Aku, Ibu Pengganti Yang Terabaikan

Aku, Ibu Pengganti Yang Terabaikan

Wasiat Fatimah.

Pagi itu, Rubi sudah bersiap-siap menjemput sahabatnya, yang bernama Fatimah. Rencananya, Rubi akan membuat kejutan di hari ulang tahun Fatimah, dengan menyatakan jika dirinya sudah sembuh, dan baru saja bertunangan dengan seorang pria yang ia gadang-gadang sebelumnya.

Namun, hal yang tidak di inginkan siang itu terjadi. Hari yang seharusnya menjadi kebahagiaan ... Malah berubah menjadi hal tragis, berakhir duka.

Sama-sama berbincang, dan bergurau dalam mobil, hingga membuat fokus Rubi menyetir terganggu.

Dari arah berlawanan, tetiba ada sebuah motor yang menyebrang begitu saja.

"Rubi ... Awas ...!!!" Pekik Fatimah, menyadarkan fokus Rubi.

Rubi tersentak. Kaki yang seharusnya menekan rem, malah semakin kuat menginjak gas mobilnya. Itu semata-mata karena Rubi tegang, jadi ia tidak konsentrasi.

Kecelakaan tidak dapat terhindarkan. Hingga ....

BRAK!!!

Mobil Rubi menghantam pembatas jalan, hingga terbalik.

Ditengah kesadaran mereka, Fatimah masih mampu meraba lengan sahabatnya untuk ia genggam.

"Rubi ...." Lirih Fatimah, dengan darah yang sudah mengalir diwajahnya.

Rubi pada saat itu tidak sadarkan diri. Hingga, Meraka berdua langsung dilarikan ke Rumah Sakit.

Mahendra-suami Fatimah tidak terima, dan sempat menuntut Rubi atas kejadian naas itu. Akan tetapi, di sisa tenaga yang masih Rubi miliki, wanita berusia 22 tahun itu memohon, agar suaminya tidak kegabah.

1 hari setelah di rawat, Rubi yang semula kritis, kini malah berangsur membaik. Dan Fatimah, ia kini bergantian dinyatakan kritis, meski sehari itu ia sempat sadar.

"Aku ingin bertemu Rubi, Mas!" Pinta Fatimah begitu lirih.

"Baik, nanti kita menemui Rubi sama-sama! Yang penting kamu sehat dulu!" Mahendra tak sampai hati melihat wajah Fatimah semakin melemah. Meskipun wajahnya datar, namun sorot mata itu menatap iba.

Fatimah duduk dikursi roda, dan dibawa Mahendra menuju ruangan Rubi.

Pagi itu, Rubi yang di tunggui sang kakak-Arman, kini perlahan bangkit, menangis melihat kedatangan sahabatnya.

Meskipun sama-sama berwajahkan pucat, namun sorot mata Rubi lebih kuat.

"Maafkan aku, Fatimah!" Seru Rubi menggapai tangan sahabatnya.

Fatimah juga ikut menangis. Air matanya luruh, namun bibirnya mampu tersenyum.

"Ruby ... Semua sudah ketetapan Allah! Jangan lagi menyalahkan dirimu." Fatimah juga membalas genggaman tangan Rubi.

"Mas Hendra ... Mendekatlah, karena ada yang ingin aku bicarakan!" Pinta Fatimah menoleh suaminya.

Mahendra agak mengernyit. Ia tetap mengikuti permintaan istrinya, sambil menarik kursi untuk dia duduki.

"Apa kamu perlu sesuatu?" Tanya Mahendra begitu lembut.

Fatimah menggeleng lemah. Ia menatap suaminya, lalu berganti menatap sahabatnya-Rubi ... Seakan ada sesuatu yang harus ia sampaikan saat itu juga.

"Mas ... Kamu menyayangiku 'kan? Kamu juga menyayangi putri kita 'kan?" Tanya Fatimah tetiba. Sorot mata itu sudah terlihat sayu, namun ia paksa untuk kuat.

Perasaan Mahendra sudah tidak enak. Rasa takut kehilangan istrinya seketika memuncak kuat, bagai terdorong ditepi jurang.

"Hal itu tidak perlu kamu tanyakan! Kalian berdua separuh nyawa Mas. Mas tidak akan dapat hidup tanpa kalian!" Papar Mahendra. Meski terdengar ambigu, namun Ruby mengenyahkan begitu saja.

Fatimah tersenyum penuh syukur. "Mas ... Manusia tidak akan ada yang tahu bagaimana kisahnya di akhir! Aku hanya berpesan padamu ... Jika kelak tiba masanya jiwaku terputus oleh dunia ini ... Maka menikahlah dengan Rubi! Dia tidak hanya sahabat ... Tapi sudah ku anggap sebagai adiku sendiri! Aku akan pergi dengan tenang, jika melihat Naumi berada ditangan wanita tepat!" Lirih Fatimah yang mampu mengiris dada penghuni ruangan itu.

