Tamparan, pukulan, serta hinaan sudah seperti makanan sehari-hari untuk Anita, namun tak sedikitpun ia mengeluh atas perlakuan sang suami.
Dituduh menggugurkan anak sendiri, membuat Arsenio gelap mata terhadap istrinya. Perlahan dia berubah sikap, siksaan demi siksaan Arsen lakukan demi membalas rasa sakit di hatinya.
Anita menerima dengan lapang dada, menganggap penyiksaan itu adalah sebuah bentuk cinta sang suami kepadanya.
Hingga akhirnya Anita mengetahui pengkhianatan Arsenio yang membuatnya memilih diam dan tak lagi mempedulikan sang suami.
Follow Instragramm : @iraurah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sesuai Janji
Pukul dua siang, matahari mulai bergeser ke arah barat, memancarkan cahaya hangat yang menelusup masuk melalui sela-sela tirai jendela lantai dua ruko Anive Skincare. Suasana di dalam ruang kerja Anita masih tenang, walau aktivitas di lantai bawah mulai mereda karena sebagian pelanggan telah meninggalkan tempat. Anita menatap layar laptopnya satu kali lagi, memastikan semua laporan keuangan telah ia simpan dan backup ke penyimpanan awan. Sesekali, tangannya bergerak memijat tengkuk, berusaha meredakan pegal akibat duduk terlalu lama sejak pagi.
Baru saja ia hendak menutup laptop, suara notifikasi dari interkom kembali berbunyi.
“Permisi, Bu Anita. Tadi ada seorang pria datang, mengaku asisten Pak Arsen. Namanya Fauzan. Katanya ditugaskan untuk menjemput Ibu.”
Anita tersenyum kecil. Ia segera mengingat percakapan semalam dengan suaminya, Arsen, yang dengan nada penuh perhatian menyatakan bahwa ia akan mengutus asistennya untuk menjemput Anita sepulang kerja. Waktu itu, Anita sempat mengira itu hanya basa-basi seorang suami yang merasa bersalah karena terlalu sibuk dan tidak bisa mendampingi istrinya menjalani hari-hari awal kehamilan. Namun kini, ia sadar bahwa suaminya benar-benar serius.
“Ya, silakan suruh naik ke atas,” jawab Anita melalui interkom, lalu segera bersiap membereskan barang-barangnya.
Tak lama kemudian, pintu ruang kerjanya diketuk perlahan.
“Masuk,” ucapnya.
Seorang pria muda berpakaian rapi, mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam, masuk dengan sikap sopan. Di tangannya tergenggam sebuah ponsel dan map kecil.
“Selamat siang, Bu Anita. Saya Fauzan, asisten pribadi Pak Arsen. Beliau meminta saya menjemput Ibu dan mengantar pulang,” ucapnya sambil sedikit menunduk.
Anita mengangguk ramah. “Terima kasih sudah datang, Fauzan. Sebentar saja, saya ambil tas terlebih dahulu.”
Setelah mengambil tas tangan dan mematikan laptopnya, Anita mengenakan cardigan tipis berwarna krem, lalu berjalan menghampiri pintu. Ia memberi instruksi singkat kepada staf yang berjaga agar operasional tetap berjalan hingga sore, serta mengingatkan agar tidak lupa mengecek kembali stok barang yang baru masuk siang tadi.
Dengan langkah pelan dan hati-hati, ia mengikuti Fauzan menuruni tangga. Sesampainya di lantai bawah, beberapa staf mengucapkan salam perpisahan sambil melambaikan tangan. Anita membalas sapaan mereka dengan senyum hangat.
Mobil yang menunggu di luar adalah SUV hitam keluaran terbaru, dengan kaca yang cukup gelap untuk menjaga privasi. Fauzan membukakan pintu belakang untuk Anita dengan sopan, lalu masuk ke kursi pengemudi setelah memastikan pintu tertutup dengan baik.
Baru beberapa menit mobil melaju meninggalkan kawasan ruko, ponsel Anita bergetar di dalam tasnya. Ia merogoh perlahan dan melihat nama “Arsen” tertera di layar.
Ia segera mengangkatnya.
“Halo, pih?” sapanya lembut.
“Anita, Fauzan sudah sampai? Dia menjemputmu tepat waktu, kan?” suara Arsen terdengar jelas dan sedikit cemas dari seberang sana.
“Sudah. Dia datang tepat waktu, seperti yang papih janjikan. Kami baru saja jalan,” jawab Anita tenang.
“Bagus,” ujar Arsen, suaranya kini terdengar sedikit lega. “Aku sebenarnya agak khawatir. Hari ini aku tidak bisa keluar dari ruang rapat sejak pagi, tapi aku ingin memastikan kau tidak kelelahan lagi seperti kemarin.”
