Pernikahan seharusnya membuka lembaran yang manis. Tapi tidak bagi Nayara, dia menyimpan rahasia kelam yang akhirnya merenggut kebahagiaannya.
Suaminya membencinya, rumah tangganya hampa, dan hatinya terus terjerat rasa bersalah.
Hingga suatu hari sumber masalahnya sendiri datang dan berdiri dihadapannya, laki-laki yang kini memperkenalkannya sebagai sopir pribadi.
“Sudah aku katakan bukan. Kamu milikku! Aku tidak akan segan mengejarmu jika kau berani meninggalkanku.”
Apakah Nayara akan mempertahankan rumah tangganya yang hampa atau kembali pada seseorang dimasa lalu meski luka yang ia torehkan masih menganga dihatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila_Anta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Masih di perjalanan.
Bian tampak sibuk dengan ponselnya yang sejak tadi terlihat sedang berkirim pesan dengan seseorang.
Sesekali laki-laki itu memijat pelipis dan membuang nafasnya kasar. "Sebelum ke kantor, kita harus menjemput seseorang terlebih dahulu."
Tanpa membantah Dev mengangguk cepat. "Baik, Tuan."
Dengan arahan Bian sendiri, mobil itu berbelok arah. Tidak lama mobil itu berhenti di depan gedung apartemen.
Seorang wanita keluar dengan setelan rapi yang melekat di tubuh jenjangnya. Tanpa ragu wanita itu membuka pintu karena mengenali mobil siapa yang sedang terparkir di sana.
"Selamat pagi, pak," sapanya.
"Pagi. Masuklah!" Sahutnya cepat. Ia tidak ingin berbasa-basi. Sejujurnya Bian sedang kesal karena Mona memaksa memintanya untuk datang menjemputnya di apartemen.
Wanita itu mendaratkan bokongnya di samping Bian yang tidak terlihat risih sama sekali. Mobil kembali melaju membelah di tengah keramaian kota.
"Pagi-pagi sudah cemberut aja pak. Nanti wajah tampannya hilang," celetuk Mona yang mendapat tatapan tajam Bian.
Bukannya takut, wanita itu malah tersenyum. "Kamu sopir baru?" Kali ini bertanya pada seseorang yang sedang fokus menatap jalanan meski sesekali ujung matanya mencuri pandangan ke belakang lewat kaca spion dalam.
"Iya Nona," jawab Dev cepat.
"Kau tidak merasa aneh bukan, jika melihat interaksi bos sama sekretarisnya seperti kami?" lanjut Mona.
Alis Dev terangkat. Ia belum paham maksud dari perkataan wanita tersebut. "Maksud Nona?"
"Kamu datang dari kampung, bukan? Kamu tau, kalau interaksi di kota besar kita ini sudah hal yang lumrah seperti ini. Dan kamu harus terbiasa dengan hal itu."
Tanpa tahu malu Mona menyenderkan kepalanya di pundak Bian. "Jangan melebihi batas. Dan jaga sikapmu!" bentak Bian.
Dev melihat dengan jelas Mona mengerucutkan bibirku, seperti kekasih yang sedang merajuk.
Setelah ultimatum yang Bian berikan, Mona tidak lagi berkutik. Padahal pagi ini ia ingin ber mesra-mesraan di dalam mobil.
Dev menyunggingkan senyumannya saat melihat kedua orang itu masuk ke dalam kantor. Gelagat mencurigakan dari keduanya begitu kentara, sehingga siapapun akan berpikir hal yang sama seperti Dev saat ini.
"Kita lihat, bangkai seperti apa yang anda sembunyikan, Tuan," ucapnya penuh seringai di bibir.
* * *
Malam itu Bian tidak pulang ke rumah. Seperti terjadi hal yang biasa. Nay nampak menjalankan aktifitas paginya seperti hari-hari sebelumnya.
Dev sudah masuk ke dapur pagi-pagi sekali. Ia mendapati Nay dan Bi Yati sedang menyiapkan masakan.
Pemuda itu berdehem sebelum berkata. "Maaf, Nyonya. Tuan berpesan semalam pada saya, kalau Tuan tidak bisa pulang malam tadi dan-" Dev sengaja menggantungkan kata-katanya. Ia ingin melihat bagaimana reaksi Nay.
"Dan apa?" tanya Nay tanpa menoleh.
"Beliau berpesan untuk memberitahukan kalau beliau akan pergi keluar kota selama beberapa hari ini."
Tangan Nay yang sedang memegang pisau terhenti. Gadis itu nampak tertegun, meremas sayuran yang sedang ia potong.
"Baiklah. Terimakasih. Jadi hari ini kau boleh bersantai di rumah," ucap Nay yang terus melanjutkan pekerjaannya.
