NovelToon NovelToon
Menikah Tanpa Rasa, Jatuh Cinta Tanpa Sengaja

Menikah Tanpa Rasa, Jatuh Cinta Tanpa Sengaja

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Amelia greyson

Aku adalah seorang gadis desa yang dijodohkan oleh orang tuaku dengan seorang duda dari sebuah kota. dia mempunyai seorang anak perempuan yang memasuki usia 5 tahun. dia seorang laki-laki yang bahkan aku tidak tahu apa isi di hatinya. aku tidak mencintainya dia pun begitu. awal menikah rumah tangga kami sangat dingin, kami tinggal satu atap tapi hidup seperti orang asing dia yang hanya sibuk dengan pekerjaannya dan aku sibuk dengan berusaha untuk menjadi istri dan ibu yang baik untuk anak perempuannya. akan tetapi semua itu perlahan berubah ketika aku mulai mencintainya, namun pertanyaannya apakah dia juga mencintaiku. atau aku hanya jatuh cinta sendirian, ketika sahabat masa lalu suamiku hadir dengan alasan ingin bertemu anak sambungku, ternyata itu hanya alasan saja untuk mendekati suamiku.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia greyson, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

33

Sementara dikantor Arif siang ini, Suara ketukan keyboard dan dering telepon bersahut-sahutan di ruangan kerja Arif. Tapi di antara semua itu, pikirannya tak berada di sana. Ia duduk di balik meja, menatap layar laptop yang kosong tanpa benar-benar melihat. Laporan-laporan menumpuk di mejanya, namun tak satu pun tersentuh dengan serius.

Sudah setengah jam Arif hanya memutar pulpen di tangannya. Pandangannya kosong, pikirannya jauh… tertinggal di rumah.

Ia teringat pagi tadi, saat hendak berangkat kerja. Amira membukakan pintu, menyodorkan bekal makan siang yang ia siapkan sendiri.

“Jalan pelan-pelan ya, Mas. Bawa bekalnya… ini saya masak sendiri.”

Itu bukan pertama kalinya Amira memberinya bekal, tapi entah kenapa… hari ini terasa berbeda. Ada kehangatan di wajah istrinya yang membuat Arif sulit melupakannya. Dan di rumah—ada kedua orang tuanya. Sosok yang selama ini selalu ia hormati dan jaga pandangannya.

Ia khawatir. Khawatir jika Ibu dan Ayah menilai Amira dari kacamata yang salah. Khawatir jika suasana canggung membungkus rumah saat ia tak ada. Dan yang paling mengganggunya… ia khawatir Amira merasa sendirian.

Arif bersandar di kursi, mengusap wajahnya kasar.

“Kenapa aku malah begini…” gumamnya.

Ia mencoba membuka email, mencoba fokus. Tapi kemudian bayangan Maira tertawa bersama Amira muncul di benaknya. Lalu bayangan Ibu yang mengamati dari kejauhan. Lalu Livia, dengan kata-katanya yang tajam, menyulut kekhawatiran dalam hati Arif.

Arif menutup laptopnya. Ia bangkit dari kursi, melirik jam di dinding.

Masih terlalu siang untuk pulang… tapi hatinya sudah lebih dulu sampai di rumah.

Arif berdiri di depan jendela ruang kerjanya, menatap keluar tanpa benar-benar melihat apa pun. Jemarinya akhirnya tak tahan—mengambil ponsel, membuka kontak, dan menekan nama yang selama ini mulai memenuhi pikirannya: Amira.

Tuut...

Tuut...

Tak diangkat.

Ia mengernyit. Biasanya Amira cepat menjawab, atau paling tidak mengirim pesan singkat. Mungkin sedang sibuk di dapur, pikirnya. Tapi tetap saja, hatinya tak tenang.

Ia coba menelepon sekali lagi.

Tuut...

Masih tidak dijawab.

Akhirnya, ia mengirim pesan.

“Mira, kamu lagi sibuk ya? Gimana di rumah? Ayah Ibu baik-baik aja, kan?”

Beberapa menit berlalu. Pesan tak kunjung dibalas. Arif mengetuk-ngetuk meja dengan gelisah, pikirannya mulai mengembara. Berbagai kemungkinan bermunculan di benaknya—apakah Amira tidak nyaman? Apakah terjadi sesuatu dengan orang tuanya? Atau… apakah kata-kata Livia benar?

Arif menggeleng cepat, menepis pikiran buruk itu. Tidak. Ia melihat sendiri bagaimana Amira memperlakukan Maira. Ia tahu betapa tulusnya perempuan itu.

Tapi tetap saja, diam Amira membuat dadanya sesak.

Ia menatap layar ponselnya yang masih sepi, dan perlahan-lahan, ia duduk kembali di kursinya, menunduk. Rasa khawatir menyelinap pelan, memeluk pikirannya yang sudah letih. Sore itu, ia merasa seperti orang asing di tengah keramaian kantor—karena hatinya tertinggal di rumah, menanti kabar yang tak kunjung datang.

******************************************

Dua jam berlalu begitu cepat bagi Amira. Sejak makan siang selesai, ia tenggelam dalam obrolan dengan Ibu Arif, lalu menemani Maira yang sempat terbangun dan mengajak bermain boneka. Suasana rumah begitu hangat… hingga ia benar-benar lupa pada satu hal: ponselnya.

Ponsel itu tertinggal di atas meja dapur, dalam mode senyap.

Baru saat Maira tertidur lagi di sore hari, Amira berjalan ke dapur untuk minum dan melihat layar ponselnya menyala berkali-kali. Ia meraih ponsel itu buru-buru.

