NovelToon NovelToon
Cinta Pertama Sang Mafia Iblis

Cinta Pertama Sang Mafia Iblis

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia
Popularitas:4.2k
Nilai: 5
Nama Author: Violetta Queenzya

kisah seorang gadis desa yang dicintai sang mafia iblis..

berawal dari menolong seorang pria yang terluka parah.

hmm penasarankan kisahnya..ikutin terus ceritanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta Queenzya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Buah Hati Dan Badai Di Butik

    "Setelah merasa tubuhnya lebih nyaman, Rara membiarkan dirinya jatuh ke sofa empuk di sudut kamar.

    Sementara itu, Axel bangkit, pamit untuk mandi. Kesegaran air tampaknya sudah memanggilnya.

   Rara, dengan senyum tipis di bibirnya, melangkahkan kaki menuju walking closet. Tangannya bergerak lincah memilihkan kemeja linen berwarna biru muda kesukaan Axel, dan celana bahan yang serasi.

   Ia menatanya rapi di atas ranjang, Aroma sabun mandi yang samar-samar mulai tercium dari kamar mandi, menandakan Axel takkan lama lagi.

    Tak lama kemudian, terdengar suara 'cek_lek_' dari pintu kamar mandi yang terbuka. Axel muncul dengan rambut yang masih basah dan handuk melilit pinggangnya, memancarkan aura maskulin yang hangat.

   Tatapan matanya langsung tertuju pada Rara yang sedang menatapnya. Perlahan, ia mendekati Rara, langkahnya tenang namun penuh tujuan.

   Rara menyambut kedatangan Axel dengan senyuman jahil. Jemarinya yang ramping bergerak naik, menyusuri bidang dada Axel yang kokoh, merasakan kehangatan kulitnya.

''Sayang, kau membangunkan 'junior',' bisik Axel dengan nada geli, menahan tawa saat merasakan sentuhan Rara yang menggoda.

    Rara terkikik, pura-pura ingin melesat masuk ke kamar mandi, mungkin ingin ikut menyegarkan diri.

    Namun, pergelangan tangannya sigap ditahan oleh Axel. Pria itu menariknya mendekat, tatapan matanya kini serius namun penuh gairah.

   Bibir Axel mendarat lembut di bibir Rara, ciuman yang awalnya pelan itu perlahan berubah menjadi lebih dalam, penuh cinta dan hasrat yang tak tertahankan.

   Tangan Axel tak tinggal diam, dengan perlahan namun pasti, ia memainkan lekuk tubuh istrinya. Desahan lembut namun sarat makna, 'mmmhhh,' lolos begitu saja dari bibir Rara, menggema samar di antara napas mereka.

    Axel menatap Rara, kedua matanya memancarkan permohonan yang mendalam, penuh harap. Ia tidak perlu mengatakan apapun, karena Rara sudah memahami bahasa tubuh dan tatapan matanya.

    Perlahan, dengan pipi yang merona tipis, Rara mengangguk, isyarat persetujuan yang cukup. Dan pagi itu, kehangatan dan keintiman memeluk mereka, merajut ikatan yang lebih dalam di antara keduanya."

     "Di kamar sebelah, yang didominasi warna-warna cerah dan dekorasi khas anak remaja, Maya baru saja terjaga dari tidurnya.

   Sinar matahari pagi yang menembus celah gorden membuat kelopak matanya sedikit berkedip.

    Ia merenggangkan seluruh ototnya, menggeliat malas di atas ranjang, berusaha mengusir sisa-sisa kantuk yang masih menempel.

    Hal pertama yang ia cari begitu kesadarannya pulih adalah ponselnya, yang tergeletak di nakas samping tempat tidur. Jemarinya lincah meraih benda pipih itu, membuka kunci layar, dan langsung masuk ke aplikasi pesan.

    Jantungnya berdebar, sedikit tidak sabar, sedikit juga cemas. Setiap pagi, ritualnya sama: berharap ada satu pesan, satu sapaan, dari 'dia',sosok yang belakangan ini mengisi sebagian besar relung hatinya.

