Di balik gaun pengantin dan senyuman formal, tersembunyi dua jiwa yang sejak lama kehilangan arti cinta.
Andre Suthajningrat—anak dari istri kedua seorang bangsawan modern, selalu dipinggirkan, dibentuk oleh hinaan dan pembuktian yang sunyi. Di balik kesuksesannya sebagai pengusaha real estate, tersimpan luka dalam yang tak pernah sembuh.
Lily Halimansyah—cucu mantan presiden diktator yang namanya masih membayangi sejarah negeri. Dingin, cerdas, dan terlalu terbiasa hidup tanpa kasih sayang. Ia adalah perempuan yang terus dijadikan alat politik, bahkan oleh ayahnya sendiri.
Saat adik tiri Andre menolak perjodohan, Lily dijatuhkan ke pelukan Andre—pernikahan tanpa cinta, tanpa pilihan.
Namun di balik kehampaan itu, keduanya menemukan cermin dari luka masing-masing. Intrik keluarga, kehancuran bisnis, dan bayang-bayang masa lalu menjerat mereka dari segala sisi. Tapi cinta… tumbuh di ruang-ruang yang retak.
Bisakah dua orang yang tak pernah dicintai, akhirnya belajar mencintai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Hari-hari setelah pertengkaran besar itu berubah menjadi dingin, seperti ruangan tanpa jendela yang kehabisan udara. Andre tetap tinggal di rumah mereka, namun keberadaannya tak lebih dari suara pintu yang terbuka pagi-pagi buta dan derit anak tangga di tengah malam.
Lily tak pernah tahu ke mana Andre pergi. Ia tak bertanya. Dan Andre tak merasa perlu menjelaskan. Mereka hidup dalam rumah yang sama, namun seperti dua siluet di balik kaca—terlihat, tapi tak tersentuh.
Di lantai bawah, Lily sibuk mengurus ulang restorannya yang nyaris terbakar habis. Tapi upayanya untuk bangkit seakan diludahi oleh nasib. Sebuah surat resmi dari Badan Pertanahan Nasional datang ke email kantornya—lahan tempat restorannya berdiri ternyata milik negara yang belum dibebaskan.
Tangannya gemetar saat membaca surat itu. Dunia di sekelilingnya mendadak hening.
Namun yang lebih buruk, informasi itu bocor. Dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam, sebuah akun anonim di X mengunggah thread panjang berjudul “Cucu Diktator Menjajah Tanah Negara Untuk Cuan?”
Komentar-komentar menyakitkan mengalir deras:
“Ini kenapa kita gak boleh lupa sejarah.”
“Masih aja percaya sama orang yang hidup dari warisan darah.”
“Tinggal nunggu suaminya ikut diseret.”
Thread itu viral.
Dan seperti luka yang terus digosok, muncul thread baru menyasar Andre. Sebuah video rapat internal yang entah dari mana bocor, memperlihatkan Andre sedang dimarahi seorang investor. Judul thread-nya lebih menyakitkan:
“Anak gundik gagal mengelola perusahaan, karena nikah sama cucu mantan penguasa?”
Komentar-komentar bernada sarkas pun menghujani nama mereka.
Hari-hari Lily dipenuhi tekanan. Telepon berdering tanpa henti. Jurnalis menghubungi staf. Tiga kerja sama bisnis dibatalkan. Dan di antara semua itu, Andre tidak berkata sepatah pun.
Ia tahu. Lily tahu Andre tahu. Tapi tak ada satu pun yang dibicarakan.
Mereka makan dalam diam. Bertemu di lorong hanya dengan anggukan kecil atau bahkan tanpa pandang. Bahkan ketika berita-berita itu sampai ke televisi nasional, Andre tetap seperti patung batu—berdiri, tapi tak pernah benar-benar hadir.
Seminggu berlalu dalam keheningan yang menggigit.
Sampai malam itu datang.
Ruang kerja Lily, di lantai dua, diterangi lampu meja berwarna putih kekuningan. Cahayanya menyapu sebagian wajah Lily yang tertunduk di atas meja, dan sisanya tertelan bayang-bayang. Dinding-dinding dipenuhi rak buku dan beberapa frame desain interior yang sempat ia gambar sendiri. Udara dalam ruangan lembap dan pengap, seolah tak ada yang membuka jendela sejak pagi.
Laptop terbuka lebar, kipasnya berdengung pelan. Di layar tampak belasan tab: Desain restoran yang penuh coretan merah dan revisi. Laporan keuangan yang ia edit sendiri karena stafnya satu per satu mundur. Screenshot berita dan thread di X dengan wajahnya diburamkan dan tulisan “cucu diktator rakus tanah”. Bahkan ada Google Maps yang menandai area tanah bermasalah itu.
Lily tertidur di meja, dengan tangan kanannya masih menggenggam mouse. Wajahnya lelah, matanya sembab. Rambutnya berantakan, sebagian menjuntai menutupi pipi. Napasnya pendek dan tidak teratur, seperti orang yang tertidur dengan dada penuh beban.
Andre yang baru pulang sekitar pukul sebelas malam, melewati ruangan itu dan mendapati celah pintu terbuka.
Ia mendorongnya pelan.
Langkah kakinya terhenti begitu melihat Lily tertidur di kursi kerjanya, dengan ekspresi yang tak biasa. Wajah perempuan itu pucat, dengan garis lelah di bawah matanya. Ruangan dipenuhi aroma stres: kopi basi, debu kertas, dan parfum lembut Lily yang mulai bercampur dengan keringat dingin.
Andre melangkah pelan, mendekat. Matanya menyapu layar laptop yang masih menyala. Jari-jarinya mengepal saat membaca headline yang menyebut namanya dan Lily secara bersamaan.
“Pasangan Penguasa Baru? Atau Warisan Toxic dari Dua Dinasti?”
Ia menghela napas panjang. Perlahan, ia mengulurkan tangan untuk memindahkan mouse, tapi sebelum sempat disentuh, kepala Lily bergerak.
Kepalanya mendongak dan tanpa sengaja, keningnya membentur telapak tangan Andre.
Lily langsung terjaga. Matanya mengerjap pelan, kesulitan mengenali siapa di depannya.
“Andre?” gumamnya serak.
Andre reflek mundur dua langkah. “Maaf. Aku… cuma mau matiin laptopnya.”
Wajah Andre datar, tapi matanya menyimpan kebingungan. Ia menunduk, tak berani menatap lama. Di balik ketenangannya, ada kekacauan yang tertahan.
Lily mengangkat tangan dan menyentuh dahinya yang sempat bersentuhan dengan tangan Andre. Bukan karena sakit, tapi karena kejut dan kehilangan. Wajahnya penuh tanda tanya. Bibirnya hendak mengatakan sesuatu, namun tak sempat.
Andre langsung membuka pintu dan melangkah keluar. Pintu tertutup perlahan, menimbulkan bunyi klik yang terasa seperti garis pemisah di antara mereka.
Lily masih duduk di sana.
Tangannya tetap menyentuh wajahnya, pelan, seolah ingin mengulang kembali detik singkat tadi. Detik di mana ia berharap Andre akan menggenggam tangannya. Atau duduk di sampingnya. Atau hanya bertanya, “Kamu baik-baik saja?”
Tapi tidak.
Yang ia dapat hanya diam.
Dan jarak yang semakin terasa menyakitkan.