Dua belas panggilan tak terjawab. Satu pesan dari Arif.

Amira menatap layar, napasnya tertahan.

“Mira, kamu lagi sibuk ya? Gimana di rumah? Ayah Ibu baik-baik aja, kan?”

Jam pesan itu terkirim: dua jam lalu.

Amira langsung merasa bersalah. Ia membaca ulang pesan itu dan bisa membayangkan bagaimana gelisahnya Arif saat menulisnya. Tanpa pikir panjang, ia langsung mengetik balasan:

“Mas, maaf banget… Aku baru lihat hp. Aku tadi ngobrol sama Ibu dan main sama Maira. Semuanya baik-baik aja. Ibu dan Ayah Mas… mereka sangat baik ke aku. Terima kasih ya, Mas…”

Belum sampai satu menit, ponselnya bergetar.

Arif:

“Syukurlah… aku sempat khawatir. Kupikir kamu nggak nyaman atau ada apa-apa. Tapi baca pesanmu barusan, aku tenang.”

Amira tersenyum kecil. Ada hangat yang merayap di dada. Lalu ia mengetik pelan:

“Maaf sudah buat Mas khawatir. Aku nggak nyangka bisa senyaman ini di rumah ini.”

Beberapa detik kemudian balasan masuk:

“Aku juga nggak nyangka… kamu bisa sedekat itu dengan mereka . Tapi aku bersyukur, Mira. Terima kasih sudah bertahan.”

Amira menggenggam ponselnya erat. Di luar, langit mulai berubah jingga. Di dalam hatinya, senyap yang tadi sempat hadir kini berganti dengan debar lembut yang belum ia pahami sepenuhnya—tapi terasa… nyata.

Malam mulai larut saat Arif akhirnya pulang setelah seharian penuh dengan tugas kantor yang tak kunjung usai. Begitu melangkah masuk ke rumah, ia merasakan suasana yang berbeda. Suara lembut tawa Maira yang kembali terdengar dari ruang tamu, dan ketenangan yang mengalir dari dalam, memberi Arif rasa nyaman yang sudah lama ia rindukan.

Amira sedang duduk di dekat Maira yang sudah tidur dengan pulas di sofa. Ia melirik Arif yang baru saja masuk, senyum kecil terukir di wajahnya, namun ada sedikit kecanggungan di antara mereka setelah pesan-pesan tadi.

“Mas, sudah pulang,” kata Amira dengan lembut, matanya sedikit menunduk, seolah khawatir Arif merasa kecewa karena keterlambatannya membalas pesan.

Arif melepaskan jasnya dan meletakkannya di kursi. Ia berjalan mendekat, matanya menatap Amira dengan lembut.

“Aku nggak marah kok, Mira. Aku cuma… khawatir saja. Biasanya kamu cepat bales pesan.” Arif duduk di sebelah Amira, mencoba menenangkan dirinya sendiri. “Tapi kalau kamu merasa nyaman, itu lebih penting buat aku.”

Amira menatapnya dengan penuh rasa bersalah, tetapi ia tahu ia tak bisa terus-terusan merasa cemas. Ia tersenyum dan berkata pelan,

“Maaf, Mas. Aku nggak bermaksud membuatmu khawatir. Aku benar-benar terlibat dalam percakapan dengan Ibu, dan tiba-tiba waktu berjalan begitu cepat.”

Arif mengangguk pelan, lalu meraih tangan Amira dengan lembut.

“Nggak apa-apa, Mira. Aku juga cuma pengen tahu kamu baik-baik saja.”

Amira menatap Arif dengan lebih dalam. Ada ketulusan yang ia rasakan di dalam hati, dan ia tak bisa menahan keinginannya untuk lebih terbuka.

“Aku… aku senang di sini, Mas. Di rumah ini. Ibu dan Ayah kamu… mereka baik sekali padaku. Aku merasa diterima.”

Arif tersenyum, mengusap rambut Amira dengan lembut.

“Kamu tahu, Mira, aku sangat senang mendengarnya. Aku nggak pernah yakin sebelumnya tentang pernikahan kita, tapi sekarang… aku merasa lebih tenang. Aku ingin kamu merasa nyaman di rumah ini, di kehidupan ini, bersama kami.”

Amira menatap Arif, hatinya penuh dengan perasaan hangat yang mulai tumbuh. Ia tak pernah membayangkan pernikahan ini akan membawa mereka sejauh ini—dari yang semula terasa canggung dan penuh ketakutan, kini mulai terasa seperti rumah yang sebenarnya. Ia merasakan keinginan untuk memberi lebih, tidak hanya untuk Arif, tapi juga untuk Maira, dan untuk semua yang ada di rumah ini.

1
kalea rizuky
dr marah baik marah lagi baik. lagi mau nya apa ortu arif nee
kalea rizuky
kok aneh dr marah2 langsung cpet luluh
kalea rizuky
lu aja yg tolol Rif ngapain ngasih celah ke perempuan lain meski sahabat bodoj
leahlaurance
wow....so sweet,thor lebih diperhati ya banyak typo nya.
Hyyyyy Gurliiii🪲: Terimaksih banyak kak,
total 1 replies
leahlaurance
kaya dikit semacam ,satu imam dua makmum😅
Hyyyyy Gurliiii🪲: Haiiii kakak kak, maaaf yaaa sblum nya
Saya gak tau cerita ituuu 🤣
total 1 replies
leahlaurance
cerita ini kaya,curhat seoramg isteri.ayu usaha terus embak.
leahlaurance
mampir ,dan di bab ini sepertinya biasa juga.
leahlaurance
luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!