Apa yang kita lihat, belum tentu itulah yang sebenarnya terjadi. Semua keceriaan Aurora hanya untuk menutupi lukanya. Dia dipaksa tumbuh menjadi gadis kuat. Bahkan ketika ayahnya menjual dirinya pada seorang pria untuk melunasi hutang-hutang keluarga pun, Aurora hanya bisa tersenyum.
Dia tersenyum untuk menutupi luka yang semakin menganga. Memangnya, apa yang bisa Aurora lakukan selain menerima semuanya?
"Jika kamu terluka, maka akulah yang akan menjadi obat untuk lukamu." —Skala Bramasta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
"Jadi, Aurora bukan anak kandung Galih?"
Skala mengangguk mendengar pertanyaan sang daddy. Saat ini dia berada di ruang kerja ayahnya, sedangkan Aurora sibuk bersama Nenek Aster.
"Awalnya aku mencoba mencari tau tentang Aurora. Ada sesuatu yang ganjil, aku sedikit curiga. Dan saat aku sudah mendapatkan informasi yang sebenarnya, Mr. Benjamin mengajakku bertemu," jelas Skala. "Dan ya, dia memintaku agar mengajak Aurora ke rumahnya."
"Astaga ... Mr. Benjamin? Bahkan keluarga kita masih di bawah mereka, Son." Javas menggeleng pelan.
"Itu yang aku pikirkan saat mengetahui semuanya. Bahkan aku sampai berfikir hendak melepas Aurora, tapi, Mr. Benjamin menjelaskan semuanya dan memintaku agar tidak melakukan hal itu."
Javas menepuk punggung anaknya. "Pernikahan bukan untuk dimainkan. Jangan sampai kamu meninggalkan Aurora."
Skala mengangguk. "Ya. Itu tidak akan terjadi, karena aku sudah berjanji pada diriku, Dad," ujarnya.
Javas tersenyum bangga. "Bagus, ini baru anak Daddy!"
Skala hanya tersenyum tipis.
Tiba-tiba wajah Javas berubah serius. "Kamu tau siapa itu Mr. Benjamin, kan? Daddy harap, kamu benar-benar bisa menjaga Aurora. Daddy yakin, saat ini media belum mengetahui keberadaan Aurora di keluarga Alessandro. Suatu hari nanti mereka pasti akan mengetahuinya, dan saat itu terjadi, kamu harus siap, Skala."
Skala mengangguk tanpa ragu. "Aku sudah mempersiapkan semuanya," katanya.
"Tapi, kamu juga harus hati-hati. Mengerti?"
Lagi-lagi Skala mengangguk. Hal itu membuat Javas menatapnya dengan sorot penuh arti.
"Jangan percaya siapapun, Skala."
****
"Kakak sudah di rumah kami?" Mata Aurora berbinar ketika berbicara dengan Charlie melalui telepon.
"Ya, Princess. Cepatlah pulang, aku sangat merindukanmu," balas Charlie di seberang sana.
Aurora mengangguk cepat. "Baiklah! Tunggu sebentar, aku akan pulang."
"Okay, Baby."
Setelah panggilan terputus, Aurora berjongkok di depan Nenek Aster yang sedang memberi makan ikan hias di kolam kecil.
"Nenek, Kakak ada di rumah, aku harus pulang segera. Tidak apa-apa, kan?"
Nenek Aster tersenyum, dia mengelus puncak kepala Aurora dengan lembut. "Tidak apa-apa."
Aurora tersenyum lebar, dia mencium punggung tangan Nenek Aster. "Terimakasih, Nenek! Ayo, aku antar ke dalam."
Bertepatan Aurora masuk ke dalam rumah, Skala juga keluar dari ruang kerja Javas. Pria itu berjalan menuruni tangga menuju lantai dasar dengan santai.
Ketika tiba di lantai dasar, dia bertemu Evanda.
"Skala, ajak istrimu makan siang bersama," titah Evanda.
Tak menolak, Skala mengangguk patuh. Dia segera menemui Aurora, namun, ketika sampai di belakang rumah, Aurora tidak ada di sana. Padahal, jelas-jelas sebelum ke ruangan Javas, Skala melihat Aurora di sana bersama Nenek Aster.
"Skala?" Aurora menepuk punggung suaminya. Ia tersenyum saat Skala berbalik.
"Kak Charlie ada di rumah, aku ingin pulang sekarang," ujarnya dengan permohonan. Bahkan kakinya menghentak kecil beberapa kali seperti bocah membujuk ayahnya.
"Tidak ingin makan siang di sini?" tanya Skala.
Aurora terlihat ragu. Apakah makanannya sudah dihidangkan semua? Kalau iya, dia jadi tak enak dengan Evanda.
"Kalau begitu, kita makan siang di sini sebentar lalu pulang. Ya?"
Skala mengangguk pelan. Dia mengelus puncak kepala Aurora lalu keduanya menuju ruang makan.
"Aku akan kabari Kak Charlie dulu."
****
"Sebenarnya, kamu kerja apa, Maliqa?"