     Entah bagaimana, alam semesta sepertinya berpihak padanya pagi ini. Sebuah notifikasi kecil muncul di layar, mengukir senyum lebar di bibir Maya.

   Sebuah pesan masuk. Isinya memang pendek, hanya beberapa kata, tapi itu lebih dari cukup. Pesan itu berhasil membuat hari Maya terasa lebih cerah, seolah seluruh dunia ikut tersenyum bersamanya."

    "Pesan singkat itu, entah bagaimana, berhasil membuat pipi Maya bersemu merah.

   Bukan sekadar 'salting', melainkan sebuah gejolak manis yang menyebar dari dadanya hingga ke ujung jemari.

   ''Morning my love,'' demikian isi pesan dari layar ponselnya. Senyumnya kian merekah.

   Dengan cepat, jemarinya membalas, ''Morning to my heart.'' Hanya itu, tetapi rasanya cukup untuk mengisi harinya dengan kebahagiaan.

    Setelah meletakkan ponselnya dengan hati-hati di nakas, seolah benda itu adalah peninggalan paling berharga, Maya melangkah ringan menuju kamar mandi.

    Sebuah pagi yang baru, dan perasaan hatinya yang berbunga-bunga, terasa begitu selaras.

    Sementara itu, di ranjang sebelahnya, Vanya mulai menggeliat, tubuhnya bergerak malas di antara selimut.

    Cahaya matahari yang masuk dari jendela mulai mengusik tidurnya.

''Dek, bangun yuk! Sudah pagi,'' suara Vanya.

'Hoaammmm... iya, Kak,' gumam Vany dengan suara serak, masih setengah sadar.

    Tak lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka dengan suara 'cek_lek_' yang pelan.

   Maya keluar dengan rambut yang sudah tersisir rapi dan wajah yang tampak begitu segar, memancarkan aura positif.

   Ia menatap ke arah Vanya yang masih bergulir di ranjang.

''Kalian sudah bangun?'' tanya Maya, senyumnya masih belum luntur.

''Pagi, Kak May!'' suara kembar Vanya dan adiknya terdengar kompak, sedikit serak khas bangun tidur.

''Pagi juga. Buruan mandi, nanti keburu Tuan turun,'' perintah Maya dengan nada yang tak terbantahkan namun penuh perhatian.

    ''Baik, Kak,'' sahut Vanya, kali ini dengan sedikit desakan untuk segera bangkit.

    Di kamar sebelah, para cowok yang sepertinya sudah jauh lebih dulu bangun,sudah terlihat segar bugar, seolah begadang hingga larut malam itu tidak berarti apa-apa.

    Rico, yang biasanya paling bersemangat, menyambar ponsel di atas meja kecil.

     ''Yuk, keluar,'' ajak Rico, suaranya penuh energi.

Mereka pun beranjak keluar, berjalan santai menuju ruang tamu.

   Suara obrolan dan tawa kecil mulai mengisi ruangan. Mark, yang baru saja mendudukkan dirinya di sofa empuk, melirik ke arah pintu kamar si kembar yang masih tertutup.

''Tumben Vanya-ku belum keluar?' celetuk Mark dengan nada yang sedikit genit dan kepercayaan diri yang berlebihan.

   Bara, yang duduk di seberangnya, langsung menyahut dengan nada mengejek yang khas.

    ''Is, is, is... Pede sekali kau, Mark!'

Mark hanya memutar bola matanya, ekspresi 'terserah-apa-katamu' terpampang jelas di wajahnya, namun sudut bibirnya tak bisa menyembunyikan senyum tipis.

   Rasanya, ia menikmati juga godaan dari Bara itu."

    "Seolah mendengar panggilan gaib dari Mark, tak lama kemudian, sosok yang baru saja mereka bicarakan itu muncul.

    Langkah Vanya terdengar santai dari arah lorong kamar, sebelum akhirnya ia muncul di ambang pintu ruang tamu.

    Gadis itu sudah terlihat segar, rambutnya yang panjang terurai rapi, dan aroma sabun mandi yang samar tercium dari tubuhnya.

