Nael, seorang notaris kondang, tenggelam dalam kesedihan mendalam setelah kepergian istrinya, Felicia. Bermodalkan pesan terakhir yang berisi harapan Felicia untuknya, Nael berusaha bangkit dan menjadi pribadi yang lebih baik. Meski kehidupannya terasa berat, ia tidak pernah menyerah untuk membenahi diri seperti yang diinginkan oleh mendiang istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 22: Arga Mulya
Pada sabtu pagi yang cerah, di luar dugaan, ternyata ketiga anak magangku berminat untuk melakukan kunjungan ke tempat bisnis milik Daniel dan juga Martin. Setelah ditanya alasannya, ternyata mereka cuma ingin liburan untuk melepas penat setelah sekian minggu melaksanakan program magang di kantorku. Yah, itu sebuah alasan yang manusiawi, sih.
Lokasi yang sedang kami tuju sekarang adalah Desa Arga Mulya. Desa ini terletak di Lembah Kencana yang merupakan salah satu lembah yang ada di jantung Pulau Andawana. Selama 41 tahun menjalani kehidupan ini, aku baru mengunjungi lembah tersebut sebanyak dua kali saja. Namun, keindahan alamnya yang benar-benar megah masih teringat jelas di pikiranku. Di masa tua nanti, kayaknya aku bakal bikin rumah sederhana untuk ditinggali di sana.
Selama perjalanan, ketiga anak magang ini benar-benar dibuat kagum oleh pemandangan alam yang indah. Mulai dari pepohonan yang dihiasi cahaya mentari pagi, terasering sawah yang ramai dengan aktivitas para petani, hingga padang rumput yang menjadi tempat makan para kuda liar. Seperti anak muda pada umumnya, kamera handphone mereka tiada hentinya menangkap panorama alam melalui kaca jendela mobil.
Setelah satu setengah jam perjalanan, kami memutuskan untuk istirahat sejenak di sebuah rest area pinggir jalan. Di sana, aku mentraktir Michelle, Tahsya, dan juga Meilani dengan makanan atau minuman apapun yang mereka mau. Ini karena perjalanan masih tersisa sekitar satu jam lebih, sehingga ada baiknya jika kita mengisi perut terlebih dahulu.
“Wah… Ini pertama kalinya aku ngeliat Meilani senyum-senyum kayak gini! Pasti kau suka banget diajak jalan-jalan gini, ya?” Ucap Tahsya dengan nada yang menggoda Meilani.
“Pastinya, dong. Meilani, kan, emang suka kalau diajak wisata alam kayak gini.” Imbuh Michelle, sambil mencolek-colek pipi rekannya itu.
“I-Iya, nih. Aku memang suka kalau diajak jalan-jalan ke alam gini.” Balas Meilani dengan nada yang lebih hidup dari sebelumnya, namun masih saja sedikit tersendat. Matanya kemudian melirik ke arahku yang sedang makan roti coklat dalam diam. “Ini semua berkat Pak Nael yang ngajak kita jalan-jalan ke sini. M-Makasih banyak, ya, Pak Nael!” Ucapnya sambil sedikit menundukkan kepala.
“Benar, makasih banyak, Pak Nael!”
“Makasih banyak, Pak Nael!”
Michelle dan Tahsya pun ikut berterima kasih kepadaku, sambil menunjukkan senyuman riang secara bersamaan.
“Yah, aku harap kalian bisa mendapatkan suatu hal yang lebih dari sekedar pemandangan alam saja.” Ujarku sambil menyantap gigitan terakhir dari roti coklat ini. Aku kemudian bangun dari tempat dudukku, lalu beranjak menuju parkiran mobil. “Aku mau merokok sebentar di parkiran. Kalian bertiga susul lah aku kalau udah selesai makan, ya.” Ucapku sambil berjalan meninggalkan mereka.
“Baiklah, Pak Nael!”
...***...
