NovelToon NovelToon
Pria Dengan Rahasia... Dua Wajah!!!

Pria Dengan Rahasia... Dua Wajah!!!

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Permainan Kematian / Misteri / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Action / TKP
Popularitas:233
Nilai: 5
Nama Author: Dev_riel

Sebuah kota dilanda teror pembunuh berantai yang misterius.
Dante Connor, seorang pria tampan dan cerdas, menyembunyikan rahasia gelap: dia adalah salah satu dari pembunuh berantai itu.
Tapi, Dante hanya membunuh para pendosa yang lolos dari hukum.
Sementara itu, adiknya, Nadia Connor, seorang detektif cantik dan pintar, ditugaskan untuk menyelidiki kasus pembunuh berantai ini.
Nadia semakin dekat dengan kebenaran.
Ketika Nadia menemukan petunjuk yang mengarah ke Dante, dia harus memilih: menangkap Dante atau membiarkannya terus membunuh para pendosa...
Tapi, ada satu hal yang tidak diketahui Nadia: pembunuh berantai sebenarnya sedang berusaha menculiknya untuk dijadikan salah satu korbannya!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dev_riel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dante & Nadia Menemukan Petunjuk!

Aku berdiri sedekat mungkin ke display TKP tanpa menyentuh. Hanya melihat. Altar kecil itu belum diteliti ada sidik jari atau tidak. Belum ada yang di proses, meski aku yakin sudah di ambil gambarnya.

Kalau benar aku pelaku kejahatan ini, berarti aku seniman lebih dari yang aku kira. Bahkan dalam jarak sedekat ini kepala itu tampak seperti mengambang, beku dari jamahan waktu, sebuah parodi surga tanpa darah, terputus dari badan...

Tubuh mereka. Aku melongok berkeliling. Tidak ada tubuh korban di mana pun. Tidak ada tumpukan potongan tubuh dalam balutan plastik seperti biasa. Hanya piramida kepala di atas meja.

Kuperhatikan lebih mendalam. Beberapa saat kemudian, Haruki Takahashi perlahan menyelinap di sisi. Mulutnya membuka takjub, wajahnya pucat.

"Dante," lirihnya, lalu menggeleng.

"Halo, Haruki." Sapaku.

Haruki menggeleng lagi.

"Mana tubuhnya?" Aku bertanya.

Haruki tidak menjawab. Memelototi kepala-kepala itu lama sekali. Lalu menoleh padaku dengan wajah polos.

"Di tempat lain."

Terdengar suara gemerincing dari arah tangga. Kesunyian berakhir. Aku menyingkir dari altar saat Sofia muncul bersama beberapa reporter pilihan.

Nick dan Eric melirik altar, lalu berlari ke tangga sambil menutup mulut.

Rick yang paling tahan banting. Kening berkerut prihatin, menatap penataan cahaya ruangan, lalu beralih ke Sofia.

"Saya ingin memanggil orang kamera," katanya.

Sofia menggeleng. "Tunggu yang lain."

"Saya butuh gambar!" Desak Nick.

Sersan Daniel muncul di belakang Nick. Si reporter menoleh.

"Tidak boleh." Desis Daniel.

Nick Membuka mulut, menatap Daniel beberapa saat, lalu bungkam. Tidak jadi bicara.

Eric enggan melihat altar lagi. Nick mencoba tidak melihat, tapi tidak mampu menahan kepalanya menoleh sendiri ke arah itu.

Sofia mulai bicara. Aku beringsut mencuri dengar.

"Saya minta kalian bertiga datang melihat sendiri TKP ini sebelum kami izinkan membuka pemberitaan resmi di media." Ujar Sofia.

"Tapi kami boleh meliput secara tidak resmi?" Potong Nick.

Sofia tidak mengindahkan. "Kami tidak ingin ada spekulasi liar merebak di pers tentang apa yang terjadi di sini. Seperti kalian lihat, ini tindak kejahatan brutal dan aneh... Tidak Seperti Apa Yang Pernah Kamu Lihat Sebelumnya."

Jelas sekali dia berusaha menekankan kalimat, seperti berita utama di koran.

Nick berkata, "hah?" Lalu termenung.

Eric segera menyambut. "Tunggu dulu. Maksud anda ini pembunuhan yang lain lagi? Kasus yang sama sekali baru?"

Sofia menatap prihatin. "Tentu saja masih terlalu dini untuk mengambil kesimpulan apa pun, tapi mari kita kaji bersama secara logis. Oke?"

"Pertama." Sofia mengangkat satu jari, "kita telah menangkap orang yang mengakui pembunuhan sebelumnya. Sekarang dia di penjara dan tidak pernah kami lepas, jadi bukan dia pelakunya. Kedua, pembunuhan kali ini tidak seperti apa pun yang pernah saya lihat sebelumnya. Iya, bukan? Tiga korban sekaligus dan ditumpuk begitu cantik. Oke?"

