Shanaira Monard tumbuh dalam keluarga kaya raya, namun cintanya tak pernah benar-benar tumbuh di sana. Dicintai oleh neneknya, tapi dibenci oleh ayah kandungnya, ia menjalani hidup dalam sepi dan tekanan. Ditengah itu ada Ethan, kekasih masa kecil yang menjadi penyemangatnya yang membuatnya tetap tersenyum. Saat calon suaminya, Ethan Renault malah menikahi adik tirinya di hari pernikahan mereka, dunia Shanaira runtuh. Lebih menyakitkan lagi, ia harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya tengah mengandung anak dari malam satu-satunya yang tidak pernah ia rencanakan, bersama pria asing yang bahkan ia tak tahu siapa.
Pernikahannya dengan Ethan batal. Namanya tercoreng. Keluarganya murka. Tapi ketika Karenin, pria malam itu muncul dan menunjukkan tanggung jawab, Shanaira diberi pilihan untuk memulai kembali hidupnya. Bukan sebagai gadis yang dikasihani, tapi sebagai istri dari pria asing yang justru memberinya rasa aman.
Yuk ikuti kisah Shanaira memulai hidup baru ditengah luka lama!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Volis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12. Pindah
Taksi melaju pelan melewati jalanan kota. Di dalamnya, sunyi menyelimuti Shanaira dan Karenin setelah proses pernikahan mereka selesai. Cincin itu melingkari jari manisnya dengan sempurna, seolah jadi pengingat nyata bahwa semua ini bukan sekadar mimpi.
Karenin memalingkan wajah, menatap istrinya yang kini duduk termenung di sampingnya.
"Aku tahu ini mendadak," ucapnya perlahan, "Tapi kita sudah jadi suami istri, Shanaira. Aku hanya ingin tahu... apakah kau ingin tetap tinggal di rumahmu, atau... ikut denganku ke apartemenku?"
Shanaira menoleh perlahan. Mata mereka bertemu, dan Karenin bisa melihat kilau luka dan keteguhan dalam tatapan itu.
"Aku tidak mau tinggal di rumah itu lagi," jawab Shanaira lirih namun pasti. Inilah yang selama ini dia inginkan, menikah dan tinggal bersama suaminya. Meski pernikahan ini bukan yang diimpikannya dan pria itu bukan pria yang dicintainya.
"Setiap sudutnya membuatku muak. Aku ingin memulai hidup baru... bersamamu." Tapi, dia tidak akan mundur.
Karenin mengangguk pelan, tak menyembunyikan senyumnya. "Kalau begitu, mari kita ambil barang-barangmu dulu."
Begitu mereka tiba di rumah keluarga Monard, Shanaira disambut dengan senyum hangat dari oma Aini yang berdiri di depan pintu. Meski usia membuat tubuhnya melemah, sinar di matanya masih sama kuatnya saat menatap cucunya.
Oma Aini menggenggam tangan Shanaira dan menciumnya penuh kasih. "Selamat, cucuku sayang. Oma tahu ini bukan jalan yang mudah, tapi semoga ini jadi awal yang lebih baik."
Lalu, matanya beralih pada Karenin.
"Jagalah cucuku. Dia sudah terlalu banyak terluka. Jangan kau biarkan dia menangis lagi."
Karenin menunduk penuh hormat. "Saya akan berusaha sebaik mungkin, Oma."
Shanaira memeluk omanya, air mata hangat jatuh di bahunya. "Terima kasih sudah selalu menyayangiku Oma."
Namun momen haru itu segera dipecahkan oleh suara dingin dari dalam rumah.
"Ah, jadi sekarang kalian sudah menikah ya," sindir Refina dengan suara yang cukup keras untuk terdengar. Dia berdiri bersandar di kusen pintu dengan ekspresi mencibir. "Menikah dengan pemilik restoran kecil. Luar biasa."
Shanaira menatap ibu tirinya dengan wajah datar, lalu kembali memeluk Oma Aini. Dia tidak ingin merusak kebahagiaan kecilnya hanya karena komentar yang sudah tak lagi berarti.
"Oma... aku akan segera berkemas. Aku akan tinggal bersama suamiku," ucapnya lembut.
"Aku bantu kemas barang-barangmu," sahut Karenin cepat, menatap Refina dengan tegas namun sopan.
"Baguslah kalau kamu sadar," imbuh Refina.
Saat mereka berdua masuk ke kamar untuk mengambil barang Shanaira, oma Aini memandangi punggung cucunya dengan haru. Dalam hati, ia berdoa agar kebahagiaan yang terlambat itu bisa benar-benar menetap di hati gadis itu.
Dan di luar, Refina hanya mendengus sekali lagi sebelum membalikkan tubuh, tak mampu lagi menahan rasa tidak sukanya.
*****
Langkah Shanaira menuntun Karenin melewati lorong rumah yang terasa begitu asing bagi pria itu. Udara dingin di dalam rumah Monard tak hanya datang dari suhu, tetapi juga dari suasana. Tidak ada kehangatan keluarga yang menyambut, selain dari Oma Aini yang tadi penuh cinta.
Begitu mereka sampai di depan sebuah pintu putih di ujung lorong, Shanaira membukanya perlahan.
“Inilah kamarku,” ucapnya singkat, lalu melangkah masuk lebih dulu.
