The Orchid dipimpin oleh tiga pilar utama, salah satunya adalah Harryson. Laki-laki yang paling benci dengan suasana pernikahan. Ia dipertemukan dengan Liona, perempuan yang sedang bersembunyi dari kekejaman suaminya. Ikuti ceritanya....
Disclaimer Bacaan ini tidak cocok untuk usia 18 ke bawah, karena banyak kekerasan dan konten ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El_dira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 Ovt
Ada yang berbeda malam ini—dan Harry menyadarinya sejak mereka keluar dari restoran. Sesuatu telah berubah dalam sikap Liona. Ia yang biasanya ceria, kini membisu. Bahkan ketika turun dari SUV milik Harry, Liona tak mengatakan sepatah kata pun. Langkahnya cepat menuju pintu samping rumah, meninggalkan Harry berdiri di depan garasi yang sunyi.
Garasi itu kosong. Kedua saudaranya tampaknya sudah keluar karena mobil mereka tak terlihat.
Harry menyusul Liona dengan perasaan tak enak. Saat ia masuk, Liona baru saja melepas jaket miliknya dan menyerahkannya kembali dengan suara datar, tanpa ekspresi.
“Terima kasih. Malam ini… sangat menyenangkan,” ucapnya pelan.
Harry memandangi wajahnya. Nada itu terlalu basa-basi, terlalu asing dari Liona yang ia kenal. Ada kekosongan di matanya yang tak bisa ia abaikan. Tanpa pikir panjang, ia menghentikan langkah Liona dengan satu tangan di kusen pintu, menghalanginya untuk pergi lebih jauh.
“Apa yang salah?” tanyanya. “Katakan padaku.”
Liona terlihat terkejut, tubuhnya sedikit menegang. Harry menatapnya dengan sungguh-sungguh.
“Makanannya tidak enak? Atau kamu lebih suka tempat lain?”
Liona menggeleng pelan. “Bukan itu. Semuanya… indah.”
“Lalu kenapa?” desak Harry. “Kamu bahkan nyaris tidak menyentuh makananmu. Kamu nga nyaman? Sakit?”
Liona menarik napas gemetar. Dia tampak ragu-ragu. Harry berusaha melembutkan nada suaranya, mencoba mendekat dan menyentuh rambutnya dengan lembut.
“Kamu bisa jujur, Liona,” bisiknya.
Mata Liona menatapnya. Lembut, namun penuh luka yang disembunyikan. Bibirnya bergerak, mengatakan sesuatu yang terlalu pelan.
“Apa?” tanya Harry lagi, sedikit lebih lembut.
“Aku… nggak bermaksud mempermalukan kamu.”
Harry menegang. Kata-kata itu menghantamnya keras dan tak terduga.
Liona melanjutkan dengan suara rendah, nyaris seperti gumaman, “Aku tahu aku nggak... berukuran pas.”
Pernyataan itu menusuk dada Harry. Liona menunduk, dan ia melihat air mata yang mulai membasahi matanya. Seketika, Harry merasa bersalah—dan juga marah. Marah pada siapa pun yang pernah menanamkan rasa tidak berharga itu dalam diri Liona.
“Aku nggak tahu siapa yang pernah bilang itu ke kamu, tapi kamu cantik, Liona. Sangat cantik,” ujarnya pelan, dengan nada serius. “Kamu terlihat luar biasa dalam jaketku. Dan kamu berbau seperti aku. Itu… sangat seksi.”
Liona menatapnya, masih ragu. Masih sulit percaya.
“Kamu menarik perhatian banyak orang malam ini,” lanjut Harry. “Karena kamu luar biasa. Mereka lihat kamu, bukan karena aneh, tapi karena kamu istimewa.”
Ia menyentuh bibir bawah Liona dengan ibu jarinya. Gerakan lembut itu membuat napas Liona tertahan.
Liona akhirnya mengangguk perlahan. “Siapa pun yang bilang aku nggak cantik… bisa pergi ke neraka.”
Harry menghela napas lega. Sebuah senyum samar muncul di wajahnya.
Rasa ingin mendekapnya begitu kuat—ia ingin mencium Liona, membuktikan bahwa dia dicintai. Tapi sesuatu di dalam dirinya menahannya. Ini bukan tentang keinginan sesaat. Ini tentang penghormatan.
Perlahan, tangannya turun. Ia mundur selangkah, memberikan ruang.
“Selamat malam, Liona,” ucapnya lembut sebelum membalikkan badan.
Ia berjalan menuju garasi, meninggalkan Liona yang masih berdiri membisu. Saat pintu di belakangnya tertutup perlahan, Harry menunduk, menelan rasa pahit yang mengendap di tenggorokannya.
***
Malam itu, setelah beberapa sesi olahraga intens di gym pribadinya, Harry turun ke dapur untuk mencari makanan. Ia merasa sedikit lebih tenang setelah mengangkat beban, namun perutnya yang keroncongan membuatnya terus melangkah.
Ketika membuka lemari es, matanya langsung menangkap sesuatu yang membuatnya tersenyum kecil—sisa makan siang buatan Liona. Paha ayam dengan bumbu jeruk nipis dan ketumbar, yang ia simpan untuk dirinya sendiri. Liona memasaknya kemarin, saat ia pulang lebih awal. Rasa makanan itu masih membekas di lidahnya.
Harry memanaskan ayam itu dan menaruhnya di atas meja. Baru saja ia akan mengambil ponsel di gym untuk menelepon kasino, tapi saat kembali…
...piring itu kosong.
Harry terpaku. Seekor anjing kecil—Tuan Dog—duduk di atas kursi, menjilati moncongnya dengan puas. Di bawahnya, tulang ayam berserakan.
“APA INI?!” teriak Harry. “KENAPA KAMU MAKAN MAKANANKU?!”
Sang Anjing hanya menatapnya, lalu kembali menjilati sisa saus di lantai. Ekspresi tak bersalahnya justru semakin memancing amarah.
“Mikael!” teriak Harry. “Masuk ke sini sebelum aku lempar peliharaanmu ke luar jendela!”
Mikael muncul, rambut acak-acakan. “Apa lagi, Harry?”
“Lihat! Anjingmu memakan semua makananku! Itu dibuat Liona untukku!”
“Secara teknis, dia anjing istriku,” jawab Mikael datar. “Dia titip sementara.”
“Dan Istrimu di Bandung!” Harry menunjuk Fluffy. “Kenapa dia nggak bawa binatang ini sekalian?!”
Miakel mengangkat bahu. “Kau bahkan nggak pernah bantu merawatnya.”
Harry menghela napas, mencoba menahan diri agar tidak meledak. “Aku nggak akan berbagi makanan Liona. Bahkan dengan hewan peliharaan!”
Tanpa berkata lagi, Mikael meninggalkan dapur. Harry berdiri di sana, menatap tumpukan tulang ayam dengan rasa kesal yang sulit dijelaskan.
Pertama, ALukas mencoba membuat Liona membikinkan kue mangkuk. Lalu Anjing itu mencuri perhatian dan makanan. Sekarang… sisa terakhir ayam favoritnya raib.
Harry mengepalkan tangan.
Mikael, Lukas dan Anjing ini—mereka harus tahu satu hal.
Liona miliknya.
Dan hanya miliknya.