Anita tersenyum. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi mobil, membiarkan punggungnya yang sedikit pegal bersandar pada sandaran empuk.
“Aku baik-baik saja. Jangan khawatir terlalu banyak. Lagipula, hari ini aku tidak terlalu padat.”
“Hm… baiklah. Semoga dia tidak membuatmu kelelahan,” komentar Arsen ringan, namun ada nada protektif di sana.
“Tidak, pih. Aku juga sudah memberikan sebagian tugas pada bawahanku, mereka juga sering mengingatkanku dan menawarkan bantuan” ucap Anita.
Arsen terdiam beberapa detik sebelum berkata, “Aku senang mereka memperhatikan itu. Tapi ingat, prioritas utamamu sekarang adalah dirimu dan bayi kita. Kalau kau merasa tidak enak badan, sekecil apapun, segera beri tahu aku.”
“Iya, aku janji,” jawab Anita pelan.
Setelah beberapa obrolan ringan, percakapan mereka pun berakhir. Anita kembali menyimpan ponselnya ke dalam tas, lalu memandang keluar jendela. Jalanan kota yang semula cukup padat mulai sedikit lengang karena jam istirahat siang hampir berakhir. Pepohonan di tepi jalan bergoyang perlahan ditiup angin sore, memberi suasana menenangkan yang jarang ia rasakan di tengah kesibukan.
Di tengah keheningan itu, Fauzan melirik melalui kaca spion dan berkata dengan nada hormat, “Pak Arsen tadi juga menyampaikan, jika Ibu ingin mampir membeli sesuatu atau merasa ingin makan sesuatu, jangan ragu memberi tahu saya.”
Anita tersenyum mendengar itu. “Terima kasih, Fauzan. Tapi sepertinya aku hanya ingin pulang dan beristirahat.”
“Baik, Bu.”
Setelah sekitar dua puluh lima menit perjalanan, mobil akhirnya memasuki kompleks perumahan elit tempat kediaman mereka berada. Gerbang utama terbuka otomatis, dan Fauzan dengan lancar mengarahkan mobil menuju garasi. Begitu kendaraan berhenti, ia segera turun dan membukakan pintu untuk Anita.
“Silakan, Bu.”
Anita turun dengan hati-hati. Ia menarik napas dalam-dalam, menikmati udara yang terasa lebih segar dari pusat kota. Rumah besar berarsitektur minimalis-modern itu tampak tenang dari luar. Beberapa tanaman hias di pekarangan depan tampak rapi dan terawat, dikelilingi bebatuan putih kecil yang bersih.
Ketika ia melangkah masuk ke dalam rumah, aroma lembut lavender dari diffuser otomatis menyambutnya. Rumah itu sunyi, namun terasa nyaman.
Ia berjalan perlahan menuju kamarnya di lantai atas, melewati ruang keluarga yang tertata rapi dengan sofa abu-abu dan rak buku di sisi tembok. Di dalam kamar, Anita segera melepas cardigan-nya dan meletakkan tas di sofa kecil dekat meja rias. Ia mengganti pakaian dengan daster longgar, lalu duduk di tepi ranjang. Tiba-tiba, rasa lelah yang sejak tadi ia tahan mulai menyeruak perlahan.
Tangannya secara refleks menyentuh perutnya yang masih datar. Senyum kecil terbit di wajahnya, mengiringi bisikan lirih, “Tumbuhlah dengan kuat di dalam sana…”
Anita pun berbaring, membiarkan matanya terpejam perlahan. Hari yang cukup panjang akhirnya membawanya pada jeda yang ia butuhkan.
Di lantai bawah, Fauzan mengirim pesan kepada Arsen untuk memberi kabar bahwa Anita telah tiba dengan selamat.
Sementara itu, di ruang rapat sebuah gedung tinggi di pusat kota, Arsen yang baru saja menerima pesan itu tersenyum kecil. Di tengah tekanan pekerjaan dan jadwal yang padat, kabar bahwa istrinya aman di rumah membawa kelegaan tersendiri baginya. Ia lalu menunduk sejenak, mengetik balasan cepat:
"Syukurlah, sekarang aku bisa bekerja dengan tenang. Kau boleh kembali ke kantor"
Dan di kamar yang hening, Anita akhirnya tertidur lelap, ditemani cahaya matahari yang menembus tirai tipis, membentuk siluet lembut di dinding kamar. Bayi dalam kandungannya mungkin belum bisa mendengar, tapi cinta dari orang-orang di sekitarnya telah lebih dulu menyelimuti kehadirannya.
tinggal Takdir yg menentukan..
dan bagaimana respon dr yg menjalani setiap takdir nya tsb 👍
jagain dari jauh, doain yang terbaik buat Anita...