Karenin mengikuti dari belakang, namun langkahnya terhenti sejenak di ambang pintu. Matanya menyapu seluruh ruangan.
Kamar itu tidak besar, tapi begitu rapi dan bersih. Di dinding, tergantung berbagai piagam dan sertifikat penghargaan—kompetisi sains, lomba karya tulis, bahkan beberapa penghargaan seni. Di sisi lain, lemari kaca memajang piala-piala dengan nama "Shanaira Monard" terukir rapi di dasarnya. Semua tertata apik, mencerminkan kedisiplinan dan dedikasi.
“Ini... semua milikmu?” tanya Karenin dengan nada takjub.
Shanaira mengangguk. “Ya. Sejak kecil, aku belajar untuk terus berprestasi. Mungkin... itu satu-satunya cara agar ayah melihatku.”
Karenin berjalan pelan ke arah lemari, jari-jarinya menyentuh permukaan kaca yang membingkai piala-piala itu. “Kamu luar biasa, Shanaira. Aku tidak menyangka… semua ini tersembunyi di balik ekspresi sedihmu.”
Shanaira mengangkat bahu, mencoba tersenyum. “Semua itu tidak banyak berarti di rumah ini. Bagiku... hanya Oma yang benar-benar bangga.”
Karenin menatapnya lama, lalu mendekat dan menggenggam tangannya. “Kamu tahu, aku merasa beruntung bisa menjadi suamimu. Bukan karena prestasi ini, tapi karena kamu tetap berdiri meski dunia seperti menjatuhkanmu dari semua arah.”
Shanaira menunduk sebentar, wajahnya memerah. Tapi senyum kecil pertama muncul di bibirnya. “Terima kasih, Karenin.”
Ia lalu menunjuk ke koper dan beberapa tas besar di dekat lemari.
“Aku sudah bereskan semua semalam. Kita bisa langsung membawanya.”
Karenin mengangguk. “Baik, mari kita bawa. Dan setelah itu... kita mulai hidup kita, ya?”
Shanaira menatapnya, kali ini dengan tatapan yang lebih ringan. “Ya. Hidup yang baru.”
Dua koper besar dan satu tas jinjing menjadi saksi kepergian Shanaira dari rumah yang selama ini hanya memberinya luka. Karenin membawakan dua koper, sementara Shanaira menggenggam tas berisi barang-barang pribadinya—buku harian, album foto kecil, dan sebuah bingkai foto usang bersama mendiang ibunya.
Oma Aini berdiri di ambang pintu rumah, senyumnya masih hangat, meski matanya berkaca-kaca.
"Jaga cucuku baik-baik, Nak Karenin," ucapnya sambil menepuk bahu pria itu. "Dia sudah terlalu lama memendam segalanya sendirian."
Karenin mengangguk penuh hormat. "Saya janji, Oma. Saya akan berusaha jadi rumah yang layak untuknya."
Shanaira memeluk Oma Aini erat, mencium pipinya. “Aku akan sering menelepon, Oma. Dan... kalau aku sudah punya tempat yang layak, aku ingin Oma tinggal bersamaku.”
Oma tersenyum, menepuk pipi Shanaira dengan lembut. “Kamu adalah kekuatan itu sendiri, Shana. Jangan lupa siapa dirimu.”
Di balik pilar, Refina berdiri sambil menyilangkan tangan di depan dada, pandangannya dingin dan tak peduli.
“Jangan bawa nama keluarga Monard dalam hidup barumu,” ucapnya sinis. “Kamu sudah cukup memalukan.”
Shanaira hanya tersenyum tipis, lalu menatap Refina dengan mata jernih. “Tenang saja, aku tidak akan pernah mengaitkan diriku dengan nama ini lagi.”
Tanpa menunggu reaksi lebih jauh, Shanaira melangkah keluar bersama Karenin. Matahari sore menyambut mereka saat pintu pagar perlahan tertutup di belakang punggung mereka—menandai akhir dari satu bab dalam hidup Shanaira.
Taksi melaju di jalanan kota. Karenin memutar kepalanya ke arah Shanaira yang diam menatap ke luar jendela.
“Aku sudah bereskan kamar di apartemenku. Tidak besar, tapi cukup nyaman. Dan dekat dari restoranku.”
Shanaira menoleh, matanya sedikit berkaca-kaca tapi kali ini bukan karena sedih, melainkan lega. “Terima kasih... karena menepati kata-katamu dan tidak membuatku merasa sendirian.”
Karenin tersenyum, mengulurkan tangannya. Shanaira menyambutnya tanpa ragu.
“Mari kita mulai dari awal,” bisik Karenin.
Shanaira menatapnya. “Dari awal.” Dia tidak tahu apakah awal mereka akan menjadi awal yang baik. Semoga saja ini awal yang baik. Awal dia memulai hidup baru melupakan masa lalu yang menyakitkan. Melupakan cinta yang tidak akan pernah menjadi miliknya dan menantikan apakah cinta baru akan bersemi.
shanaria biar ketemu bapak dari adek bayi yang ada diperutnya 😌
baca pelan2 ya sambil rebahan 🤭
salam kenal dari 'aku akan mencintaimu suamiku,' jangan lupa mampir 🤗
jangan lupa mampir jg di Menaklukan hati mertua mksh