Xavier, dokter obgyn yang dingin, dan Luna, pelukis dengan sifat cerianya. Terjebak dalam hubungan sahabat dengan kesepakatan tanpa ikatan. Namun, ketika batas-batas itu mulai memudar, keduanya harus menghadapi pertanyaan besar: apakah mereka akan tetap nyaman dalam zona abu-abu atau berani melangkah ke arah yang penuh risiko?
Tinggal dibawah atap yang sama, keduanya tak punya batasan dalam segala hal. Bagi Xavier, Luna adalah tempat untuk dia pulang. Lalu, sampai kapan Xavier bisa menyembunyikan hubungan persahabatannya yang tak wajar dari kekasihnya, Zora!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35 : Between Us
Tangannya turun ke perutnya sendiri. Gerakan itu refleks, seperti naluri paling purba seorang perempuan. Ia belum merasakan apa-apa di sana. Tidak ada gerakan. Tidak ada suara. Hanya diam yang asing.
“Maaf…” bisiknya nyaris tak terdengar. “Maaf, aku nggak tahu harus apa…”
Ia menatap sekeliling—ruangan ini dulu terasa nyaman, tapi malam ini terasa terlalu besar, terlalu sunyi. Seolah tembok-temboknya ikut tahu rahasia yang ia sembunyikan.
Luna mengusap wajahnya dengan kasar, lalu menarik napas panjang. Tapi napas itu pecah di tengah jalan, berubah menjadi isak yang lain.
Pikiran-pikiran berkelebat dalam benaknya:
Haruskah aku memberitahu Xavier? Tapi dia sedang bersama Zora. Apa aku punya hak untuk mengganggu itu semua?
Bagaimana kalau aku membesarkan anak ini sendiri? Tapi… aku bahkan belum selesai menyembuhkan diriku sendiri.
Hening lagi. Hanya suara AC dan detak jam di dinding.
Luna mengesot pelan ke arah sofa, lalu menggulung tubuhnya di sana, seperti anak kecil yang tak tahu harus lari ke mana. Selimut tipis yang biasa ia gunakan untuk menonton serial kini menjadi pelindung dari dunia luar yang terlalu bising.
Sambil menatap kosong ke arah jendela, Luna berkata lirih—entah kepada dirinya sendiri, kepada bayi yang tumbuh dalam rahimnya, atau kepada seseorang yang jauh di luar sana.
“Aku takut…”
Kalimat itu akhirnya terucap. Sederhana, tapi penuh luka.
Dan malam pun terus bergulir, membiarkan Luna larut dalam kesedihannya sendiri. Tidak ada pesan masuk. Tidak ada suara pintu diketuk. Hanya dirinya, dan satu rahasia kecil yang kini tumbuh dalam perutnya.
*
Langit sore di Ubud mendung tipis, memantulkan cahaya hangat ke permukaan kolam infinity pool yang tenang. Di kejauhan, sawah-sawah menghijau dan gemerisik angin mengantar aroma tanah basah. Zora tertawa riang sambil bersandar di kursi santai, mengenakan gaun putih dengan kacamata hitam bertengger di ujung hidungnya. Di sebelahnya, Mama Anet tengah sibuk dengan minuman herbal berwarna ungu yang katanya baik untuk detoks.
Sementara itu, Xavier duduk sedikit menjauh, di bawah payung besar dengan tablet kerja yang bahkan belum disentuh. Pandangannya menatap kosong ke arah hamparan hijau yang bergelombang seperti lautan.
Suasana ini seharusnya menyenangkan—liburan keluarga kecil yang hangat. Tapi hati Xavier tak pernah benar-benar berada di sini.
“Xav, cobain ini dong. Minuman bunga telang!” seru Zora ceria, melambai ke arahnya.
Xavier tersenyum tipis dan mengangguk. Ia berjalan pelan ke arah mereka, mengambil gelas dari tangan Zora, mencicipi sedikit, lalu mengangguk lagi tanpa banyak komentar. Zora tetap tersenyum, tapi matanya mencuri-curi pandang, seolah mencoba menakar sesuatu dalam diam Xavier.
Mama Anet tampak puas melihat keduanya, lalu berdiri dengan alasan ingin ke spa. Zora juga akhirnya meninggalkan Xavier sendirian di kursi, dengan earphone di telinga dan kamera di tangan.
Xavier menghela napas, memandangi langit yang mulai berubah jingga. Damai, ya. Tapi tidak penuh.
Pikirannya kembali melayang pada Luna.
Pada tatapan keras kepala gadis itu, pada caranya bicara seakan dunia harus mengikuti logikanya sendiri. Dan terutama, pada kalimat yang selalu diulang Luna, seperti mantra pelindung: “Kamu itu sahabat terbaikku, Xav. Cinta cuma akan merusak semuanya. Aku nggak mau kehilangan kamu.”
