Membina rumah tangga tidak semudah membalikkan tangan. Banyak rintangan yang datang dan kita wajib bersabar, lapang dada, dan memiliki sifat kejujuran.
Menikah dengan anak SMA butuh banyak bimbingan. Hadirnya cinta masa kelam membuat retak cinta yang sedang dibina. Banyak intrik dan drama yang membuat diambang perceraian.
Kasus pembunuhan, penyiksaan dan penculikan membuat rumah tangga makin diunjung tanduk. Bukti perselingkuhanpun semakin menguatkan untuk menuju jalan perpisahan. Mungkin hanya kekuatan cinta yang bisa mengalahkan semua, namun menghadapinya harus penuh kasabaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhang zhing li, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tatangga Julid
Hanya bermalas-malasan ditempat tidur. Hari ini libur sekolah. Walau sudah membuka mata tetap saja masalah yang sedang dihadapi masih terngiang. Padahal berharap ketika terlelap semuanya bisa hilang.
"Sampai kapan masalah ini akan selesai? Apa sampai diriku tidur selamanya, dia akan bahagia? Kenapa kau begitu tega padaku, Kak? Kalau tahu kau masih bahagia bersama mantan, pasti lamaranmu tidak akan kuterima?" rancau hati galau.
"Hh, nasib ... nasib. Berharap menikah akan bahagia bersamanya, ternyata tidak mudah juga menjalani rumah tangga. Lebih mudah memecahkan rumus matematika dari pada rumus kehidupan yang semakin rumit dan kian kacau."
Bangkit dari pembaringan. Mencoba membersihkan diri. Membasahi seluruh tubuh sangat melegakan. Berharap masalah terhempas bersama air yang mengalir.
Sosokmu bagai matahari yang bersinar
Begitu membuat bahagia dan berwarna
Namun kini aku cukup tersadar
Bahwa tidak bisa memilikimu selamanya
Jurang memang begitu dalam
Tapi tak sedalam rasa cintaku ini
Api memang mudah padam
Tapi tak semudah padam cemburu hati
Betapa hatiku mencintaimu dari lubuk hati
Namun semua tipuan dan hanya semu
Tak menyangka dibelakang menduakan diri ini
Sampai hati teriris ribuan pisau
Ku ingin memelukmu
Ku ingin menggenggam erat tanganmu
Apakah akan susah bagiku
Saat kau sudah bahagia di belakangku
Doaku tetap terpanjat untukmu
Sayangku tetap untuk dirimu
Tapi hati ini cukup tertutup bagiku
Tak 'kan ada lagi kata maaf bagimu
Biar 'lah alam yang berbicara
Karena tahu letak benar dan salah dimana
Biarkan tabur tuai melakukan tugasnya
Karena Tuhan tidak tidur selamanya
Aku hanya bisa merelakan
Hanya ini semua jalan terbaik buat kita
Cukup masalah ini terselesaikan
Biar kita sama-sana bahagia menjalaninya
Duduk ditepian teras sambil melihat Ibu membeli sayur di Mamang. Rambut yang basah masih tergerai agar ke tiup angin bisa cepat kering. Malas menggunakan hairdryer.
"Oh, ya, Bu Mila. Tumben anak Ibu ada dirumah. Ada apa nih? Kok kayak ngak biasa-biasanya?" tanya tetangga.
Jarak para Ibu-ibu membeli sayur hanya beberapa meter, makanya obrolan mereka terdengar jelas.
"Eh ... eh iya nih. Dari kemarin saya lihat dirumah jenengan terus. Apa lagi ada masalah sama suaminya? Kenapa tuh, dan kok bisa?" Yang lain kepo.
Aku yang melihat menggenggam erat. Ingin rasanya mengampar mulut mereka namun masih ku tahan. Tidak pernah mengurusi urusan mereka, tapi kenapa juga mereka ingin tahu urusan kami.
Ibu hanya diam tidak menanggapi. Beliau malah sibuk memilih sayur kangkung yang segar.
"Dih, ditanya kok diam sih, Jeng. Lagian kalau berkunjung ke rumah orangtua pasti ada suaminya 'kan? Tapi ini kok ngak ada, apalagi mobilnya."
"Nah benar ... benar itu," simbat yang lain makin riuh.
Ada sekitar enam orang yang ikutan berbelanja. Mereka nampak kepo semua. Pada julid san sok tahu.
"Tapi wajar sih kalau ada masalah. Sementara suami Mila itu 'kan udah tampan, berwibawa, apalagi abdi negara kepolisian. Pasti nih ... nih ya, banyak yang mendekati 'lah."
"Wah, benar ... benar itu. Pasti banyak perempuan cantik mendekati."
"Wah, apa jangan-jangan masalah yang dihadapi Mila sekarang tentang orang kedua, alias sedang diduakan sama perempuan lain? Atau bisa jadi karena terlalu sibuk kerja, tidak dapat jatah nafkah bathin."
"Wah, bisa jadi itu Ibu-ibu."
Byok, Ibu membanting beberapa sayuran. Nampak beliau tidak terima anaknya digosipkan yang belum tentu kebenarannya.
Walau yang dikatakan mereka benar, sesuai rumah tangga yang retak akibat adanya pihak ketiga tapi jangan keterlaluan juga. Cukup pihak keluarga kami yang tahu, tidak perlu orang luaran sana ikut campur.
Semua seketika terdiam, saat ibu begitu melotot netranya menyapu ke arah mereka.
