Seorang gadis terpaksa menjual dirinya seharga seratus juta demi membiayai kakak kandungnya yang terbaring koma di rumah sakit.
Menjadi rebutan para lelaki hidung belang, Lily si gadis cantik seharga seratus juta itu tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan jatuh ke tangan William, bos mafia yang digilai banyak wanita.
Dengan hal itu, si gadis seratus juta bisa mendapatkan lebih dari apa yang dia minta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ade Annisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KENYATAAN
Dengan cepat Lily membersihkan diri di kamar mandi, wanita yang masih melilitkan handuk di tubuhnya itu tampak kebingungan, dia lupa tidak membawa baju ganti.
Dan setelah memutuskan untuk mengenakan kemeja putih William yang tampak kebesaran, dia pun keluar kamar, menemui pria itu yang ternyata masih sibuk membuat sarapan di dapur.
"Aku lupa bawa baju ganti," ucap Lily yang membuat William menoleh, pria itu mengerjap terkejut dengan penampilan wanita di hadapannya.
William membawa roti senwich buatannya dan meletakan ke atas meja, apron di tubuhnya ia lepaskan. "Nanti aku suruh Davin untuk membeli semua keperluanmu," ucapnya setelah meletakan apron di tangan ke tempatnya.
Lily tampak menggeleng, wanita itu mendekati William yang berdiri di sebelah meja makan. "Kenapa harus asistenmu itu, aku malu," ucapnya.
Sejenak William diam saja, "Kalo begitu nanti aku yang belikan," ucap pria itu sembari menyodorkan roti di piring pada Lily, "makan lah dulu, untuk sementara tidak masalah memakai bajuku," imbuhnya kemudian.
Lily berterimakasih saat keduanya duduk bersebelahan di meja makan, dia mulai mengunyah jatah sarapannya yang rasanya ternyata lumayan, "jam berapa kau biasanya pulang?" tanya wanita itu setelah menelan makanannya.
Tanpa menoleh William pun menjawab, "mungkin sore, tapi jika kau mau, siang nanti aku akan pulang, kita makan bersama," ucapnya, dengan terus fokus pada ponsel di tangan, kemudian mulai makan.
Melihat sikap William yang berubah dingin Lily sedikit merasa sedih, tapi anehnya tutur kata pria itu justru terdengar hangat, dia jadi bingung.
William sebisa mungkin menghindari bersitatap dengan Lily, melihat penampilan wanita itu membuat dirinya menggebu-gebu, namun hal itu justru membuat keduanya menjadi canggung.
Dan tiba-tiba Lily menyentuh tangan William yang memegang ponsel, dan mau-tidak mau pria itu pun menoleh, "ada apa?" tanyanya.
"Kau marah padaku?"
"Kenapa aku harus marah?"
Mendapatkan pertanyaan balik dari pria itu Lily gugup sendiri, "sikapmu aneh, jadi kupikir kamu sedang marah."
William menggeleng, penampilan Lily yang begitu mencolok dengan hanya mengenakan kemeja putih miliknya yang tampak kebesaran, membuat tatapan William yang semula berpusat pada wajah cantik wanita itu kemudian berpaling pada makanan di tangannya.
"Aku hanya," jeda sebentar, pria itu tampak berpikir, "lapar," imbuhnya kemudian.
Lapar bagi William tentu berbeda, namun Lily mengartikan hal yang sebenarnya, wanita itu menyodorkan sisa roti dalam piring, "jika begitu, ini untukmu saja, makanlah," ucapnya.
William memilih untuk mengangguk alih-alih meluruskan kesalahpahaman di antara mereka.
"Kau pintar membuat sarapan," ucap Lily.
Dan William pun menoleh, "Kau suka?"
Wanita itu mengangguk, Lily yang beranjak berdiri untuk mengambil segelas susu di sebelah William membuat pria itu memundurkn kepala saat tubuh Lily melewati wajahnya, aroma sabun cair yang sama dengan yang ia kenakan saat membersihkan diri entah kenapa terasa berbeda keharumannya saat melekat pada kulit halus wanita itu, dia benar-benar terpesona.
"Oh Lily, bolehkah aku meminta satu hal?"
Pertanyaan itu membuat Lily yang tengah meminum susu di gelasnya kemudian menoleh. "Apa itu?"