Baguslah. Matanya belum rabun.

"Kenapa saya tidak boleh mengambil gambar?" Tanya Nick.

"Adakah cermin yang juga terdapat di salah satu pembunuhan sebelumnya?" Tanya Eric lemah, berusaha keras tidak melirik ke altar.

"Anda sudah mengidentifikasi mayat, hmm... apakah korban yang ini juga pelacur, Detektif?" Nick bertanya.

"Dengar, biar saya jelaskan. Saya tidak peduli apakah mereka pelacur, memegang cermin, atau apalah... saya tidak peduli!" Desis Sofia, mulai meradang.

Sofia menghela nafas agar lebih tenang, lalu melanjutkan. "Yang jelas sekarang, kita punya pembunuh kasus sebelumnya sedang meringkuk di penjara. Kita mendapat pengakuan pula. Kasus yang ini sama sekali baru. Oke? Itu yang penting. Kalian bisa lihat sendiri... ini jelas berbeda."

"Lalu kenapa anda yang ditugaskan menangani?" Tanya Eric.

Sofia menggertakkan gigi menjawab. "Karena saya yang memecahkan pembunuhan sebelumnya."

"Anda yakin ini benar-benar pemain baru, Detektif?" Sela Nick.

"Sangat yakin. Tidak bisa saya beberkan detailnya, tapi saya pegang bukti laboratorium sebagai pendukung."

Itu pasti maksudnya aku. Aku jadi merasa tersanjung.

"Tapi kasus yang ini mirip sekali, kan? Area yang sama, teknik yang secara umum juga sama..." bantah Eric.

Langsung dipangkas sofia, "Sangat beda, sangat berbeda."

"Jadi Anda puas dengan kondisi bahwa Henry Early yang melakukan pembunuhan sebelumnya dan kasus yang baru ini sama sekali beda?" Giliran Nick bertanya.

"Seratus persen puas dan yakin. Lagi pula, saya pribadi tidak pernah bilang Henry Early melakukan pembunuhan sebelumnya."

Sekejap para reporter itu bengong takjub, seperti tidak percaya pendengaran sendiri.

"Apa?" Nick lebih dulu menyuarakan protes.

Pipi Sofia semburat malu, tapi bersikeras.

"Saya tidak pernah mengatakan bahwa Henry Early yang melakukan pembunuhan itu. Dia sendiri yang mengaku. Oke? Bisa apa saya kalau sudah begitu? Menggeleng tidak percaya dan mengusirnya begitu saja?"

Eric dan Nick saling pandang. Pikiran mereka sama.

"Ini gila." Gumam Eric hendak protes, tapi keduluan Nick.

"Anda mau mengizinkan kami mewawancarai Henry Early? Lengkap dengan rekaman kamera?" Desak Nick menyambar peluang.

Kehadiran Kapten Jackson menyelamatkan muka kami dari ketololan jawaban Sofia selanjutnya. Tegap dia menapaki anak tangga, lalu kaku begitu melihat pameran seni di atas altar.

"Demi Tuhan!" Serunya terperangah.

Lalu bergeser mendapati gerombolan reporter yang mengelilingi Sofia.

"Sedang apa kalian di sini?" Bentaknya garang.

Sofia celingukan, tapi tidak ada yang berani menjawab. Jadilah dia berinisiatif, "Saya yang izinkan mereka masuk. Untuk liputan tidak resmi. Tidak direkam."

"Hei, Anda tidak bilang begitu tadi... soal tidak boleh merekam. Hanya bilang bahwa ini liputan tidak resmi." Bantah Nick.

Sofia melotot. "Tidak resmi sama artinya dengan tidak boleh merekam."

"Keluar! Secara resmi dan harap dicatat, saya minta kalian KELUAR!" Salak Jackson.

Eric menelan ludah memberanikan diri.

"Kapten, setujukah Anda dengan Detektif Sofia bahwa kasus ini merupakan kasus pembunuhan berantai yang baru, dengan pembunuhan yang berbeda?"

"Keluar, saya akan jawab pertanyaan kalian di bawah. Tidak di sini." Desis Jackson mengulang perintah.

"Saya butuh mengambil gambar. Tidak akan lama, hanya butuh waktu semenit." Nick mencoba lagi.

Jackson mengangguk menunjuk pintu. "Sersan Daniel?"

Daniel muncul seperti jin keluar dari botol, langsung menggamit lengan Nick.

"Mari bapak-bapak." Ujar Daniel dengan suara khas lembut menakutkan.

Ketiga reporter menatapnya. Nick menelan ludah dengan berat. Sedetik kemudian balik badan dan keluar tanpa bicara apa-apa lagi, diikuti yang lain.