   Vanya tersenyum tipis, matanya melirik sekilas ke arah Mark yang langsung membalasnya dengan senyum lebar yang sedikit genit. Sebelum Vanya sempat memilih tempat duduk, Bara dengan sigap menepuk-nepuk sofa di sebelahnya, menyisakan ruang kosong yang cukup untuk Vanya.

   ''Duduk sini, Vanya,'' ucap Bara, suaranya terdengar ramah dan mengundang, seolah sudah menjadi kebiasaan mereka untuk berkumpul bersama di pagi hari seperti ini."

     "Vanya melangkah santai menuju sofa kosong di samping Mark, namun tatapannya masih sempat menangkap ulah Mark yang menjulurkan lidah ke arah Bara, seolah puas dengan reaksi Bara sebelumnya.

    Sebuah gelengan kepala geli tak sengaja lolos dari Vanya.

    Tak lama setelah Vanya duduk, Maya yang sudah siap dengan perannya sebagai tuan rumah yang baik, bertanya dengan ramah, ''Kalian mau kopi atau susu?''

    Serempak, tanpa perlu berdiskusi, semua yang ada di ruang tamu menjawab, 'Susu!' Sebuah jawaban yang sudah menjadi kebiasaan mereka setiap pagi.

    Maya mengangguk paham, kemudian beranjak menuju dapur. ''Pagi, Bi Inah!'' sapanya ceria kepada wanita paruh baya yang sibuk berkutat dengan peralatan masaknya.

   Bi Inah menoleh, senyum ramah terukir di wajahnya. '"Pagi, Nak Maya. Ada yang bisa Bibi bantu?'' tawarnya.

    ''Tidak ada, Bi. Biar saya sendiri yang bikin,. Cuma minuman saja,' jawab Maya sopan, mulai mengambil beberapa gelas dan kotak susu dari lemari es.

   Bi Inah kembali tersenyum, melanjutkan aktivitas memasaknya, terbiasa dengan kemandirian Maya.

    Sementara itu, di kamar utama, Axel dan Rara baru saja menyelesaikan momen intim mereka. Hawa kehangatan dan kebahagiaan masih menyelimuti ruangan.

    Axel tersenyum, menatap Rara dengan tatapan penuh sayang.''Semakin pintar kamu, Sayang,'' goda Axel, suaranya sedikit serak dan penuh kekaguman.

    Pipi Rara bersemu merah, ia memukul pelan bahu Axel."Apaan sih, Mas ini!'' sahut Rara malu-malu, namun senyumnya tak bisa ia sembunyikan.

    Mereka berdua kemudian bangkit, membersihkan diri di kamar mandi, menghilangkan jejak-jejak gairah yang tersisa.

     "Setelah membersihkan diri, Axel dan Rara keluar dari kamar, menuruni anak tangga dengan langkah beriringan.

    Aroma wangi sarapan yang menggoda, perpaduan roti panggang, telur, dan sedikit aroma kopi, sudah memenuhi seluruh ruang bawah.

    Mata mereka langsung tertuju pada meja makan yang sudah didominasi oleh kehadiran Maya, Vanya, vany,Rico, Bara, dan Mark.

    Begitu melihat Axel dan Rara tiba, seolah ada isyarat tak terlihat, semua yang duduk di ruang tamu serentak bangkit dan bergeser menuju meja makan.

    Suasana pagi yang hangat dan akrab langsung tercipta, diiringi obrolan ringan yang sesekali diselingi tawa.

   Axel duduk di kepala meja, pandangannya menyapu sekeliling. Ia menatap Rico. ''Rico, kamu ikut denganku ke Rumah Sakit,'' perintah Axel dengan nada tegas namun tenang, menunjukkan otoritasnya.

    Kemudian, Axel mengalihkan pandangannya ke arah Maya, Vanya, Bara, dan Mark. ''Kalian mau di mansion saja, atau ada rencana untuk jalan-jalan keluar?'' tanyanya, memberikan pilihan.

   Mark, dengan cepat dan antusias, mengajukan usul. ''Gimana kalau kita jalan-jalan bareng saja? Ikut kalian ke Rumah Sakit dulu, setelah itu baru kita jalan-jalan'' Ada semangat petualangan di matanya.

