NovelToon NovelToon
Pembalasan Dendam Sangkara

Pembalasan Dendam Sangkara

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Lari Saat Hamil / Anak Yatim Piatu / Identitas Tersembunyi
Popularitas:3.6k
Nilai: 5
Nama Author: apriana inut

Sangkara, seorang pemuda yang menjadi TKI di sebuah negara. Harus menelan pil pahit ketika pulang kembali ke tanah air. Semua anggota keluarganya telah tiada. Di mulai dari abah, emak dan adek perempuannya, semuanya meninggal dengan sebab yang sampai saat ini belum Sangkara ketahu.

Sakit, sedih, sudah jelas itu yang dirasakan oleh Sangkara. Dia selalu menyalahkan dirinya yang tidak pulang tepat waktu. Malah pergi ke negara lain, hanya untuk mengupgrade diri.

"Kara, jangan salahkan dirimu terus? Hmm, sebenarnya ada yang tahu penyebab kematian keluarga kamu. Cuma, selalu di tutupin dan di bungkam oleh seseroang!"

"Siapa? Kasih tahu aku! Aku akan menuntut balas atas semuanya!" seru Sangkara dengan mata mengkilat.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon apriana inut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 1

Sangakara Adijaya, sebuah nama pemberian dari sepasang suami istri yang tinggal di sebuah kabupaten di Jawa Barat. Dadang dan Lilis, merupakan sepasang suami istri yang saling mencintai. Setelah menikah dua tahun, mereka baru di karunia seorang anak laki-laki yang di beri nama Sangkara Adijaya. Berharap anak laki-laki membawa kemakmuran dan kejayaan untuk keluarganya. Mereka tidak mau sang anak mengalami penderitaan dan kesusahan seperti mereka.

Walau hidup serba sederhana, pasangan suami istri membesarkan dan mendidik Sangkara dengan penuh kasih sayang. Mereka berusaha mengusahakan yang terbaik untuk sang anak. Baik dalam bidang kesehatan maupun pendidikan.

Sangkara yang sudah beranjak besar, sedikit demi sedikit paham dan mengerti kesusahan yang dialami kedua orangtuanya. Dirinya yang sangat ingin melanjutkan pendidikan di bangku kuliah, mengurungkan niatnya. Dia memutuskan untuk mencari perkerjaan setelah tamat sekolah. Yang untungnya dia bersekolah di STM, sehingga memiliki pengetahuan dan keahlian dalam dunia mesin.

“Nak, kamu yakin? Bukannya kamu ingin kuliah? Abah dan emak masih mampu kok biayai kamu sampai sarjana.”

Sangkara menggelengkan kepalanya, “gak, bah. Aku mau cari kerja saja. Siapa tahu nanti ada rezeki, jadi aku bisa kerja sambil kuliah.”

“Kerja itu capek, nak. Apalagi kamu mau sambil kuliah, pasti sangat capek. Kamu kuliah saja ya? emak akan mengusahakan semuanya untuk kamu?”

Lagi dan lagi, Sangkara yang seringkali di panggil Kara menggelengkan kepalanya, “Mak, Bah, uang untuk kuliah aku disimpan saja. Adek Rara masih SMP, dan untuk melanjutkan ke jenjang lebih tinggi itu membutuhkan biaya juga. Aku tidak mau abah dan emak pusing memikirkan banyak biaya. Aku sudah besar, Insya Allah aku sudah mampu untuk kerja.”

Dadang dan Lilis hanya menghela napasnya seraya saling tatap. Mereka tidak ikhlas dan seperti takut akan sesuatu jika anaknya kerja. Apalagi sampai merantau ke luar kota. Tetapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Karakter anaknya cukup keras jika sudah memiliki keinginan.

“Ya sudah, kalau itu sudah menjadi keputusan kamu. Emak dan abah berharap, kamu bisa jaga diri. Jangan malukan keluarga ya, nak?”

Sangkara mengangguk senang. Bibir melebar sempurna karena terlalu senang mendapatkan ijin dari kedua orangtuanya. Setelah diskusi singkat itu, dia berpamitan kepada kedua orangtuanya untuk keluar sejenak, menemui teman-temannya yang memiliki tujuan sama seperti dirinya.

“Hati-hati, jangan pulang terlalu malam!”

“Siap, mak! Siap, bah! Aku pergi dulu!”

Sangkara melajukan motor tua yang dia beli dari uang beasiswa. Motor seharga 3 juta itu hanya mampu di bawa perjalanan jarak dekat. Jauh sedikit, motor itu akan ngadat.

“Lama amat kamu, Kara? Dari tadi kita nungguin!”

“Ya, namanya minta ijin dan diskusi pasti agak lama lah! Jadi, bagaimana? Udah putusin kita bakal merantau kemana?”

Dua orang teman atau bisa dikatakan sahabat Kara tersenyum misterius. Salah satu mereka mengeluarkan selembar kertas dari balik badan.

“Sama kayak kamu, kita juga udah melakukan diskusi yang sangat-sangat singkat. Banyak hal yang menjadi pertimbangan kita berdua, terutama bagian keuangan. Jadi, kami memutuskan untuk merantau ke sini!” tunjuk Arif pada selembar kertas yang dia keluarkan tadi.

“Merantau? Kesini?” seru Kara dengan dahi mengernyit bingung. “Ini bukan namanya merantau, Rif, Dik. Tapi, kita jadi TKI!”