William menghela napas, menoleh pada Lily dengan tatapan yang berbeda, dan wanita itu tentu menyadarinya.
"Untuk perjanjian kita yang semalam, bolehkah aku langgar?" ucap William hati-hati.
Dan dengan cepat Lily menggeleng, "tidak," tolaknya.
William terlihat kecewa, namun pria itu tampak menghargai keputusan wanita di hadapannya, "ok baik lah," ucapnya, dengan kembali menekuni sarapannya lagi.
Tiba-tiba Lily merasa bersalah, kata tidak yang keluar tajam dari mulutnya ternyata tidak sama dengan yang ia rasakan dalam hati, entah sejak kapan wanita itu pun menyadari bahwa dia juga memiliki kebutuhan.
"Tapi aku punya sedikit hadiah untukmu," ucap Lily.
Belum sempat William menoleh dan menanyakan hadiah apa, sesuatu yang lembut sudah mendarat di bagian wajahnya, wanita itu mencium pipinya.
Saat pria di hadapannya kembali memberikan tatapan yang berbeda, Lily menyesali dengan apa yang ia lakukan sebelumnya, "hanya sedikit hadiah ciuman untukmu," ucap Lily canggung.
William memejamkan mata, hanya sejenak kemudian kembali membuka, "Kau membangunkan singa lapar yang tengah tertidur," ucap pria itu, nadanya terdengar mengancam.
***
William duduk melamun di balik meja kerjanya, tatapan pria itu tertuju pada pasir waktu yang bergerak turun di hadapannya, namun pikiran pria itu melayang entah ke mana.
Dia masih memikirkan kalimat yang terlontar dari Lily selepas mereka bercinta pagi tadi.
Jangan pernah berpikir bahwa apa yang kita lakukan ini karena aku mencintaimu, anggap saja kita memang sama sama menyalurkan kebutuhan, hanya itu, tidak lebih.
Jika boleh jujur hati William tentu hancur, tapi pria itu memilih untuk mengangguk mengiyakan, meski tidak dapat menyembunyikan rasa kecewa dari raut wajahnya, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Suara pintu terbuka membuat pria itu seketika menoleh, hanya Justin satu-satunya orang yang berkunjung ke ruangannya tanpa menerapkan adab ketuk pintu terlebih dahulu, dia pun berdecak sebal.
Justin meletakan berkas-berkas yang ia bawa dengan sedikit membanting ke atas meja sahabatnya itu, kemudian berkacak pinggang. "Baru satu hari ada wanita di apartemenmu saja, kau sampai melewatkan rapat penting pagi ini, benar-benar tidak tau aturan," omelnya.
William menatap sahabatnya dengan wajah datar, bagaimana bisa sepagi ini pria ber anak tiga di hadapannya itu sudah mengajaknya bertengkar, "aku kan sudah menghubungimu," sangkalnya.
Justin berdecak sebal, "ini surat kerjasama yang Pak Azis ajukan, kau hanya perlu menandatanganinya." Pria itu menjelaskan.
Sekilas William melirik berkas-berkas di atas meja, namun tidak berminat untuk membahasnya, pria itu beranjak berdiri dan menghampiri sahabatnya yang suda duduk di sofa, sibuk dengan benda persegi di hadapannya.
"Dia bilang tidak mencintaiku," Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir William, Justin menoleh karenanya.
"Sudah kubilang berkali-kali –,"
"Sedang tidak butuh hujatan, maaf," potong William.
Justin berdecak, jiwa pencaci makinya kalah dengan raut wajah sahabatnya yang terlihat sedih, dia pun menghela napas. "Memangnya kau yakin dia tidak mencintaimu? Kau bilang pernah mendengar wanita itu mengungkapkan isi hatinya lewat alat penyadap yang terpasang di kalung itu kan."
William mengangguk, mengusap rahangnya yang mulai ditumbuhi jambang tipis, akhir-akhir ini dia terlalu sibuk untuk sekedar merapikan tampilan wajahnya."Aku memang mendengarnya, tapi sikapnya padaku saat ini menunjukan bahwa perasaannya terhadapku sudah pergi, seiring dengan pengetahuannya tentang aku yang telah menghancurkan keluarganya."