'Ada apa dengannya. Kenapa dia terlihat santai sekali suaminya tidak pulang dan bahkan pergi keluar kota untuk beberapa hari. Dan kenapa laki-laki itu malah berpesan kepadaku. Apa dia tidak mampu berbicara langsung pada Nay. Ada apa ini sebenarnya.'
Dev tetap berdiri di sana. Membuat bi Yati ikut menimpali. "Kenapa masih di sini? Apa kamu mau membantu bibi memasak?"
"Hehe, anu bi. Saya mana bisa memasak. Kalau begitu lebih baik saya membantu pekerjaan lain di luar. Kalau begitu saya permisi."
Sebelum menghilang di balik pintu, Dev sempat melihat tangan bi Yati menepuk punggung Nay dan berkata menenangkan.
Pemuda itu melipir ke sudut ruangan yang berada di teras belakang. Tangan kanannya merogoh ponsel di dalam saku celana dan menekan nomor seseorang.
"Aku ingin kau melakukan sesuatu untukku," pintanya dingin pada seseorang di ujung telepon.
Saat sarapan Nay tidak ingin makan sendirian. Seperti biasa, jika tidak ada Bian gadis itu selalu makan di dapur bersama bi Yati dan kali ini ditambah personil baru.
Mereka bertiga makan dengan tenang. Interaksi Nay dan Bi Yati tidak seperti pembantu dan majikan, tapi lebih terlihat seperti ibu dan putrinya.
Dev bersyukur, di rumah ini Nay masih bisa tersenyum dan mendapat perhatian meski bukan dari suaminya.
"Ayo nambah lagi, nak Dafa. Jangan malah ngelihatin Non Nay. Bibi juga tau, Non Nay ini memang terlalu manis. Tapi gak usah diliatin segitunya juga kali," celetuk bi Yati membuat Dev salah tingkah.
"Bibi aja bilang Nyonya manis. Apalagi laki-laki seperti saya. Walaupun saya remahan rengginang begini, tapi mata saya masih awas bi. Jadi tau mana yang layak di pandang mata, hehe."
"Bisa aja kamu gombalnya." Bi Yati menyahut.
Nay hanya bisa tersipu mendengar pujian kedua orang tersebut. Walau bagaimanapun ia manusia normal yang akan tersanjung jika seseorang memuji nya.
Matahari mulai turun ke ufuk barat. Nay terduduk di kursi taman yang di penuhi dengan berbagai tamanan dan bunga.
Dev mencoba mendekati Nay meski tampak ragu. "Anu Nyonya. Eum, apa Nyonya tidak ingin keluar rumah sore ini?" tanyanya hati-hati.
Nay mendongak menatap Dev yang berdiri di sisi kursi. Gadis itu nampak mengerutkan dahinya.
"Saya lihat di sekitar jalan menuju ke sini ada tukang bakso yang lumayan ramai. Saya ingin sekali makan bakso di sana. Tapi, saya tidak berani keluar rumah sendiri, Nyonya. Maklum wong deso, hehe."
"Bakso?!"
Mendengar makanan favoritnya dulu, tentu saja membuat wajah Nay berbinar senang. "Sepertinya ide bagus. Saya juga sudah lama sekali tidak makan bakso." Nay yang langsung berdiri, seketika terhenti. "Tapi, saya harus mendapat izin dulu dari suami saya. Saya tidak mungkin keluar rumah tanpa izin darinya," ucap Nay penuh sesal.
"Kalau boleh. Saya bisa meminta izin pada Tuan, Nyonya," cetus Dev yang membuat Nay mengangguk cepat.
Meski lama sambungan panggilannya terhubung. Tetapi akhirnya seseorang berbicara di ujung telepon.
"Ada apa?"
"Anu, Tuan. Nyonya mau meminta izin untuk keluar rumah."
"Kemana?"
"Sekitar kompleks saja, Tuan. Mau nyari angin segar."
"Terserah!" Jawabnya singkat.
"Baik, Tuan."
Dev yang hendak mematikan sambungan telepon, seketika tangannya membeku. Ia mendengar suara desa*an wanita yang bisa ditangkap jelas oleh telinganya.
"Akh, sayang. Lebih cepat! Siapa si tadi. Mengganggu saja."
"Brengsek!" lirih Dev tertahan.
"Apa, Daf? Apa suamiku tidak mengizinkan?" Nay mengubah air muka Dev yang sempat memerah karena geram.
Secepat kilat ia kembali menguasai dirinya setelah tadi hampir saja terpancing.
"Tidak, Nyonya. Eum, maksud saya, Tuan tentu saja mengizinkan. Kalau begitu kita berangkat sekarang?"
Nay mengangguk. Sebelum itu, Nay juga sempat pamit pada bi Yati dan berjanji akan membawakan sebungkus mie bakso.
Mungkin ini kedua kalinya Nay bisa keluar dari sangkar emas ini. Wajahnya terus saja berbinar sepanjang melewati perjalanan sore mereka.