Dan Xavier mengerti. Terlalu dalam, sebenarnya.
Cinta bagi Luna adalah ancaman, bukan kenyamanan. Dan dia tak akan pernah membiarkan cinta menodai apa yang sudah mereka bangun selama bertahun-tahun—kepercayaan, kenyamanan, kebersamaan tanpa tuntutan.
Xavier menunduk, menatap tangan kirinya yang kini kosong. Tak pernah ada cincin atau ikatan apa pun, tapi rasanya seperti kehilangan.
Dia benar, gumamnya dalam hati. Mungkin hubungan asmara memang selalu punya akhir. Tapi persahabatan…? Itu bisa bertahan. Kalau aku tetap ingin dia ada di sisiku, maka aku harus ikuti keputusannya.
Xavier memejamkan mata. Untuk sesaat, aroma alam dan minyak kelapa dari spa di ujung villa menyapu pikirannya. Ia mencoba membiarkan semuanya lepas. Menerima kenyataan yang terasa pahit, tapi tak bisa ditawar.
Ia membuka mata kembali dan tersenyum kecil, getir.
Kalau dengan jadi sahabat aku bisa terus melihat dia tertawa… maka aku akan tetap di situ. Meskipun hatiku harus diam-diam mencintainya sendirian.
Dari kejauhan, Zora melambai, memanggil Xavier untuk ikut sesi foto. Ia berdiri, mengambil kameranya, dan berjalan ke arah mereka. Langkahnya mantap, senyumnya hangat.
Karena kadang, mencintai diam-diam bukan tentang menyembunyikan, tapi tentang menjaga. Dan Xavier memilih untuk menjaga Luna—dengan cara yang ia bisa.
*
Malam merambat pelan di villa tepi pegunungan itu. Lampu gantung bergaya bohemian bergoyang halus ditiup angin, memantulkan bayangan samar di dinding kamar Xavier yang sunyi. Di luar, hanya suara gemericik air kolam dan desau angin melewati daun pisang.
Ketukan pelan terdengar di pintu.
Xavier mendesah. Ia baru saja selesai mandi dan hanya mengenakan kaus tipis serta celana panjang santai. Ragu-ragu ia bangkit, menyeret langkah malas ke arah pintu. Begitu daun pintu terbuka, Zora berdiri di sana, rambutnya digerai, mengenakan kimono tipis warna krem dan tangan kanannya memegang sebotol wine, dua gelas bertangkai tergantung di jari-jarinya.
“Hai,” sapa Zora ringan. “Boleh aku ganggu sebentar? Cuma pengen ngobrol sebelum tidur.”
Xavier mengangguk pelan, mempersilakan Zora masuk. Suara botol yang dibuka, denting gelas, lalu duduk di sofa panjang mengisi ruang hening itu. Mereka duduk bersebelahan, tapi tak terlalu dekat.
“Villa ini indah ya?” ujar Zora membuka percakapan sambil menyesap sedikit wine-nya. “Mama udah tidur, jadi kita punya waktu buat ngomongin hal yang lebih santai. Tentang kamu. Tentang aku.”
Xavier hanya menanggapi dengan anggukan kecil.
Tangan Zora bergerak, menyentuh perlahan punggung tangan Xavier, lalu berpindah ke lengannya. Sentuhan itu lembut, terlalu hati-hati. Xavier menoleh, matanya bertemu pandangan Zora yang lembut namun menyimpan harap.
Zora mendekat. “Boleh?” bisiknya lirih sebelum bibirnya menyentuh pelipis Xavier.
Xavier diam. Ia tak menolak, tapi juga tak membalas.
Zora terus mendekat. Tangannya kini menyentuh dada Xavier, naik turun mengikuti irama napas yang mulai tak teratur. Ketika wajahnya hanya tinggal beberapa inci dari wajah Xavier, ia membisikkan kata yang tak asing namun terasa berat malam ini.
“Aku pengen kamu... malam ini.”
Xavier memejamkan mata. Dalam sekejap, pikirannya kembali pada Luna—tawa khasnya, caranya menggoda tanpa berlebihan, caranya membuat Xavier bergejolak.
Tiba-tiba ia merasa sesak. Bukan karena Zora, tapi karena ia sedang mencoba untuk menjadi seseorang yang bukan dirinya. Dan ia tak sanggup.
Perlahan, Xavier menarik tubuhnya menjauh. Ditepisnya lembut tangan Zora dari dadanya.
“Maaf,” ucapnya pelan, suaranya serak. “Sepertinya... malam ini aku nggak bisa.”
To Be Continued >>>