Mahendra mendongak, ia tak mampu menatap mata istrinya. Air matanya sudah menggantung, sebentar lagi terjatuh.

"Nggak ... Kamu sudah sembuh, Fatimah! Lihatlah ... Tubuhmu sudah membaik dari sebelumnya. Aku nggak ingin kamu berbicara kelantur seperti ini!"

Ruby hanya mampu menggelengkan kepala lemah, serta membeku di tempat. "Kamu tidak boleh berkata seperti itu, Fatimah! Kamu sahabat baiku satu-satunya. Kamu duniaku, dan ... Aku nggak ingin berpisah darimu!" Tangisan Ruby semakin menjadi.

Fatimah hanya mampu tersenyum, melihat bagaimana ketulusan sahabat, serta suaminya itu. Namun apa daya, disisi lain kecelakaan itu ... Fatimah telah lama mengidap penyakit ganas, dan rahasia itu tersimpan rapat.

2 hari setelah permintaan itu, Fatimah benar-benar pergi untuk selama-lamanya.

Kepergiannya sangat bersih. Ia tertidur sehabis melaksanakan sholat dhuhur. Wajah cantik itu masih terbalut mukena putih, semakin membuat terang, wajahnya bagaikan bulan purnama.

Keluarga besar Fatimah maupun Mahendra, sudah tahu dengan permintaan terakhir Fatimah. Dan demi menghargai mendiang istrinya, Mahendra akhirnya menyetujui pernikahan itu.

Namun, siapa sangka, jika neraka pernikahan yang Mahendra janjikan untuk Ruby.

Baru 2 bulan merajut kasih dengan Gama, setelah perceraiannya. Rupanya kisah itu terpaksa kandas di tengah jalan kembali.

Ruby pun mendapat kecaman wanita murahan dari keluarga Gama. Setelah hubungannya berakhir, Ruby malah menikah dengan seorang Duda.

Yakni Mahendra Adiguna Wijaya.

***

4 bulan berlalu.

Bocah berusia 1 tahun, dalam gendongan wanita tua itu menangis nyaring, hingga membuat sang Nenek kualahan.

Namanya Naumi Ivani Wijaya. Sudah 4 bulan, semenjak ditinggalkan Ibunya ... Naumi sering kali rewel, karena badanya sering sekali panas.

Naumi sejak lahir hanya meminum ASI sang Ibunda, tanpa mau meminum dari Dot. Namun, hal tersebut rupanya Kini mampu mencekik sang Ayah dan juga Neneknya, perihal ketergantungan itu.

Bu Indah-ia kini sudah duduk diruang tengah, setelah menidurkan sang cucu. Naumi tidak memiliki suster khusus, karena dulu Fatimah menolak, saat Mahendra menawarinya pengasuh.

Meski begitu, banyak pelayan di rumah itu, yang terkadang juga membantu Bu Indah mengurus, serta menjaga Naumi. Terutama Bik Melas.

"Ada apa, Bu?" Mahendra baru saja tiba, agak mengernyit, kala ia menjatuhkan tubuh beratnya diatas sofa.

"Sudah 4 bulan, dan Ibu cukup kualahan menjaga putrimu, Hendra! Lagian kamu mau sampai kapan mengulur waktu? Fatimah juga pasti akan bahagia jika permintaan terakhirnya terpenuhi." Jelas sekali wajah tua Bu Indah begitu lelah.

Mahendra tercengang. Ia menegakan posisi duduknya, menatap sang Ibu dengan sorot tidak setuju.

"Bu ... Aku yakin, Fatimah tidak begitu tulus mengatakannya! Dia hanya kasian pada sahabatnya yang belum laku itu. Sudahlah, Bu ...!!! Yang terpenting, aku akan fokus membesarkan Naumi terlebih dulu!" Setelah mengatakan itu, Mahendra langsung bangkit, dan berjalan ke lantai dua.

Naumi yang masih berusia 4 bulan itu, semakin hari semakin rewel. Dan terpaksa dilarikan ke Rumah Sakit oleh Mahendra.

"Hendra ... Cobalah hubungi Ruby agar dia datang kesini!" Pinta Bu Indah sambil menenangkan cucunya.

Mahendra bersikukuh menolak, tidak ingin melibatkan Rubi dengan putri kecilnya itu.

"Nggak, Bu! Jika Ibu lelah, biar Hendra yang gantiin buat jaga Naumi. Ruby bukan siapa-siapa kita. Jadi Ibu jangan terus menggantungkan Naumi padanya!" Tolak Hendra.

"Jika kamu nggak mau menghubungi Ruby ... Maka Ibu sendiri yang akan memintanya datang kesini!" Bu Indah memberikan Naumi pada Bik Melas. Ia kini berjalan agak menyingkir untuk melakukan panggilan telfon.

'Rubi ... Semua ini gara-gara kamu! Jika saja waktu itu kamu tidak mengajak Fatimah pergi ... Pasti sampai saat ini pun, dia masih bersamaku disini. Dasar kamu pembunuh!' geram batin Mahendra.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!