Maliqa yang sedang mengunyah pizza pun jadi terhenti. Matanya menatap makanan yang baru saja dia beli untuk mereka bertiga. Ada pizza, burger, kentang goreng, ayam crispy, dan minuman segar lainnya.
"Kerja jadi admin sosial media, Ayah. Kadang, aku juga ambil job jasa membuat CV," jelas Maliqa apa adanya.
Maliqa termasuk siswi berprestasi, bahkan waktu SMP, dia juara satu berturut-turut selama tiga tahun.
"Benarkah?" Ayuni menatap kagum putrinya. "Pintar sekali kamu, Sayang. Bekerja tanpa keluar tenaga, hanya bermodalkan ponsel."
"Bukankah kamu tidak digaji selama hutang mu lunas? Lalu, darimana kamu mendapatkan uang lagi?" tanya Galih seraya menatap makanan yang dibeli putrinya.
"Jasa membuat CV, Yah, dan juga aku terkadang membantu temanku untuk live mempromosikan barang," jawab Maliqa, lalu kembali menikmati makanannya.
"Sudahlah, kamu jangan terlalu banyak bertanya. Masih baik Maliqa mau membantu kita," ujar Ayuni pada suaminya. Ia rasa, Galih terlalu banyak bertanya.
"Apa salahnya bertanya? Aku hanya ingin tau," balas Galih.
Maliqa menghela nafas kasar. "Cukup! Tolong jangan berdebat, Yah, Bu. Aku hanya ingin tenang," pintanya memelas.
Galih dan Ayuni seketika merasa bersalah. "Baiklah, maafkan Ayah."
Maliqa hanya mengangguk saja.
"Ayo, makan yang banyak, kamu pasti butuh tenaga yang banyak juga." Ayuni menggeser makanan yang ada di meja agar lebih dekat pada Maliqa.
Maliqa telah membantu untuk membuat restoran mereka normal kembali, itu sebabnya Ayuni memanjakan Maliqa, seolah Maliqa benar-benar berjasa untuknya.
Tak sia-sia dia mendidik putrinya selama ini. Lihatlah, di usia nya yang masih terbilang muda, Maliqa sudah bisa membanggakan kedua orang tuanya.
****
Skala terabaikan.
Sesuai dugaan pria itu, Aurora pasti akan sibuk dengan kakaknya. Lihatlah sekarang, gadis itu tengah tertawa bersama Charlie, mereka sedang main game di tablet milik Aurora.
Lantaran kesal diabaikan, Skala hanya diam melewati mereka berdua menuju dapur. Dia ingin membuat kopi pahit sekarang. Kedatangan Charlie benar-benar membuat rumah ini tidak sepi, karena Aurora terus tertawa bersama pria itu. Para pelayan tidak tau siapa Charlie karena memang Aurora dan Skala tidak mengatakan kebenarannya. Skala hanya bilang jika Charlie adalah keluarga jauh Aurora.
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" Seorang pelayan berdiri tak jauh dari Skala yang sedang merebus air.
"Tidak ada," jawab Skala acuh, bahkan dia tidak menoleh ke arah pelayan itu.
Melihat raut wajahnya sang tuan, si pelayan langsung diam dan hanya berdiri di sana, takut Skala membutuhkan sesuatu.
"Kamu sedang apa?"
Aurora menyembulkan kepalanya di pintu dapur. Keningnya mengerut saat melihat Skala baru saja mematikan kompor.
"Skala?" Ia berjalan mendekat.
"Hm?"
Aurora cemberut mendengar jawaban tak ikhlas itu.
"Kamu buat kopi? Tumben sekali." Aurora menggaruk pipinya, kebiasaan ketika dia sedang bingung.
"Istriku sedang sibuk, jadi aku membuatnya sendiri," ujar Skala sedikit menyindir Aurora.
"Umm? Bukannya ada pelayan?" balas Aurora dengan polosnya.
Skala melirik sinis istrinya lalu kembali fokus mengaduk kopi miliknya.
"Princess, aku ingin cari hiburan ke luar." Charlie tiba-tiba masuk ke dalam dapur. Matanya menatap punggung Skala yang sedang sibuk, sedangkan Aurora menatapnya dengan berbinar.
"Ikut!" seru gadis itu tanpa ragu. Tentu saja hal itu membuat Skala semakin kesal. Dengan sengaja dia melempar sendok yang ia pegang ke dalam wastafel. Setelahnya dia pergi dari sana.
"Skala?" panggil Aurora terdengar ragu-ragu. Tapi suaminya tidak menoleh sama sekali.
Charlie tertawa geli melihat adiknya yang kebingungan. "Dia cemburu, Baby. Kamu harus membujuknya. Mungkin kamu terlalu sering mengabaikan Skala. Sudahlah, bujuk suamimu itu, aku ingin ke luar sebentar." Ia menepuk-nepuk puncak kepala Aurora.
Mendengar kata 'cemburu' Aurora jadi paham sekarang. Jadilah dia membiarkan Charlie pergi sendirian. Semoga saja kakaknya tidak lupa jalan.
Baiklah, Aurora harus membujuk bayi besarnya sekarang.
bersambung...
lanjuuuut