NovelToon NovelToon
The Path Of The Undead That I Chose

The Path Of The Undead That I Chose

Status: sedang berlangsung
Genre:Iblis / Epik Petualangan / Perperangan / Roh Supernatural / Kontras Takdir / Summon
Popularitas:432
Nilai: 5
Nama Author: Apin Zen

"Dalam dunia yang telah dikuasai oleh iblis, satu-satunya makhluk yang tersisa untuk melawan kegelapan… adalah seorang yang tidak bisa mati."



Bell Grezros adalah mantan pangeran kerajaan Evenard yang kini hanya tinggal mayat hidup berjalan—kutukan dari perang besar yang membinasakan bangsanya. Direnggut dari kematian yang layak dan diikat dalam tubuh undead abadi, Bell kini menjadi makhluk yang dibenci manusia dan diburu para pahlawan.

Namun Bell tidak ingin kekuasaan, tidak ingin balas dendam. Ia hanya menginginkan satu hal: mati dengan tenang.

Untuk itu, ia harus menemukan Tujuh Artefak Archelion, peninggalan kuno para dewa cahaya yang dikabarkan mampu memutuskan kutukan terkelam. Dalam perjalanannya ia menjelajah dunia yang telah berubah menjadi reruntuhan, menghadapi para Archfiend, bertemu makhluk-makhluk terkutuk, dan menghadapi kebenaran pahit tentang asal usul kekuatannya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Apin Zen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jalan Berduri Menuju Bayangan

Asap pekat dari tubuh raksasa bayangan yang hancur perlahan memudar, meninggalkan reruntuhan yang dipenuhi dengan batu pecah dan tanah retak. Namun, keheningan yang datang setelahnya bukanlah ketenangan. Itu adalah keheningan yang penuh ketegangan, seakan seluruh udara di sekitar mereka menolak untuk bergerak.

Lythienne berlari ke arah Bell, wajahnya pucat. “Bell! Kau tidak bisa terus seperti ini!” Tangannya sempat terulur, tapi ia ragu menyentuh tubuh sang undead yang masih dipenuhi aura kematian.

Bell hanya berdiri, pedang masih dalam genggaman, tatapannya kosong ke arah tempat bayangan itu lenyap. Napasnya berat, meskipun ia tidak membutuhkan oksigen seperti manusia biasa. Energi yang ia keluarkan tadi jelas meninggalkan jejak pada tubuhnya yang rapuh.

Eryndra menunduk, menekan luka kecil di lengannya yang ia dapat saat melindungi Lythienne dari serangan bayangan. Matanya menatap Bell dengan sorot tak terbaca, campuran antara kagum, takut, dan ragu. “Dia semakin larut dalam kekuatan itu…” bisiknya pelan, cukup hanya untuk dirinya sendiri.

Mereka bertiga beristirahat di bawah tembok yang setengah runtuh. Untuk beberapa saat, hanya suara angin yang terdengar, membawa bau debu dan besi berkarat.

Lythienne akhirnya bicara, nadanya lebih keras daripada biasanya.

“Kalau kita terus maju seperti ini, kita tidak akan bertahan. Bell, kekuatanmu menakutkan… tapi setiap kali kau menggunakannya, seolah kau makin jauh dari kami. Bagaimana kami bisa percaya bahwa kau masih… dirimu sendiri?”

Bell menoleh perlahan, matanya menatap langsung pada Lythienne. Dingin, tapi tidak marah.

“Percaya atau tidak, itu tidak penting. Yang penting… kita bertahan. Fragmen harus ditemukan.”

Jawaban itu menekan lebih dalam ketegangan di antara mereka.

Eryndra menghela napas, lalu menegakkan tubuhnya. “Kalau begitu, kita butuh strategi. Raksasa tadi hanyalah penghalang. Sosok bertopeng itu…” ia melirik ke arah reruntuhan di kejauhan, “…masih menunggu kita. Kalau kita maju tanpa rencana, dia akan memusnahkan kita sebelum sempat mendekat.”

“Setuju.” Lythienne mengangguk cepat, lalu menatap Bell. “Kau bisa menjadi pedang terakhir kita, tapi sebelum itu… biarkan aku dan Eryndra membuka jalan. Kau tidak perlu selalu berada di garis depan.”

Bell terdiam sejenak. Kata-kata itu mungkin terdengar masuk akal, tapi dalam dirinya, ia tahu bahwa musuh seperti sosok bertopeng tidak bisa dihadapi hanya dengan strategi manusia biasa. Namun, ia tidak membantah.