Jackson menatap mereka berlalu dengan pandangan klinis. Setelah aman dari jarak pendengaran, dia menoleh ke Sofia.

"Detektif, kalau sampai ini terulang lagi, saya akan membuat kamu tidak diterima bekerja di mana pun." Ujar Jackson mengancam.

Sofia kontan pucat, lalu bersemu merah. Malu.

"Kapten, saya cuma..." Lanjutnya hendak membantah. Tapi Jackson keburu melongos, turun tangga menyusul ketiga reporter.

Kulirik altar. Belum berubah, tapi sudah mulai di proses sidik jari. Setelah itu akan di bongkar untuk dianalisis setiap bagiannya. Tidak lama lagi mahakarya ini akan tinggal kenangan.

Aku turun tangga mencari Nadia.

Di luar gedung, Nick sudah bersiap dengan kru kamera. Kapten Jackson berdiri dengan mikrofon tersorong sampai ke dagu dia memberi pernyataan.

"... selalu jadi kebijakan departemen Kepolisian untuk memberi keleluasaan otonomi pada petugas yang bertanggung jawab menangani kasus, sampai terbukti kemudian apakah kompetensinya layak dipertanyakan dengan ada atau tidaknya kesalahan penilaian dalam bertugas. Harus saya tekankan bahwa saat itu belum tiba, tapi secara pribadi saya akan terus memantau kasus ini. Terlebih dengan besarnya keprihatinan dari pihak masyarakat..."

Kudapati Nadia di tengah kerumunan warga, sedang berdiri di tepian garis kuning, mengenakan seragam patroli. Segera kuhampiri dirinya.

"Bajunya bagus." Aku berkata.

"Aku juga suka. Kamu sudah lihat ke atas?"

"Sudah. Juga diskusi kasus antara Kapten Jackson dengan Detektif Sofia." Kataku.

Nadia menahan napas. Tegang. "Mereka bilang apa?"

Kutepuk lengannya. "Kalau diistilahkan, kira-kira seperti sebutan Ayah dulu. Apa ya... 'ditampar di muka umum'. Kamu ingat?"

Nadia kaget sejenak, lalu sumringah. "Hebat! Sekarang aku benar-benar butuh bantuan kamu, Dante."

"Memangnya selama ini aku sedang apa?"

"Aku tidak tau kamu sebenarnya sedang apa, tapi rasanya tidak cukup."

"Beneran tidak adil, Nad. Dan sangat tidak baik. Lihat dong di mana kamu sekarang, juga seragam yang kamu pakai. Atau barangkali kamu lebih suka kostum pelacur?"

Nadia bergidik. "Bukan itu maksud aku. Kamu merahasiakan sesuatu  dan banyak informasi yang berhubungan dengan kasus ini sejak lama. Aku penasaran."

Sejenak aku tidak tau harus bilang apa.

"Nad..."

"Dengar dulu. Kamu pikir aku buta omong kosong soal politik kantor dan sebagainya. Iya, kan? Boleh jadi tidak sepandai kamu soal itu, tapi aku tau persis sekarang ini mereka bakal sibuk menyelamatkan muka masing-masing untuk sementara. Ini berarti, tidak akan ada yang peduli untuk melakukan tugas penyelidikan dengan benar."

"Kamu mau merebut peluang itu, Nad? Melakukan penyelidikan dengan benar sementara yang lain sibuk menjilat? Hebat, Nad."

"Begitulah, aku butuh bantuan kamu melebihi yang sudah-sudah. Tolong ya, Danny?" Dia meremas tanganku.

Entah mana yang lebih mengejutkan, analisis cerdasnya, remasan tangannya atau penggunaan nama panggilan "Danny".

Terakhir kali Nadia memanggil dengan nama itu adalah waktu umurku sepuluh tahun. Entah dia sengaja atau tidak, tapi setiap kali dia memanggilku Danny, rasanya seperti dibetot kembali ke Zona sebuah tempat abstrak di mana keluarga menjadi prioritas utama beserta kewajibannya.

Aku tidak berdaya.

"Tentu, Nad." Jawabku lemah.

Sungguh, gaung sebutan Danny itu hampir cukup membuatku mampu merasakan emosi.

"Bagus." Angguk Nadia, kembali serius.

"Sekarang, apa hal utama yang paling mencolok dari kasus ini?" Tanya Nadia sambil menunjuk dengan dagu ke lantai dua.

"Tidak ada potongan tubuh korban. Hanya potongan kepala. Dan ngomong-ngomong soal itu, apa sudah ada yang mencari?"

Nadia menjawab dengan ekspresi khas Polisi Veteran. "Sejauh yang aku tau, lebih banyak petugas yang ditugaskan menangani serbuan kamera TV ketimbang aksi Polisi sungguhan dalam kasus ini."

"Bagus. Berarti jika bisa menemukan potongan tubuh itu lebih dulu, posisi kita bakal di atas angin."