“Ya, itu! Kita jadi TKI!” sahut Dika.  “Jadi gini, Kara. Kalau kita cari kerja atau dapat kerja di sini, mungkin mentok-mentoknya kerja di bengkel. Berapa sih gaji bengkel? Satu-dua juta lah. Sedangkan mimpi kita masih sangat tinggi, Kara. Biaya kuliah juga tinggi, kapan kita bisa kuliah kalau hanya mengandalkan gaji segitu?” tambah Dika.

Pemuda itu menarik napas panjang sejenak, lalu melanjutkan lagi penjelasannya. “Kalau kita kerja di sini, kita ambil kontrak 2-4 tahun. Lalu balik, uang gaji yang terkumpul bisa jadi untuk biaya kuliah. Atau kalau kita sudah tidak mood kuliah, kita bisa buka usaha. Entah itu buka bengkel atau warung atau apalah nanti. Selain itu juga, kita bisa kirim sedikit gaji kita untuk keluarga. Kita itu sama, Kara. Sama-sama orang miskin. Jadi, sebagai sama-sama anak sulung kita harus memikirkan keluarga kita. Kita yang akan jadi pengganti abah kita kalau nanti beliau sudah tidak mampu mencari. Kita yang akan menjadi tulang punggung keluarga!”

Sangkara terdiam, dia memikirkan semua penjelasan dari sahabatnya. Tidak di pungkiri, apa yang dikatakan sahabatnya itu banyak benar. Jika hanya kerja dan mengandalkan gaji di dalam negri, tentu saja tidak bisa mencukupi biaya hidupnya serta menabung untuk kuliah. Namun, jika menjadi TKI dan kerja di negara itu, dirinya bsia menabung untuk kuliah sekaligus mengirim uang. Untuk makan dan tempat tinggal, perusahaan di negara itu telah menyediakannya.

“Iya juga sih. Hmm, apa yang kamu katakan benar, Dik. Oke, ayoo kita pergi  ke sini! Tapi…”

“Tapi apa, Kara?”

“Jangan kasih tahu emak dan abah aku dulu ya? Kita siapkan persyaratannya dulu, nah saat mau berangkat baru emak dan abah aku tahu.”

“Kok gitu, Kar? Di persyatannya kita butuh tanda tangan dari wali atau orangtua kita, bagaimana bisa mereka tidak tahu?”

Bola mata Kara berputar-putar sejenak, memikirkan caranya untuk meminta tanda tangan kepada kedua orangtuanya nanti.

“Tenang, aku punya caranya!” seru Sangkara dengan menjetikkan dua jari.

“Serius? Kamu yakin?”

“Udah kalian berdua tenang saja! Cara aku pasti berhasil.”

“Oke, kalau masalah itu, kita tidak bisa ikut campur. Pokoknya kita urus masing-masing masalah ijin atau tanda tangan orangtua kita. Kalau udah dapat, kita langsung daftar. Soalnya aku dapat info, untuk traning bisa kita ikuti setelah pulang sekolah. Disana kita akan di ajarkan bahasa Jepang, Inggris dan lainnya. Jadi, kalau bisa secepatnya kita kumpulkan persyaratannya. Bagaimana? Deal?” ujar Dika.

“Deal!” sahut Sankara dan Arif secara bersamaan. Mereka bertiga bertos ria dan tersenyum lebar. Dari mata mereka bertiga terpancar harapan, keinginan dan doa. Berharap apa yang mereka cita-citakan menjadi terwujud.

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

Beberapa bulan kemudian, tepatnya dua minggu setelah kelulusan. Sangkara mengajak abah dan emaknya berbicara. Saat inilah waktu yang tepat untuk meminta ijin serta berpamitan. Karena dua hari merupakan hari keberangkatan dirinya ke Jepang, untuk menjadi sumber devisa bagi negaranya.

“Apa??? Jepan? Kamu jadi TKI, SANGKARA?”

Abah Dadang benar-benar terkejut dengan apa yang di sampaikan anak sulungnya. Dia menggelengkan kepalanya pelan, berusaha meyakinkan hatinya jika apa yang di katakan Sangakara hanyalah bualan belaka.

“I-iya, bah. A-aku jadi TKI. Tapi, tidak lama, bah. Aku cuma ambil kontrak dua tahun. Dan dua hari lagi, aku berangkat.”

“YA ALLAH, Sangkara…”

“Bah, sabaar… Dengar dulu penjelasan anak kita, gak boleh marah dulu,” ujar emak mengusap lengan suaminya pelan. “Kara, jelasin nak?”

Sangkara menjelaskan mengapa dia mengambil keputusan itu. Bukan hanya sekedar mencari uang saja, tetapi ada sebuah keinginan dan cita-cita yang ada di balik tujuannya menjadi TKI.

Emak yang mendengar penjelasan Sangkara tersenyum hangat. Dia menatap suaminya dengan lembut, “bah, mungkin ini yang terbaik untuk anak kita. Dan juga ini mungkin bisa untuk… Abah paham kan maskud emak?”

Abah menganggukkan kepalanya pelan. “Ya sudah, abah ijinkan. Tapi sebelumnya, kamu harus melakukan sesuatu. Besok ikut abah!”

“Kemana, bah?”

Abah tidak menjawab. Dia hanya tersenyum misterius, lalu meninggalkan Sangkara dan emak berdua di ruang tamu.

1
Nurhartiningsih
waduh...jangan2 dokter Adit bagian dari mrk..
Pelita: Hmm, mungkin kali ya kak...? Tunggu aja bab berikutnya...

Hmm... Mungkin kali ya kak? Jawabannya tunggu di bab selanjutnya...😁
total 1 replies
Taufik Ukiseno
Karya yang keren.
Semangat untuk authornya... 💪💪
Taufik Ukiseno
😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!