  Axel berpikir sejenak, kemudian tersenyum. '''Boleh juga,' ucapnya setuju. Ide itu tampaknya menarik."

   Sementara itu, di sampingnya, Axel menoleh ke arah Rara, tatapannya melembut. ''Sayang, mau makan apa? Biar Mas ambilin.''

   Rara tersenyum manis, ''Sandwich saja, Mas,'' ucapnya lembut, menunjukkan preferensi sarapannya.

    mata Rara berbinar menatap Vanya. ''Kak Vanya, terima kasih banyak ya semalam. Rujaknya enak banget, dan nggak terlalu pedas juga, pas rasanya,'' ucap Rara tulus, mengingat kenikmatan rujak buatan Vanya.

   Vanya tersenyum senang mendengar pujian itu. ''Sama-sama, Rara,'' balasnya ramah.

   Mereka semua larut dalam sarapan pagi itu, menikmati setiap suapan sambil terus bercengkrama. Piring demi piring tandas, menandakan betapa nikmatnya hidangan pagi itu.

     Setelah selesai makan, mereka beranjak dari meja, berpindah ke ruang tamu. Mereka duduk bersantai sejenak, mengobrol, dan menikmati kebersamaan sembari menunggu waktu menunjukkan pukul delapan."

    "Tepat pukul delapan pagi, seperti yang sudah disepakati, rombongan dari mansion bergerak menuju Rumah Sakit.

   Jarak yang memang tidak seberapa jauh membuat perjalanan terasa singkat, hanya sekitar sepuluh menit.

      Axel berjalan paling depan, jari-jemarinya bertaut erat dengan jemari Rara, seolah tak ingin melepaskan.

    Di belakang mereka, Rico setia mengikuti, sementara Mark, Bara, Maya, dan Vanya,vany steven memilih menunggu di dalam mobil, memberikan privasi bagi Axel dan Rara.

     Ketiganya berhenti di depan sebuah ruangan dengan plakat bertuliskan 'Dr. Silvi Anggraeni, Sp.OG'.

    Rico mengetuk pintu dengan sopan, dan setelah mendapat izin, ia masuk terlebih dahulu.

'Maaf, Sus. Dokter Silvi-nya ke mana, ya?' tanya Rico kepada seorang suster yang sedang sibuk di meja depan.

    Suster itu mendongak, matanya sempat terhenti pada sosok Axel yang berdiri di ambang pintu. 'Apakah ini Tuan Axel?' tanyanya, memastikan.

    ''Betul. Saya asistennya. Dan itu Tuan Axel,' jawab Rico, sedikit menggeser tubuhnya agar Axel lebih terlihat.

    ''Ah, Dokter Silvi sedang ke toilet sebentar. Beliau berpesan agar ditunggu, tidak akan lama,' jelas Suster itu dengan ramah.

     Mereka pun menunggu. Beberapa menit kemudian, terdengar suara 'cek_lek_' dari pintu kamar mandi di dalam ruangan, dan Dokter Silvi Anggraeni, seorang wanita anggun dengan senyum hangat, memasuki ruangan.

    ''Pagi, Xel! Wah, apa kabar? Sudah lama tidak ketemu, sekali ketemu sudah bawa gandengan saja''sapa Dokter Silvi ramah, matanya beralih dari Axel ke Rara dengan tatapan penuh selidik namun bersahabat.

    Axel terkekeh. ''Ya, seperti yang kamu lihat, Vi, aku cukup sehat. Oh ya, kenalkan, ini istriku, Rara.''

    Dokter Silvi mengulurkan tangannya. ''Silvi,''ucapnya.

    Rara menyambut uluran tangan itu dengan senyum tulus. ''Aurora,'' jawabnya.

    Setelah perkenalan singkat yang hangat, Dokter Silvi mempersilakan mereka duduk dan segera memulai pemeriksaan USG. Layar monitor dinyalakan. Dengan keahliannya, Dokter Silvi mengarahkan alat USG ke perut Rara.

    ''Lihat ini,' kata Dokter Silvi pelan, menunjuk sebuah titik kecil di layar. ''Kantong janinnya sudah terlihat jelas. Masih sebutir kacang, tapi sudah ada di sana.''