Setelah melanjutkan perjalanan sekitar satu jam lebih, kami akhirnya tiba di Desa Arga Mulya. Aku rasa, satu-satunya hal yang bisa mendeskripsikan desa ini dengan baik adalah Negara Swiss. Soalnya, suasana di Arga Mulya benar-benar mirip dengan pedesaan yang ada di Swiss, namun dilengkapi dengan balutan arsitektur khas nusantara.
Setelah menyusuri jalanan aspal desa yang masih sangat terawat, kami akhirnya tiba di tempat bisnis milik Daniel Cahyadi dan juga Martin Setiadi. Bangunan mereka tampak begitu megah dengan atap yang sedikit terangkat untuk memberikan sirkulasi udara yang masif. Gedung ini lebih terlihat seperti sebuah gelanggang olahraga, daripada sebuah tempat bisnis. Namun, aku tahu persis bisnis apa yang sedang dijalankan oleh mereka berdua di balik tembok bangunan ini.
Ketiga anak magangku terlihat sedang memandangi bangunan kolosal itu melalui jendela mobil. Aku bahkan bisa merasakan kekaguman yang terpancar dengan jelas melalui gestur tubuh mereka.
“Gila, bangunannya gede banget!” Ujar Tahsya dengan nada yang penuh keheranan.
“Bangunan apa ini? Apakah ini adalah pabrik milik mereka berdua?” Tambah Michelle dengan suara yang juga keheranan. Tapi, bangunan ini jelas bukanlah sebuah pabrik, karena tidak ada turbin dan tempat pengolahan limbah di sekitarnya.
“Ini adalah arena sabung ayam.” Sontak, mereka bertiga langsung menoleh dengan mata yang membelalak begitu mendengar jawabanku itu.
“A-Arena sabung ayam?” Tanya Meilani dengan suara gugup yang penuh ketidakpercayaan.
“Iya. Arena sabung ayam.” Aku mengkonfirmasi pertanyaan Meilani, sambil memeriksa barang-barang yang ada di tas selempangku. Setelah semuanya selesai, aku kemudian menoleh ke arah Michelle untuk menanyakan sesuatu kepadanya.
“Michelle, kau bisa bawa mobil, kan?” Tanyaku sambil menatap Michelle yang duduk di bangku belakang.
“Bisa, Pak Nael. Kenapa memangnya?” Balas Michelle dengan mengajukan pertanyaan balik kepadaku.
“Kalau gitu, bawa teman-temanmu pergi ke tempat yang agak jauh dari sini. Aku akan masuk ke dalam untuk bertemu dengan Daniel dan juga Martin.” Pintaku pada Michelle, sambil beranjak keluar dari mobil.
...***...
Setelah melewati area parkiran yang penuh dengan sepeda motor, aku langsung masuk melalui pintu utama gedung dan disambut oleh arena sabung ayam yang begitu luas. Situasi di dalam begitu ramai dengan orang-orang yang saling berteriak, seolah sedang menyemangati ayam jagoan mereka.
Jika dilihat-lihat lagi, bagian dalam gedung ini juga sangat mirip dengan gelanggang olahraga. Area tanah luas berbentuk oval di depanku ini adalah tempat dimana orang-orang saling mengadu ayam mereka. Di sisi lain, tribun yang mengelilinginya itu adalah tempat untuk menonton pertandingannya.
Aku kemudian naik ke tribun sebelah kiri melalui tangga yang ada di sampingku. Saat berjalan naik, mataku terus mengobservasi lingkungan sekitar untuk menemukan keberadaan Daniel ataupun Martin.
“Yo, Pak Nael!” Tiba-tiba, sebuah suara berat yang menggelegar di tengah keramaian terdengar memanggilku dari arah kanan. Aku pun langsung menoleh dengan cepat, lalu melihat Martin yang sedang duduk diantara para penonton.
“Kemarilah, duduk di sebelahku!” Pintanya dengan berteriak, sambil memberikan ruang untuk duduk di sampingnya.