"Apa susahnya jika kau menunjukkan rekaman itu pada Lily, agar dia tau kau tidak terlibat dalam peristiwa itu, tidak usah berputar-putar, hidupmu bukan sinetron kejar tayang yang durasi episodenya dipanjang-panjangkan, tunjukkan saja semuanya." Justin jadi mengomel panjang lebar, pria itu sudah terlalu bosan memberikan wejangan pada sahabatnya yang begitu keras kepala.
"Aku tidak mau melihatnya kecewa, " ucap William.
Justin kembali menghela napas," lalu sekarang apa, sampai kakaknya Pulang pun kurasa kau tidak akan mampu mengambil hatinya."
William bergeming menatap sahabatnya yang justru terlihat lebih pusing jika dirinya sudah mulai membahas tentang Lily, pria itu kemudian bertanya.
"Agar aku tau dia mencintaiku atau tidak, aku harus bagaimana?"
Justin sedikit berpikir, "jika kau ingin tau bagaimana perasaannya terhadapmu, jalan satu-satunya hanya membuat dia cemburu, dengan begitu kau bisa tau," ucapnya memberi solusi.
"Dengan apa aku dapat membuatnya cemburu, wanita yang dekat denganku dulu tentu akan merasa memiliki jika aku sedikit saja bersikap manis pada mereka, aku tidak mau memulainya."
Justin melengos, mengambil ponselnya saat mendapat notif dari sana, "cari saja wanita yang tidak menyukaimu, kau ajak kerja sama," ucapnya sembari memeriksa pesan yang datang dari sang istri, dia pun tersenyum.
William tampak berpikir, "Bagaimana jika istrimu saja, Nena yang begitu cantik Lily tentu akan cemburu, lagi pula Serena tidak mencintaiku," usul pria itu.
"Eh." Justin menoleh seketika, "bagaimana?" tanyanya, memastikan kalimat yang baru saja sahabatnya itu lontarkan dengan sembarangan, namun pria yang menduduki sofa tunggal itu malah tertawa. "Kemarikan nyawamu, biar kubunuh satu-satu."
William masih terkekeh pelan, sahabatnya itu memang terlalu sensi jika menyangkut tentang istrinya, "aku bercanda," ucapnya, "tapi jika kau setuju tidak apa-apa," Lanjutnya yang mendapat lemparan tatapan tajam dari pria di hadapannya.
Ketukan di pintu membuat perdebatan keduanya teralihkan, Ardi dengan satu pria di belakangnya setengah berlari menyongsong William, "harta atau nyawa!" todong pria itu dengan berpura-pura mengacungkan senjata dengan tangannya yang kosong.
William mengangkat kedua telapak tangannya tanda menyerah, "wanita," pilih pria itu.
Ardi melengos, duduk di kepala sofa sebelah abangnya yang tampak ikut tertawa, "heh itu tidak termasuk ke dalam pilihan," protesnya.
"Bagaimana rencana perampokan hatinya, apakah lancar?" Justin bertanya dengan menoleh pada pria yang baru saja duduk di sebelahnya, teman sang adik yang akhir-akhir ini juga menjadi rekan bisnis laki-laki itu.
"Lancar, tendangannya tepat sasaran, tulangku remuk semua," sindir pria bernama Irfani Azis itu dengan raut wajah nelangsa.
William tertawa, "aku bisa mengulangnya jika kau mau," selorohnya.
"Setidaknya aku mendapat imbalan yang pantas untuk itu." Sindir Irfan. William mengangguk, dan mengatakan telah setuju dengan isi berkas-berkas yang pria itu ajukan.
Ardi ikut mengomel Sebal pada William, bagaimana tidak, tendangan itu juga membuat dirinya ikut tersungkur," lain kali jangan harap aku mau diajak kerja sama memalukan semacam itu," omelnya.
Justin hanya tertawa, bagaimana pun juga, ide konyol itu berasal dari dirinya, namun jika untuk ikut serta berperan didalamnya dia tentu tidak akan bisa.
***iklan***
Netizen: ngapa jadi Bang Ipang si thor kan gue nebak nya bang Entin.
Author: Bang Entin mana mau nyamar jadi bandit gadungan. Yakali 😌
Netizen: Ngapa jadi ke Bang Ipang dah 🤧
Author :Yang nulis sapa 🙄
Netizen: ya elu sih 😒
Author : yaudah seterah gue lah 😌
Netizen : ada kang nulis ngeselin begini 🤧