    Axel terpaku. Matanya tak lepas dari layar, tak bisa berkata-kata melihat bukti nyata keberadaan buah hati mereka.

    Sebuah haru melanda dadanya. Ia mencondongkan tubuh, menciumi kening Rara dengan begitu lembut dan penuh kasih sayang, sebuah janji tanpa kata.

     ''Diperkirakan, usia kandungannya sekitar tiga minggu,' tambah Dokter Silvi, memberikan informasi lebih lanjut.

    Axel menarik napas dalam, pertanyaan yang sejak tadi mengusik benaknya akhirnya terlontar.

     ''Vi, kalau dalam keadaan hamil muda seperti ini, berhubungan intim itu membahayakan tidak?''

    Rara melotot, pipinya langsung bersemu merah. Ia mencubit pinggang Axel dengan keras namun pelan. ''Mas...!'' desis Rara, suaranya tercekat karena malu.

   Dokter Silvi tersenyum maklum. ''Itu pertanyaan yang wajar, kok, Ra. Untuk sementara, lebih baik dihindari dulu, sampai usia kandungannya menginjak tiga bulan. Demi keamanan janin,' jelasnya.

    Setelah dirasa tidak ada lagi pertanyaan, dan Dokter Silvi telah memberikan semua penjelasan yang diperlukan, ia menuliskan beberapa resep: obat penguat kandungan dan vitamin esensial. Sebuah babak baru telah dimulai bagi Axel dan Rara."

    "Setelah pemeriksaan yang mengharukan di rumah sakit, Axel, Rara, dan rombongan berencana untuk sedikit bersantai.

   Tujuan mereka selanjutnya adalah Canberra Center, pusat perbelanjaan terbesar di kota itu.

    Mereka berkeliling sebentar, menikmati suasana ramai dan hiruk pikuk.

    Di tengah keramaian, Axel pamit sebentar untuk ke toilet. Sementara itu, Rara bersama Maya dan Vanya tertarik pada sebuah butik pakaian.

    "'Ra, lihat deh! Dress ini bagus banget buat nanti, kalau perut kamu sudah mulai kelihatan,' tunjuk Maya antusias pada sebuah dress longgar berwarna pastel yang dipajang di manekin.

    Bentuknya yang stylish namun nyaman pasti akan cocok untuk ibu hamil."

    "Maya segera menggandeng lengan Rara, menariknya masuk lebih dalam ke dalam toko, diikuti oleh Vanya di belakang mereka.

   Para cowok,Mark, Bara, Rico dan steven memilih menunggu di depan butik, sambil asyik dengan ponsel masing-masing.

   "Namun, di tengah proses itu, tiba-tiba seorang gadis lain, yang tampak sebaya dengan Maya, muncul dari arah belakang.

   Mata gadis itu langsung tertuju pada dress yang sedang dipegang oleh pelayan.

    ''Bungkus itu buat saya!' perintah gadis itu, suaranya sedikit meninggi dan penuh otoritas. Ia adalah Elara, dengan tatapan mata yang tajam dan sorot angkuh."

    "'Eh, Mbak! Maaf, tapi kami duluan yang memilih, ya. Jangan asal rebut begitu saja,'' protes Vany, tak terima dengan sikap Elara yang seenaknya.

    Elara hanya mendengus sombong. ''Terserah gue, dong! Siapa cepat dia dapat,'' jawabnya angkuh, menyilangkan tangan di dada.

   Vanya sudah merasakan gelombang emosi membuncah di dadanya, namun tangannya segera ditahan oleh Maya."

   "'Mbak, tolong bungkus yang ini untuk kami,' Maya berkata tenang, tapi sorot matanya tajam. Ia mengambil kartu black card dari dompetnya dan menyerahkannya kepada pelayan toko.

    Namun, seorang pelayan toko lain, yang tampaknya lebih senior dan mengenal Elara, tiba-tiba datang dan membela Elara.

     ''Berikan pada Nona Elara. Dia tamu VIP kami,' ucapnya dengan nada merendahkan.