"Oke. Harus mulai dari mana menurut kamu?"

Pertanyaan bagus, tapi aku bingung menjawab. Tidak tau harus mulai dari mana. Apakah ditinggal di ruang pembunuhan, ruang serba putih dan dingin yang kulihat dalam mimpi? Rasanya tidak.

Bakal bikin berantakan kalau iya. Kalau kelak dia ingin menggunakan ruang itu lagi, dia pasti tidak suka melihatnya berantakan.

Baiklah. Kalau begitu, mari berasumsi bahwa sisa potongan tubuh dibuang ke tempat lain. Ke mana kira-kira?

Coba pikir : pertunjukan potongan kepala ini pasti punya maksud. Apa alasannya dia membuang sisa tubuh ke tempat lain?

Sekadar disembunyikan sajakah? Tidak, orang ini tidak pernah sesederhana itu. Dia juga tidak suka menyembunyikan kalau memang bisa dipamerkan.

Khususnya sekarang, saat hendak sedikit pamer kemampuan. Kalau analisis ini benar, dimana kira-kira dia menaruh potongan tubuh itu?

"Hei, gimana nih? Malah melamun. Ke mana kita harus mencari?" Desak Nadia.

Aku menggeleng. "Tidak tau. Di mana pun dia taruh potongan sisanya, pasti merupakan bagian dari pernyataan yang ingin disampaikan. Dan kita belum tau pasti apa pernyataan itu, kan?" Kataku pelan.

"Dante..."

"Aku tau dia hendak pamer dan bikin kita kesal. Mau menyampaikan secara tidak langsung bahwa kita telah melakukan ketololan besar dngan menangkap Henry Early. Lagi pula, bila Henry Early tidak ditangkap, dia tetap masih lebih pintar dari kita."

"Sejauh ini dia benar," gerutu Nadia.

"Jadi... di mana pun dia buang sisa potongan tubuh, tetap merupakan kelanjutan dari pesan tersebut. Bahwa kita bodoh... eh, tidak! Bahwa kita telah melakukan suatu ketololan."

"Benar. Perbedaan yang amat penting."

"Ayolah, Nad. Jangan merengut terus. Simak baik-baik. Ini penting. Maksudku adalah bahwa dia mau mengomentari kita perihal TINDAKAN, dan bukan pada PELAKU."

"Wow. Hebat, Dante. Jadi sebaiknya kita menggerebek panggung teater setempat, mencari aktor yang tangannya bersimbah darah sampai siku. Iya?"

Aku menggeleng kesal. "Bukan darah, Nad. Bukan itu. Ketiadaan darah justru menjadi salah satu hal terpenting."

"Kok yakin sekali?"

"Karena selama ini tidak pernah ada darah di setiap TKP yang dia buat. Itu sengaja dan vital terhadap kegiatan yang dilakukan. Kali ini dia akan mengulang semua bagian yang penting seperti biasa, sembari mengomentari apa yang telah dilakukan sebelumnya... semacam penekanan, begitulah. Kenapa? Karena kita tidak melihat ke arah itu. Paham?"

"Tentu, aku paham. Sungguh masuk akal. Kalau begitu kenapa tidak kita periksa ulang Stadion Center? Barangkali dia menumpuk lagi potongan tubuh di bawah gawang?"

Aku membuka mulut hendak membalas dengan komentar cerdas. Kesimpulan Polisi soal tumpukan potongan tubuh di bawah gawang lapangan hobi yang akhirnya mengarah ke Henry Early itu salah. Sangat salah.

Tindakan itu cuma eksperimen. Aku yakin tidak akan terulang. Aku hendak menjelaskan ini pada Nadia, bahwa satu-satunya alasan kemungkinan dia mengulang hal ini adalah jika... Eh, tunggu dulu... aku terbengong kaku. Seperti tersambar petir menyadari sesuatu.

Tentu saja! Pikirku. Pasti begitu.

"Sekarang siapa yang mukanya aneh, huh? Kenapa, Dante?"

Sejenak aku tidak menjawab. Sibuk mencerna dan menangkap datangnya ilham.

Satu-satunya alasan kemungkinan dia mengulang episode gawang hoki adalah untuk menunjukkan bahwa kita telah menangkap orang yang salah.

"Oh, Nad. Tentu saja. Kamu benar soal lapangan hoki. Benar dengan alasan yang salah, tapi tetap saja..."

"Masa bodoh soal alasan salah," tepis Nadia, langsung bergegas ke mobil.

1
Yue Sid
Thor, jangan bikin kami tidak bisa tidur karena ingin tahu kelanjutannya 😂
Dev_riel: Besok kelanjutannya ya😄🙏
total 1 replies
🔥_Akane_Uchiha-_🔥
Cerita seru banget, gak bisa dijelasin!
Dev_riel: Makasih🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!