"Duh, bu Mila. Jangan dibanting dong dagangannya. Belum laku sama sekali ini," keluh Mamang penjual.
"Habisnya kesel sama mulut ember mereka semua."
"Tapi, ngak juga sayur saya yang jadi korban. Hadeh ... deh.
"Astaga, kamu bawel amat juga, Mang. Ya udah, saya ngak jadi beli," Ibu ingin melenggang pergi.
Suasana semakin panas. Mereka bungkam, tidak ada lagi yang berani membuka mulut.
"Lah sudah berbuat mau pergi begitu saja," Mamang penjual masih tidak terima.
"Haist," Ibu berbalik melotot tak suka sama Mamang.
"Apa ini cukup," Uang lembaran biru dikeluarkan Ibu.
"Wah, cukup ... cukup. Malah kelebihan ini. Harga kangkungnya cuma 1.000 perak."
"Udah ambil saja, dari pada kamu banyak omong. Malas juga dengarkan mulut tetangga yang terlalu ember bikin panas kuping saja."
"Eh, iya. Makasih kalau gitu. Maaf yak tadi marah."
"Hmm, sekarang kalian semua undur diri dari pekarangan ku. Muak lihat wajah emak-emak yang mulutnya kek comberan, tapi ngak ada malu saat beli sayur 1000 perak saja ngutang," balik sindir Ibu tidak terima.
Semua orang seketika diam, saat kata Ibu benar adanya.
Memang kebanyakan warga sini, sudah kehidupan pas-pasan tapi masih saja sok kaya dan angkuh. Bukannya ngaca sama kehidupan mereka sendiri, tapi malah kepo sama kehidupan orang lain. Padahal kalau diteliti banyak yang sering ribut hanya masalah sepele, tidak ada uang untuk makan sehari-hari. Lebih parah lagi pernah ada saling pukul dan main clurit. Kampung kami rata-rata sebagai petani dan kerja diluar daerah sebagai tukang bangunan ataupun parkir.
"Eh, iya Bu. Maaf ... maaf banget, yak." Mamang penjual merasa tidak enak.
Mulut mereka menyungging tidak suka. Bibir sudah manyun semua kayak bebek. Wajah pada cemberut.
Makanya kalau tidak mau disindir jangan duluan mau cari masalah.
"Ayo, Mila. Masuk!" Gendeng Ibu, ketika tahu diriku tertunduk sedih.
"Iya, Bu."
Didalam rumah Ibu nampak masih tidak terima. Berkali-kali beliau berdecak sebal.
"Duh, julid amat sih para tetangga kita?" keluh Ibu tak terima.
"Sudah, Bu. Biarkan saja. Jika dipikirin malah bikin tambah pusing. Gosip tidak akan ada habisnya. Malah kita tanggapi kian menjadi-jadi."
"Benar juga katamu, tapi tidak juga harus gitu, Nak. Kalau mau gosip tuh cari tahu dulu kebenarannya, jangan asal jeplak saja kalau berbicara. Apa tidak takut bibir mereka tonjor sebab karma. Jangan mudah percaya sesuatu tanpa bukti. Apalagi menuduh sembarangan karena apa yang mereka tebar pasti suatu saat bisa dituai."
"Hmm, sudah ... sudah, Bu. Jangan marah, ngak baik buat kesehatanmu."
"Iya, Nak. Maaf Ibu sudah bikin masalah tentangmu. Jadinya kamu malah sedih lagi."
"Ngak pa-pa, Bu. Aku baik-baik saja kok."
"Bagus kalau gitu. Seharusnya yang disalahkan disini suami kamu Ryan. Heh, kalau datang ke sini lagi akan ku bunuh. Awas saja."
"Hehehe, memang bisa? Sedangkan Kak Ryan polisi dan jago bela diri."
"Bisa 'lah. Caranya aku suruh diam duluan, lalu ku tusukkan pisau. Mana berani dia sama Ibu. Apa ingin jadi mantu durhaka. Waktu ku pukul pakai sapu saja dia hanya cengengesan. Untung saja cuma pingsan waktu itu. Berharap banget kalau dia cepetan masuk liang lahat, biar anak Ibu ngak sakit hati terus." Beliau sudah agak tenang dengan duduk berdekatan denganku.
Rambut yang tergerai beliau elus-elus.
"Cihh. Karma Bu. Jangan sembarangan main hakim sendiri. Hihii."
"Ibu tidak memikirkan karma, yang penting anak Ibu bisa bahagia itu sudah cukup."
"Terima kasih, Bu. Engkau adalah yang terbaik. Kalau tidak ada Ibu dan bapak pasti Mila akan dilanda kesedihan terus dan akhirnya tidak kuat lalu bunuh diri." Kupeluk erat tubuh beliau.
"Jangan berkata begitu, Nak. Cobaan pasti akan datang di setiap orang yang menjalani rumah tangga, sebab sejauh mana mereka bisa menghadapi tentang cinta, kesetiaan, dan bisa pandai bersyukur apa tidaknya atas rahmat yang Tuhan berikan. Ujianmu adalah dengan suami yaitu hadirnya perempuan lain. Banyak cobaan bermacam-macam cara. Kamu harus tetap tegar, sabar, dan tenang menghadapinya. Walau tidak mudah, kamu harus tetap kuat karena kamu orang pilihan Tuhan," nasehat panjang lebar beliau.
"Iya, Bu. Terima kasih kamu masih bersamaku untuk terus memberikan dukungan."
Kami banyak bercerita. Tubuh beliau terus kupeluk. Begitu nyaman dan tentram.