“…Baik. Kalian buka jalan. Aku akan menghabisinya.”

Jawaban singkat itu sudah cukup membuat Lythienne merasa lega meski hanya sedikit. Eryndra masih memandang Bell dengan tatapan dalam, seolah mencoba menembus dinding dingin di dalam dirinya.

Malam itu, mereka berkemah di bawah bayangan reruntuhan. Api kecil dinyalakan, meski cahaya dari api itu terasa rapuh di tengah kegelapan yang mengitari mereka.

Tidak ada dari mereka yang benar-benar bisa tidur. Pikiran mereka dipenuhi pertanyaan: bagaimana menghadapi musuh yang lebih kuat dari bayangan tadi? Dan seberapa jauh Bell akan tenggelam dalam kekuatan abadi itu?

Di kejauhan, di atas menara yang runtuh, sosok bertopeng itu masih berdiri. Tenang, seolah sedang menunggu pertunjukan berikutnya.

---

Langkah mereka terhenti di hadapan sebuah koridor reruntuhan yang gelap, semacam lorong alami terbentuk dari dinding batu yang runtuh. Dari jauh, cahaya samar bulan menyorot celah di ujung lorong, dan tepat di atasnya siluet sosok bertopeng terlihat sekilas—seolah menantang mereka untuk datang.

Namun, lorong itu bukan jalan biasa. Setiap dinding dipenuhi ukiran aneh yang berdenyut samar seperti nadi, memancarkan cahaya gelap kehijauan. Lythienne segera merasakan aura asing yang memaksa tubuhnya menggigil.

“Ini bukan sekadar lorong. Ini… jebakan yang disulam dengan sihir kegelapan.”

Eryndra melangkah lebih dekat, ujung tombaknya mengetuk lantai. Bunyi dentingan itu menggema, lalu disusul suara gemuruh halus. Dari kegelapan, bentuk raksasa muncul—tingginya hampir menyentuh atap lorong. Tubuhnya seperti terbuat dari batu dan bayangan, wajahnya tanpa mata, hanya lubang hitam yang terus meneteskan asap pekat.

“Penghalang…” Bell bergumam, matanya berkilat. “Dia menempatkannya di sini agar tak seorang pun bisa mendekat.”

Raksasa itu mengangkat lengannya, lalu menurunkan tinju raksasanya ke arah mereka. Tanah berguncang, debu beterbangan. Bell bergerak cepat, menahan hantaman itu dengan pedangnya. Dentuman keras terdengar, membuat api kecil yang mereka bawa padam seketika.

“Bell, jangan sendirian!” Lythienne berteriak, segera melantunkan mantra. Cahaya biru melingkupi ujung tongkatnya, lalu melesat menjadi rantai cahaya yang menahan kaki raksasa itu, meski hanya sebentar.

Eryndra tak tinggal diam. Dengan kecepatan kilat, ia menyusuri sisi lorong, mengincar titik lemah di punggung raksasa. Tombaknya menghantam keras, menembus celah batu yang menyatu dengan bayangan, membuat raksasa itu meraung tanpa suara.

Namun setiap kali mereka melukai, tubuh raksasa itu segera menutup kembali, bayangannya terus menelan luka-luka tersebut. Seakan ia tidak pernah benar-benar bisa mati.

“Ini sia-sia!” Lythienne menggertakkan gigi, peluh dingin membasahi wajahnya.

“Tidak,” Bell mengangkat pedangnya, aura kematian mengalir semakin deras dari tubuhnya. “Kita harus membuatnya runtuh sekali serang. Kekuatan bayangan tidak akan bertahan melawan kekuatan abadi.”

Tanah bergetar lebih keras ketika raksasa itu kembali mengayunkan lengannya, menghancurkan sebagian dinding lorong. Batu-batu runtuh, jalur semakin sempit. Mereka tidak punya banyak waktu—jika lorong ini sepenuhnya runtuh, jalan menuju sosok bertopeng akan hilang.

Bell menatap rekan-rekannya. “Tahan dia beberapa detik saja. Aku akan menghabisinya.”

Sorot matanya membuat Lythienne terdiam, hatinya berdegup keras. Eryndra hanya mengangguk, lalu melompat ke depan untuk mengalihkan perhatian raksasa.

Suara mantra, dentingan besi, dan raungan bayangan memenuhi lorong. Malam itu, jalan menuju sosok bertopeng berubah menjadi neraka sempit penuh debu, api, dan darah.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!