    ''Tapi, Kak, Nona ini duluan yang memilih,'' sela pelayan toko yang masih magang, mencoba membela Rara dan Maya.

   Pelayan senior itu mendelik. ''Diam kamu, anak magang! Jangan sok tahu!' bentaknya, kemudian dengan kasar merebut dress dari tangan pelayan magang itu.

    ''Mari, Nona Elara,' katanya dengan nada menjilat."

   Elara tersenyum puas, mengambil dress itu, dan berjalan menuju kasir.

   Namun, saat melewati Rara, ia sengaja menyenggol bahu Rara dengan keras. Untungnya, Vanya yang sigap segera menahan Rara agar tidak terjatuh.

    Melihat adiknya nyaris celaka dan perlakuan kasar itu, kesabaran Maya pun habis.

   Dengan mata memerah karena marah, ia menarik rambut Elara."Dasar cewek sombong, sok cantik!' ucap Maya penuh emosi, giginya bergemeletuk.

   "'Aakkhh! Sakit! Lepasin!' Ellara memberontak, mencoba melepaskan cengkeraman tangan Maya dari rambutnya."

1
partini
Axel harus dengan perhitungan yg matang ingat bini lagi bunting salah langka behhhh amburadul
Jumaedi Jaim
lama up nya
partini
hadehhh Rara ini gimana sih,, suka ga gitu jg kalee terlalu over mah 🤦🤦🤦 noh singa 🦁 mau ngamuk cemburu
partini
benar benar ular 🐍 tuh cewek,,siapai aja algojo algojo manic sek Tomy biar mereka yg eksekusi kamu tinggal menonton dan merekam nya saja
LISA
Ssipp banget Tomy udh tau kelicikannya Letta..
LISA
Kabar yg menggembirakan nih..sehat selalu y buat Rara & babynya
partini
happy kalau hamil,tapi kawatir karena ada uler yg siap mematuk benar benar bangke si letta
semua anak buah good Banggt menurut ku kaya di film badabest Banggt 👍
lanjut Thor
LISA
Ya bener Kak..Letta ini sepertinya udh terlatih..penasaran nih siapa y yg ada di belakang misinya ini.
partini
wah ni letta bukan sembarang orang ,dia sangat pintar plz kalau kalian kecolongan semua bwehhh ga lucu deh
partini
lanjut penasaran apa yg akan mereka lakukan selanjutnya setelah tau rencana. busuk leta
Weh Weh obat perangsang dah ga laku lah let lagu lama itu
LISA
Moga liburan ini menyenangkan utk Rara & Axel tanpa gangguan..
partini
👍👍👍👍 dah laa baca cerita mafia ini beda sedia payung sebelum hujan biasanya basah dulu baru cari payung keren 👍
mampir say~ AGREEMENT: hallo kak, boleh mampir bentar enggak ke karya aku yang judulnya AGREEMENT, tolong bantu dukung yahh, aku Author yg baru balik setelah Hiatus agak lama, entah ceritaku style kakak atau bukan, sku akan sangat berterimakasih jika kakak ingin mampir dan meninggalkan jejak, terimakasih!!!
total 1 replies
LISA
Untung aj 2 pengawal dan Maya mempunyai insting yg tajam..
partini
aihhh kenapa peran wanita semua bego yah gampang di tipu,, pelihara ular berbisa tapi ga tau 🤦🤦🤦 untung yg lain smart coba kalau stupid semua
LISA
Ceritanya bagus & menarik
LISA
Ya moga aj Axel bisa memahami kondisinya Letta dan mengijinkan tinggal di mansionnya.
Zainuri Zaira
aneh sikit ceritX emng orng ngk ad jantung bisa hidup kh😄😁
LISA
Wah ke 3 sahabat Axel akhirnya bertemu dgn jodohnya nih 😊 sehat terus y buat Rara..bahagia selalu bersama Axel.
LISA
Puji Tuhan..Rara udh sadar dari komanya..pulihkan keadaan Rara ya Tuhan..
LISA
Sedih sekali baca cerita ini..pengorbanan Rara utk Axel..ya Tuhan berikan donor juga utk Rara agar mereka dpt hidup bahagia
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!