Kita Berbeda

Sejak saat itu Wulan dan Kristian tidak lagi, saling berkomunikasi ke duanya larut dalam kesibukan dan dunia Masing-masing , seolah tak ada lagi ruang satu sama lain.

Hari-hari berlalu tanpa kabar . Wulan kembali sibuk dengan ujian sekolah, dan tugas-tugas nya yang menumpuk sesekali ia melihat layar ponsel berharap ada pesan masuk dari Kristian , tetapi tidak pernah ada ia pun tak lagi mecoba menghubungi.

Sementara itu Kristian menghabiskan waktunya di markas dan mempersiapkan diri sebentar lagi hari ujian akhir telah tiba , seolah ingin mengisi kekosongan yang diam-diam mengendap di hatinya. Para anggota geng bertanya ada apa? tapi ia hanya membalas nggak apa-apa.

Hari-hari terus berganti Wulan maupun Kristian tidak pernah bertemu ataupun komunikasi sejak saat itu, mereka berdua menjaga jarak. Hari kelulusan Kristian telah akhirnya tiba, Gedung SMA International School di penuhi wajah-wajah bahagia ,senyum dan kilatan kamera suasana meriah namun di dalam dirinya ada ruang yang tetap sunyi . Ia berdiri di antara para sahabatnya mengenakkan baju yang sudah full coretan tangan dari para sahabatnya, Namun matanya sesekali menerawang jauh.

Tidak lupa ke dua orang tua Kristian hadir di acara ke lulusan anak semata wayang mereka. Sambutan -sambutan yang di sampaikan oleh bapak kepala sekolah untuk pemilik Donatur terbesar di SMA international School itu, ayah Kristian.

"Akhirnya kamu lulus juga boi " ujar ayah Kristian terdengar tegas.

" Selamat sayang mami bangga sama kamu " Lanjut ibu Kristian.

*****

Beberapa hari setelah kelulusan anak kelas tiga di sekolah Wulan, wulan sedang duduk di bangku taman sekolah yang sudah mulai sepi . Angin sore menerpa hijabnya dengan pelan , sementara fikirannya masi di penuhi bayangan Kristian . Tiba-tiba Evan datang menghampiri wajahnya tampak ragu seolah menimbang-nimbang sesuatu yang sulit untuk di ucapkan.

" Lan... "Katanya pelan

Wulan menoleh menatap sepupunya itu

" Ada apa? "

Evan menarik nafas dalam " Gue fikir lo harus tau , Kristian akan ke luar negeri ia berangkat minggu ini " Ucap Evan

Wulan terdiam sejenak dunia se akan hening , hanya suara desir angin yang tersisa. Wulan membeku di tempat nya , Kata-kata Evan menggema di kepalanya menampar pelan kesadarannya .

" Apa? minggu ini? " Suaranya nyaris tak terdengar bergetar di ujung bibir.

Evan menggangguk pelan , matanya menatap sepupunya itu penuh empati, ia tahu bahwa sepupunya itu sudah melakukan yang terbaik untuk menjaga jarak dengan Kristian. dari pada semakin lama akan semakin susah moveonnya, fikirnya.

" Gue juga baru tau tadi pagi, Kristian meminta gue untuk memberitahu kanmu , karena katanya dia nggak sanggup kalo harus bicara sendiri " kata evan.

Ada perasaan asing yang mengaduk-aduk dadanya, campuran antara kecewa , sedih dan marah. " Kenapa dia nggak bilang sendiri? " Gumamnya " Setidaknya gue bisa mengucapkan selamat tinggal, " Lanjutnya.

Evan hanya terdiam, dia tidak bisa berbuat lebih selagi ini yang terbaik untuk mereka, ia akan berusaha untuk menjaga sepupunya itu.

\*\*\*\*

Sejak percakapan itu Wulan berubah ia menjadi lebih diam, lebih sering menghabiskan waktu di kamar menatap kosong ke luar jendela . Buku-buku pelajaran yang dulu selalu ia sentuh kini terabaikan di meja belajar nya . Bahkan ponselnya pun jarang di sentuh, seolah tak ada lagi hal yang ingin dia lihat atau dengar.

Bunda Wulan memperhatikan semua itu dengan cemas . Di meja Wulan hanya memainkan sendok tanpa benar-benar makan. Di malam hari , lampu kamar nya tetap menyala hingga larut namun tak terdengar suara apapun.