalinya."
Akbar menatap Bunda Fatma dengan tatapan penuh keyakinan, berusaha menyalurkan kekuatan dan harapan kepada ibunya. "Mama, jangan bicara seperti itu. Sha tidak hilang, Ma. Dia ada di sini... di dalam diri Fresha. Kita hanya perlu membantunya menemukan jalannya pulang."
Gea mendekat dan berlutut di sisi lain kursi roda Bunda Fatma, meraih tangan ibunya yang lain. "Benar, Bunda. Bang Akbar benar. Tubuh dan jiwanya Sha, Bunda. Walaupun ingatannya... walaupun ingatannya masih milik Fresha, tapi jiwa Sha masih bersemayam di sana. Kita hanya perlu menemukan cara untuk membangkitkannya."
Bunda Fatma menatap kedua anaknya dengan tatapan penuh harap, seolah mencari jawaban atas semua pertanyaan yang berkecamuk di benaknya. "Tapi... bagaimana caranya? Bagaimana caranya kita bisa membangkitkan Sha tanpa menyakiti Fresha? Bagaimana caranya kita bisa mengembalikan putri Bunda... tanpa kehilangannya lagi?"
Akbar menghela napas panjang dan menatap Bunda Fatma dengan tatapan serius. "Mama, kita harus ingat satu hal. Fresha... dia bukan musuh kita. Dia adalah Sha, hanya saja dia belum tahu. Kita tidak boleh memaksanya, kita tidak boleh membuatnya takut. Kita harus mendekatinya dengan lembut, dengan kasih sayang. Kita harus membiarkan Sha... menemukan jalannya sendiri."
"Maksudmu?" tanya Gea dengan nada bingung. "Apa yang harus kita lakukan, Bang?"
Akbar menatap Gea dengan tatapan penuh arti. "Kita harus lebih dekat dengan Fresha, Gea. Kita harus menunjukkan padanya siapa kita sebenarnya. Kita harus membiarkan dia merasakan cinta kita, kasih sayang kita. Kita harus membiarkan dia melihat sendiri... kenangan-kenangan Sha yang mungkin masih tersembunyi di dalam dirinya."
"Tapi... bagaimana jika dia tidak percaya?" tanya Bunda Fatma dengan nada khawatir. "Bagaimana jika dia menolak kita? Bagaimana jika dia justru membenci kita karena telah menyembunyikan kebenaran ini darinya?"
Akbar menggenggam tangan Bunda Fatma semakin erat, berusaha menenangkan ketakutan ibunya. "Mama, kita tidak boleh menyerah. Kita harus percaya pada kekuatan cinta kita. Kita harus percaya bahwa Sha... akan mengenali kita. Dia akan merasakan ikatan yang tak mungkin diputuskan. Dia akan kembali, Ma... Aku janji."
Gea mengangguk setuju, air matanya kembali mengalir di pipinya. "Benar, Bunda. Kita harus percaya. Kita harus memberikan Fresha kesempatan untuk mengenal Sha. Kita harus membiarkan dia memilih... siapa yang ingin dia jadi."
Bunda Fatma menatap kedua anaknya dengan tatapan haru, air matanya mengalir semakin deras. Ia merasakan kehangatan cinta dan dukungan dari kedua anaknya, dan itu memberinya sedikit kekuatan untuk menghadapi kenyataan yang pahit ini.
"Terima kasih..." bisik Bunda Fatma dengan suara bergetar. "Terima kasih sudah berada di sini... Terima kasih sudah memberikan Bunda harapan."
Akbar dan Gea tersenyum lembut dan memeluk Bunda Fatma bersamaan. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang dan penuh dengan tantangan, tetapi mereka berjanji untuk selalu berada di sisi Bunda Fatma, untuk selalu memberikan cinta dan dukungan, dan untuk melakukan segala yang mereka bisa untuk mengembalikan Sha kepada ibunda tercinta.
Akbar, Gea, dan Bunda Fatma duduk bersama di meja bundar untuk makan siang. Suasana masih terasa tegang dan penuh kehati-hatian. Gea dan Akbar berusaha untuk bersikap senormal mungkin, namun Bunda Fatma tampak masih larut dalam kesedihan dan kebingungannya.
Tanpa disadari, makanan yang tersaji di meja makan ternyata adalah makanan-makanan kesukaan Sha. Ada sayur asem, ikan goreng, sambal terasi, dan lalapan segar. Gea dan Akbar saling bertukar pandang, seolah ada kekuatan tak kasat mata yang menuntun mereka.
Akbar mencoba mencairkan suasana dan membuka percakapan. "Wah, Mama masak banyak sekali hari ini. Ini semua makanan kesukaan Sha, ya?"
Bunda Fatma hanya tersenyum tipis, tanpa menjawab pertanyaan Akbar. Ia tampak kehilangan nafsu makan.
Gea mencoba membantu. "Iya, Bunda. Ini semua enak sekali. Ayo, Bunda, dimakan dulu."
Saat Akbar hendak melanjutkan percakapan, tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti di halaman rumah. Mereka bertiga terdiam dan saling bertukar pandang.
"Siapa itu?" tanya Bunda Fatma dengan nada bingung.
Akbar berdiri dari kursinya dan mengintip dari jendela. "Sepertinya Zheshe, Lidia, dan... Fresha," ucapnya dengan nada terkejut sekaligus senang. "Zheshe kan sudah telepon Gea semalam, katanya mereka akan datang hari ini."
Gea dan Bunda Fatma ikut berdiri dari kursi mereka. Mereka bergegas keluar rumah, ingin menyambut kedatangan Zheshe, Lidia, dan Fresha. Jantung mereka berdebar kencang, berharap kedatangan Fresha akan membawa secercah harapan bagi mereka.