Karena malas teriak-teriak di tengah situasi yang ribut ini, aku cuma membalasnya dengan sebuah anggukan sambil berjalan perlahan ke arahnya. Begitu sampai, aku langsung duduk di tempat yang telah disiapkan oleh Martin, lalu menjabat tangannya dengan erat.
“Saya nggak nyangka kalau anda beneran datang ke sini, Pak Nael. Saya kira anda itu orang yang super sibuk, sampai nggak punya waktu buat berkunjung ke pedesaan seperti ini.” Ucapnya dengan suara yang sedikit terpendam oleh keramaian.
“Nggak juga, Pak Martin. Saya itu orang yang biasa-biasa aja, kok.” Ucapku merendah, sambil menyulut sebatang rokok. “Saya juga nggak nyangka kalau bisnis anda itu ternyata adalah sebuah tempat sabung ayam.” Tambahku sambil menghembuskan asap rokok ke udara.
“Hahahaha, begitu ya.” Balasnya singkat, sambil ikut menyulut sebatang rokok. “Tapi, tempat ini nggak seburuk yang anda kira, kok, Pak Nael. Berkat adanya arena sabung ayam ini, saya dan Daniel bisa membantu pembangunan desa yang sempat mangkrak karena nggak dilanjutin oleh pemerintah. Selain itu, warga desa juga bisa berdagang di lahan kosong yang ada di sebelah timur gedung ini.” Jelasnya kepadaku.
“Wah, bagus dong kalau gitu.” Balasku singkat.
“Jelas bagus, dong. Kalau anda mau, saya bisa traktir anda setelah pertandingan yang satu ini selesai.”
...***...
Setelah selesai melakukan kunjungan singkat, aku mengajak Michelle, Tahsya dan juga Meilani untuk makan siang di sebuah warung yang berada di pinggir sungai. Suasana udaranya begitu sejuk, dilengkapi dengan gemericik air yang menambah suasana asri pedesaan.
“Lalu bagaimana, Pak Nael?” Tanya Michelle tiba-tiba, di saat kami sedang menunggu pesanan datang.
“Apanya yang bagaimana?” Tanyaku balik, karena tidak mengerti dengan pertanyaan Michelle.
“Ya, nasib kita, dong, Pak Nael. Kita kan udah ngelayanin bandar judi sabung ayam beberapa hari yang lalu.” Jawab Michelle dengan nada yang terdengar agak risau. Wajar lah, ya, namanya juga anak magang.
“Oalah, kalau masalah itu, sih, kalian nggak usah khawatir. Soalnya, kita kan nggak tahu kalau Daniel dan Martin itu adalah bandar judi sabung ayam.” Balasku dengan enteng.
“T-Tapi, kalau kita ikut kena seret ke pengadilan g-gimana, dong, Pak Nael?” Tanya Meilani dengan nada yang terdengar lebih gugup dari biasanya.
Aku pun sampai dibuat menghela napas karena ketiga anak magangku kelihatannya mengalami serangan panik mendadak. Well, nggak tiga-tiganya juga, sih. Si Tahsya dari tadi adem ayem aja, tuh, foto-foto di pinggir sungai.
“Kalian tenang aja. Satu-satunya orang yang bakal kena seret ke pengadilan cuma aku sendiri, kok. Soalnya, di perjanjian itu kan cuma namaku doang yang tertulis.” Aku mencoba menjelaskan dengan nada yang santai agar mereka bisa kembali tenang.
“Begitu, ya…”
“B-Begitu kah…”
Jawab Michelle dan Meilani lirih, diiringi dengan hembusan napas yang penuh kelegaan. Tak lama setelahnya, pemilik warung pun datang dengan membawakan makanan yang telah kami pesan tadi.
“Nah, sekarang, hilangkan dulu kepanikan kalian karena kita harus menikmati makanan dengan view pedesaan ini!”